_“Di usia 113 tahun, Muhammadiyah tetap menemukan pijakan dalam prinsip dasarnya: beragama secara rasional, beramal secara nyata, dan memperjuangkan kemajuan bagi seluruh umat manusia.”_

Di usia 113 tahun, Muhammadiyah kembali meneguhkan dirinya sebagai gerakan Islam modernis yang tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga membumi dalam praksis sosial. Usia yang panjang ini bukan sekadar angka, melainkan penanda konsistensi sebuah organisasi keagamaan yang terus mengupayakan kemajuan (tajdid) di tengah perubahan zaman. Namun, dalam refleksi kritis, usia panjang juga menuntut evaluasi jujur: bagaimana Muhammadiyah menjaga nalar intelektualnya, menjaga etika sosialnya, sekaligus merawat tenun kebangsaan Indonesia yang lebih inklusif.

Sejak didirikan KH. Ahmad Dahlan pada 1912, Muhammadiyah memosisikan dirinya sebagai gerakan pembaruan. Azyumardi Azra mencatat bahwa pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah tidak sekadar reformasi keagamaan, tetapi juga pembaruan institusional yang berdampak luas dalam dunia pendidikan dan Kesehatan (Azra, 2015). Modernitas dalam Islam, bagi Muhammadiyah, diletakkan pada fondasi rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan sistem organisasi yang maju. Namun, tantangan abad ke-21 tidak sama dengan konteks kolonial awal gerakan ini berdiri. Zaman digital menghadirkan realitas baru. Banjir informasi, politik identitas, ekstremisme berbasis algoritma, hingga komersialisasi dakwah. Dalam konteks ini, pemikiran Kuntowijoyo (1991) relevan untuk ditegaskan kembali, bahwa Islam harus diobjektifikasi, menjadi ilmu dan praksis sosial yang melampaui simbolisme belaka. Inilah tantangan bagi Muhammadiyah di usianya ke 113 tahun.

Jejak Sosial

Baca Juga:SOSIOLOGI BALI

Di usia 113 tahun, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan; ia telah menjelma menjadi salah satu kekuatan sosial terbesar di Indonesia. Kontribusi konkret Muhammadiyah terhadap bangsa tidak dapat dibantah. Ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, hingga lembaga filantropi menjadi bukti nyata bahwa Islam dapat hadir sebagai kekuatan memajukan kehidupan. Sebagaimana dicatat Bahtiar Effendy (2011), kekuatan Muhammadiyah justru terletak pada kemampuannya membangun civil society melalui institusi. Namun, secara kritis, muncul pertanyaan : apakah jejaring pendidikan yang luas ini cukup kuat merespons tantangan zaman digital? Banyak sekolah dan kampus Muhammadiyah yang berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang tertinggal dalam inovasi. Tantangan edutech, ekonomi kreatif, kecerdasan buatan, hingga globalisasi tenaga kerja menuntut pendidikan Muhammadiyah untuk tidak sekadar menjadi besar, tetapi juga unggul dan berdampak.

Dialektika Intelektual dan Tantangan

Memasuki usia 113 tahun, kiprah Muhammadiyah semakin diakui sebagai civil society yang kuat. Tetapi, kekuatan ini juga membawa konsekuensi berupa tantangan yang semakin kompleks. _Pertama_, tantangan digitalisasi. Di era kapitalisme digital, arus informasi tak lagi linier, melainkan bersifat terfragmentasi dan cepat. Dalam pandangan Christian Fuchs, era digital menciptakan medan baru bagi perebutan makna, opini publik, dan konstruksi identitas (Fuchs, 2014: 87). Muhammadiyah harus mampu mengartikulasikan dakwah dan gerakan sosialnya dalam ekosistem digital tanpa kehilangan integritas nilai. Dakwah digital yang dilakukan para kader muda merupakan langkah maju, tetapi masih memerlukan penguatan kurasi konten, literasi digital, dan reproduksi wacana keislaman progresif.

