Sebuah Cerpen Otokritik Oleh: Mutlaben Kapita
Hari itu masih pagi, kira-kira jam 7.00, saya masih terpulas di tempat tidur. Tiba-tiba bangun karena terdengar suara teriakan yang keras dari depan rumah. Bangun dan bergegas keluar, rupanya ada sekelompok orang berada di atas Truk sedang mengajakdemonstrasi di perusahan tambang PT. Mulia Cipta Jaya.
Saya melihat salah satu dari mereka sedang menggenggam megafon, sambil berkata,“Hei, kawan-kawan mari kita rapatkan dalam barisan perlawanan ini, untuk kita bersama turun ke jalan menuntut keadilan….,”
Nampak semangat perjuangan menggebu-gebu melawan kaum kapital merampas ruang hidup masyarakat pemilik tanah. Semangat terpancar di wajah mereka, membuat terketuk hati sayauntuk bergabung dalam barisan mereka yang mengatasnamakan “Gerakan Anti-Kapitalisme!”
Akhirnya saya cepat-cepat ke dapur mengambil air dalam ember lalu membasuh kaki dan wajah, tidak mandi karena takut ketinggalan. Selesai itu, saya menggantikan pakaian dengan kemeja hitam berlengan panjang, di depannya motif bertuliskan “Generasi Pejuang”.Kemeja kesukaan saya! Setiap demonstrasi selalu saya kenakkan kemeja ini. Sebab kemeja ini adalah hadiah Ulang Tahun dari teman saya, Gie. Dia teman waktu mengenyam pendidikan di kampus Pelita Harapan. Setelah semuanya selesai, saya memberitahukan pada Ibu ikut demonstrasi.
“Ibu, saya mau pergidemonstrasi,“ Kata saya pada Ibu.
“Dengan siapa?” Ibu bertanya.
“Bersama Gerakan Anti-Kapitalisme!” Sahut saya.
“Oh iya. Tapi kamu sarapan dulu.” Ucap Ibu.
“Saya takut ketinggalan, jadi nanti disana baru cari makan bersama mereka,” Balas saya.
“Waduh, Penting jangan lupa ya..” Ibu membalasnya dengan nada suara yang tampak khawatir.
“Iya Ibu!” Saya kembali membalas.Setelah itu langsung berlari menuju Truk yang sudah menunggu.
Sesampai di Truk, lelaki berbadan besar, memakai topi, berjenggut agak sedikit panjang, memberikan salam pada saya, “Selamat bergabung kawan” saya membalas “Iya kawan. Kita harus melawan kaum kapital yang menindas masyarakat” Ia membalas dengan senyum sambil berkata, “Benar kawan!” Ketika masih ingin bercakap-cakap namun kebisingan suara Korlap membakar semangat juang kawan-kawan sebarisan dengan yel-yel, sehingga menghentikan obrolan kami.
Tidak lama kemudian, kami berangkat menuju perusahan tambang. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian orasi-ajakan,kecuali saya. Mengajak pada masyarakat pemilik tanah di wilayah lingkar tambang. Tapi hanya sedikit yang punya rasa prihatin dengan kondisi alam yang kini dikuras hampir habis oleh kapital tambang, ditambah dengan pembuangan limbah yang sembarangan. Sayang,tidak banyak yang turutgabung dalam barisan kami.
Namun, niat dan semangat juang kami tak pernah pudar. Kelantangan suara dengan riuh kamiserukan sepanjang perjalanan. Kelihatan semua yang ikut memiliki semangat yang sama dalam perjuangan ini, itu nampak ketika ada pertanyaan dilayangkan Korlap.
“Memilih sebagai masyarakat apatis atau pejuang?” Mereka dengan kompak menjawab “Sebagai masyarakat pejuang…”
Mendengarnya itu,saya merasakagum meskipun banyak masyarakat yang abai dengan kondisi wilayah yang dijajah oleh kapital tambang lewat penjarahan hasil alam yang kian brutal, tetapi masih ada masyarakat pemilik tanah yang peduli dengan kondisi wilayah yang didiami dibawah kungkungan kaum kapital.
Kira-kira kami tempuh perjalanan selama 2 jam, akhirnyatiba di PT. Mulia Cipta Jaya. Tepat di depan pintu masuk, terlihatberjejerpara pengawal perusahan dari kepolisianlengkap dengan senapan.Truk yang kami tumpangi mendekati mereka diiringi teriakan.
“Kami datang membela dan menuntut hak kami, maka tidak perlu kami dijaga bagai pencuri. Ini tanah kami, tanah leluhur kami!”
Korlap berusaha meneduhkan kawan-kawansebarisan dengan menyerukan, “Kita tetap tertib!”