_Kedua_, tantangan konsolidasi organisasi di tengah ekspansi kelembagaan. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa semakin besar organisasi, semakin diperlukan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Sebagaimana dicatat Mitsuo Nakamura (2012), salah satu kekuatan Muhammadiyah adalah kemampuannya menjaga disiplin struktural. Namun, di sejumlah wilayah, terdapat gejala kelonggaran tata kelola, terutama menyangkut profesionalitas pengelolaan amal usaha, tarik-menarik kepentingan politik lokal, dan regenerasi kepemimpinan. Ke depan, profesionalitas kelembagaan harus ditingkatkan agar amal usaha Muhammadiyah tetap menjadi role model institusi publik.

_Ketiga_, tantangan keterlibatan Muhammadiyah dalam isu-isu keadilan sosial. Pada usia 113, Muhammadiyah semakin dituntut untuk hadir dalam persoalan rakyat yang lebih luas. Kemiskinan, ketimpangan, krisis lingkungan, eksploitasi tambang, dan konflik agraria. Dalam Muktamar 48 di Surakarta, Muhammadiyah sebenarnya telah menegaskan komitmen Islam Berkemajuan yang berpihak pada kemanusiaan dan keadilan ekologis. Namun, implementasinya masih perlu diperkuat. Ketika deforestasi, krisis iklim, dan ekspansi tambang semakin menghimpit masyarakat adat di Sulawesi, Maluku Utara, dan Kalimantan, Muhammadiyah perlu lebih tajam mengartikulasikan posisi etis dan praksis keagamaannya. Gerakan Islam progresif harus hadir bukan hanya di ruang dakwah, tetapi juga dalam arena kebijakan publik dan advokasi ekologis.

_Keempat_, Muhammadiyah menghadapi tantangan ideologis di tengah menguatnya konservatisme agama. Pada banyak kasus, ruang dakwah digital dipenuhi wacana keislaman yang rigid, ahistoris, dan intoleran. Padahal, sejak awal Muhammadiyah menempatkan rasionalitas dan kebijaksanaan sebagai jalan beragama. Rasionalitas Ahmad Dahlan, misalnya, tampak dalam metode berpikirnya yang menggabungkan teks dan realitas sosial. Dalam sebuah karyanya, Kuntowijoyo (2006) pernah menjelaskan, Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa agama harus membumi, menjadi etika sosial, bukan melulu dogma. Maka, agenda deradikalisasi epistemik menjadi penting agar warga dan kader Muhammadiyah tidak larut dalam arus konservatisme tersebut.

Di tengah berbagai tantangan itu, usia 113 menjadi momentum refleksi bahwa Muhammadiyah tetap menjadi lokomotif perubahan sosial di Indonesia. Dalam konteks ini, pandangan Haedar Nashir penting untuk digarisbawahi, bahwa maslahat publik (public good) harus menjadi pijakan utama gerakan Islam modern (Nashir, 2018: 132). Hal ini menegaskan bahwa Muhammadiyah bukan hanya organisasi dakwah, tetapi juga entitas kemanusiaan yang sangat kuat. Ke depan, Muhammadiyah perlu menegaskan kembali arah pembaruannya. Yakni, memperkuat pendidikan kritis dan literasi sains. Pendidikan Muhammadiyah harus membuka ruang ilmu pengetahuan yang berpihak pada kemanusiaan dan keberlanjutan ekologis, bukan hanya menjadi pabrik gelar akademik. Selanjutnya, memperkokoh peran perempuan dalam kepemimpinan. ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan tertua telah memberikan fondasi kuat, tetapi kepemimpinan perempuan masih perlu semakin didorong di ruang-ruang strategis Muhammadiyah. Perlu, dilakukan transformasi digital yang lebih terencana di bidang dakwah, pendidikan, dan filantropi.

Muhammadiyah di usia 113 bukanlah organisasi yang menua, melainkan semakin matang. Ia terus bergerak, bertransformasi, dan berdialog dengan zaman. Ketika organisasi lain tergagap menghadapi perubahan sosial, Muhammadiyah tetap menemukan pijakan dalam prinsip dasarnya : beragama secara rasional, beramal secara nyata, dan memperjuangkan kemajuan bagi seluruh umat manusia. Dengan komitmen itu, Muhammadiyah akan tetap menjadi jangkar moral dan sosial serta tekun merawat Indonesia untuk abad-abad mendatang. _Selamat Milad Muhammadiyahku_…![]