Selepas berbicara, ia mengembalikan megafonpada moderator, Saifulnamanya —untuk memandu jalannya demonstrasi. Setelah menerima megafon oleh moderator, ia menyampaikan orasi singkat, lalu memberi kesempatan pada kawan-kawan untuk berorasi. Tidak menyangka, moderator memberikan kesempatan pertama pada saya untuk berorasi.Meski sudah terbiasa berorasi, tetapi ada rasa gugup saat memegang megafon; karena melihat kawan-kawan dalam barisan semuanya fasih berorasi. Saya melawan rasa gugup dengan menghela nafas panjang, lalu memulai orasi.Dengan lantang saya menyerukan rasa kemarahan terhadap perusahan tambang yang selama beroperasi hanya menguras hasil alam, namun tidak memberi dampak signifikan pada kehidupan ekonomi masyarakat pemilik tanah lingkar tambang. Seusai saya, moderator memberi kesempatan pada orator yang lain. Sekitar 3 jam kami berganti-ganti orasi, keluarlah pimpinan perusahan, Pak Philip menemui kami.
Dibawah terik matahari yang begitu panas, kami bersama pimpinan perusahan Pak Philip, merunding tujuan dan tuntutan kami.
“Selamat siang adik-adik, sebagai pimpinan perusahan ingin mengetahui tujuan demo yang kalian lakukan hari ini.” Paparnya Pak Philip. Seolah tidak ada masalah dengan perusahan yang ia pimpin. Sehingga, kembali bertanya pada kami untuk menjelaskan. Itulah watak kapitalisme, bekerja mengejar profit sebanyak-banyaknya membuat lupa tanggung jawab perusahan pada masyarakat pemilik tanah diarea lingkar tambang.
Akhirnya Korlap kami, Rodri menjawab dengan membacakan tuntutan kami yang sudah tertulis rapih dalam kertas.
“Siang juga Pak, hari ini kami turun demo karena selama ini kami melihat PT.Mulia Cipta Jaya, yang Pak pimpin tidak memperhatikan tenaga kerja masyarakat lingkar tambang, sehingga penggangguran kian meningkat. Padahal, kami daerah tambang namun nyatanya pihak perusahan lebih banyak merekrut tenaga kerja dari luar. Bukan cuma itu, pembuangan limbah pun sembarangan.” Selepas Korlap berbicara, saya menyambungnya.
“Benar kata Korlap. Selama perusahan yang Pak pimpin beroperasi di daerah kami, sangat nampak abaikan tenaga kerja lokal dengan berbagai alasan, katanya, kami tidak punya skill. Ini alasan yang tidak masuk akal, karena banyakSDM di lingkar tambang memiliki skill yang mumpuni dan tak kalah saing dengan tenaga kerja dari luar. Selain itu,taraf hidup masyarakat tak ubahnya dengan sebelum adanya PT. Mulia Cipta Jaya. Padahal sudah beroperasi berpuluh-puluh tahun”
“Ok, keluhan yang kini sudah kalian sampaikan, kami akan bahas dalam internal perusahan, dan bisa kami upayakan untuk ditindaklanjuti“ Balas Pak Philip selaku pimpinan PT. Mulia Cipta Jaya.
Seusai itu, kami pun pulang. Dalam perjalanan kami matikan sound system, sambil berbincang langkah selanjutnya apabila tuntutan kami diabaikan. Saya bersama teman-teman lainnya mulai menyusun taktik berikutnya, dengan satu tekad desak penguasa negeri ini mencabut ijin PT. Mulia Cipta Jaya. Kami bersepakat, akan terus berjuang melawan penindasan yang terjadi di atas tanah kami. Ketika dalam suasana runding, Guevara bertanya.
“Mana Korlap? “
“Oh iya Korlap di mana? “satu-satu mulai bertanya.
Tampaknya Korlap tidak ada dalam Truk. Saya meminta nomor HP nyapada teman-teman untuk menghubunginya.
“Ada nomor HP nya Korlap? “
“Ada ini, ayo ketik, “ Balas Sayuti salah satu kawan dalam barisan perjuangan kami.
“Saya mengetik nomor HP nya, lalu menghubungi“ Tapi, setelah dihubungi nomornya tidak terhubung, selalu dialihkan. Kami semua khawatir. Saya terus hubungi nomornya. Alhamdulillah, kali ini nomorHP nya aktif dan dia mengangkat telepon saya.
“Korlap di mana? “ Saya bertanya.
“Ini sudah di jalan. Maaf, pulang tidak sama-sama dengan kawan-kawan karena ada ketemu dengan teman saya sewaktu SMA, Firdan yang kini kerja di PT. Mulia Cipta Jaya. Jadi ada sempat bincang-bincang sedikit, pas saya ke parkiran Truk ternyata kalian sudah pulang“Korlap, menjelaskan alasan.
“Oh iya. Tidak apa-apa, penting keadaan baik-baik saja. Karena tadi kami di sini semua pada khawatir“ Balas saya, untuk berusaha percaya.
Ketika kami semua tahu bahwa Korlap sudah di jalan, kami pun merasa lega dan kembali berbincang.Ternyata tidak satupun kawan-kawan mempertanyakan apakah alasan Korlap itu benar. Kecuali saya, ada timbul pikiran bahwa ini alasan yang tidak logis dan mengandung curiga. Ketidakpuasan alasan Korlap tadi saya berusaha tutupi, seiring saya cari tahu lebih jelas.
Tidak lama kemudian, Truk berhenti karena ada yang mau turun. Ternyata Guevara. “Sampai jumpa lagi pada perjuangan selanjutnya,“ Kami semua membalasnya, “Iya Guevara!“ Lanjut lagi perjalanan, hampir setiap kampung Truk berhenti karena menurunkan kawan-kawan lain. Dan saya yang terakhir.
Hari itu, sampai di rumah matahari mulai terbenam, jarak pandang melihat orang tinggal 50 meter, dalam rumah mulai gelap. Saya melepas tas dan pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam kesukaan saya. Sambil menikmati secangkir kopi, tiba-tiba ada telepon masuk. Saya mengangkatnya.
“Hello ini dengan Fahri?“
“Iya saya. Dengan siapa?“ Saya balas sambil bertanya.
“Ini dengan Pak Philippimpinan PT. Mulia Cipta Jaya, “ Saya kaget mendengarnya.
“Oh. Bagaimana Pak? Ia membalasnya “Kami sedang butuh pikiran Anda, untuk bisa bergabung dalam perusahaan kami“ Saya mendengar itu, saya belum memberikan jawaban pasti sebab masih mencari tahu siapa yang berikan nomor saya.
“Oh begitu. Tapi, saya ingin tahu darimana ambil nomor HP saya?“
“Dari Korlap kalian, Rodri. Baru saja saya berbicara dengan dia dan menawarkan hal yang sama“ Balas Pak Philip.
“Oh. Lalu bagaimana respon Rodri? “ Saya ingin tahu bagaimana balasan Korlap dengan tawaran ini.
“Dia terima. Tinggal masuk pada Senin depan untuk memulai bekerja“. Balas kembali Pak Philip.
Mendengar itu menguatkan kecurigaan saya tadi, kemungkinan Rodri bukan ketemu dengan teman waktu SMA, tapi ada karyawan utusan Pak Philip untuk membujuk Rodri bekerja di PT. Mulia Cipta Jaya. Sehingga Rodri menghilang dan tidak pulang sama-sama dengan kami. Saya pun membuat kecewa dengan sikap Rodri menerima tawaran itu.
“Untuk saya tidak bisa bekerjasama dengan PT. Mulia Cipta Jaya“ Balas saya dengan tegas.
“Oh iya? Pikirkan baik-baik!“ Merayu saya.
“Saya sudah pikir baik-baik“ Kembali pertegas sikap saya.
Setelah mendengar ketegasan sikap saya tidak mau bekerja di PT. Mulia Cipta Jaya, ia langsung memutuskan komunikasi kami. Usai itu, saya menghubungi Korlap, Rodri dengan sedikit emosi. Rupanya nomornya tidak diaktifkan lagi. Saya berusaha hubungi ulang-ulang tetap saja tidak aktif.
Pada akhirnya dua Minggu kemudian, semua kawan-kawan sebarisan pun tahu bahwa Korlap, Rodri sudah bekerja di PT. Mulia Cipta Jaya. Semua kecewa dan rasa marah, nampaknya perjuangan yang kami lakukan ketika itu hanya dimanfaatkan untuk mencari posisi jabatan.
Dari situlah, kemudian mulai timbul krisis kepercayaan pada setiapgerakan. Sehingga, rencana gerakan kami selanjutnyapun tidak jadi lagi. Mereka semua kecewa, marah karena perjuangan ketika itu tak kenal lelah, sampai lupa mengisi isi perut yang kosong lalu sikap Rodri berkhianat dengan perjuangan kami.
Tapi itulah realitas aktivis kekinian. Berjuang kadang bukan (lagi) memperjuangkan demi kepentingan masyarakat, tapi berjuang untuk kepentingan isi perut sendiri, sehingga begitu mudahnya terjerat pada jaring kapitalisme dalam pergerakan,karena nalar-pragmatis lebih kuat ketimbang idealisme. Aktivis yang beridealis kian berkurang, yang ada menjamurnya aktivis gadungan.***
Tinggalkan Balasan