Oleh :  A. Malik Ibrahim

BAGAIMANA kita menjelaskan  esensi kegagalan dalam konteks pemikiran  Acemoglu dan Robinson terkait  Negara Gagal dan  implikasinya  pada Daerah, yang juga  gagal”? Tanya seorang  peserta dalam seri diskusi Toadora Studies di Elang Café, Tugulufa Tidore, beberapa waktu silam.  

“Semua gara-gara politik”! Itulah jawaban sederhana yang disampaikan secara memikat oleh Acemoglu dan Robinson. “Gaya hidup yang wah, serakah mengeksploitasi alam dan maunya menang sendiri. Bagaimana kaum elite penguasa mengotak-atik peraturan demi kepentingannya sendiri dan mengorbankan orang banyak”.

Itulah testimoni Dani Rodrik, dari Kennedy Scool of Government Harvard University  atas buku   Daron Acemoglu dan James A. Robinson,  Why Nations Fail : The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, (Mengapa Negara Gagal : Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan) terkait pertanyaan;  kenapa ada banyak daerah juga gagal untuk maju?

Bahwa faktor sejarah dan geografi suatu negara tidak menentukan nasib negara tersebut. “Katanya, kebijakan ekonomi suatu bangsa, tidak akan mencapai hasil yang maksimal jika tidak diiringi dengan perubahan politik secara fundamental”. Tidore, Ternate, Bacan, Ambon dan Banda adalah  gugusan kepulauan yang juga disinggung Acemoglu dan Robinson sebagai kawasan ekstraktif rempah dan genosida. Berbagai institusi ekstraktif yang diciptakan Belanda telah turut melahirkan keterbelakangan bangsa Maluku dan Maluku Utara hingga saat ini,  (lihat Bab 9, Pertumbuhan yang Pupus di Tengah Jalan, hal 283-289).

Acemoglu dan Robinson menulis : “…Countries become failed states not because of their geography or their culture, but because of the legacy of extractive institutions, which concentrate power and wealth in the hands of those controlling the state, opening the way for unrest, strife, and civil war” (Negara menjadi gagal tidak disebabkan karena geografi dan kebudayaan, akan tetapi karena warisan institusi ekstraktif yang memusatkan kekuasaan dan kekayaan pada tangan kelompok elit penguasa yang memicu keresahan pemberontakan , dan perang saudara” (Hal.376).

Di daerah euforia dan ekspektasi politik kita tidak menjadi brain-drain intelektual,  tapi justru menjadi anti-demokrasi. Kita menyaksikan elite-elite di daerah bak raja yang menguatkan kekuasaannya sekedar untuk kepentingan jangka pendek. Daerah berada dalam sebuah krisis yang sangat kritis – di mana tabiat penguasa-penguasanya cenderung mengekslusi kebijakan ekonomi ke kepentingan institusi ekstraktif.

Banyak pertanyaan yang muncul di benak  kedua penulis. Mengapa tak satupun elite di daerah yang memperkirakan kegagalan ini? Apakh krisis ini terutama  dibawah oleh sesuatu yang ada di daerah, atau justru berasal dari luar? Seperti apa, masa-masa sebelumnya yang membawa benih-benih terjadinya daerah gagal? Ataukah ini semacam interupsi – yang mengingatkan kita akan berakhirnya suatu era kekuasaan? Setidaknya ada pelajaran yang dapat dipetik dari ramalan ini; bahwa ekonomi politik yang esktraktif akan menuju kehancuran dan berakhir dengan sedih, meski dibungkus dengan dalil  pembangunan.

Mulai dari debat calon Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota selalu diimbuhi perdebatan dan  janji menghapus ketimpangan. Dan ukuran  yang dianggap paling inklusif adalah Indeks Gini. Bahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah saat ini secara eksplisit memuat target bagaimana mengakomodasi dinamika pendapatan dalam masyarakat secara akurat.  Tapi, benarkah sesederhana itu akar penyebabnya?

Fakta menyebutkan,  dari  observasi Acemoglu dan Robinson, “bahwa institusi politik-ekonomi suatu negaralah (daerah) yang menjadi penentu. Negara atau daerah yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. Sementara itu, Negara atau daerah yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan mengarah menjadi negara gagal”.

Jalan sejarah politik kesengsaraan, seperti institusi ekstraktif dengan segala aksesorisnya hanyalah sebuah “hasil” dan bukan “sebab”. Dari watak elit yang ekstraktif, kita akan digiring dalam suatu sistem diktatorial. Malah, ia seperti punya kecenderungan berakhir dengan menguatnya negara dan otoritarianisme.

Pemenang Nobel ekonomi  Kenneth Arrow pernah menulis sebuah pembuktian matematis yang begitu monumental tentang benevolent dictator atau “diktaor baik hati” lewat teorema imposibilitynya. Di situ kita bisa memahami  preferensi individu tentang demokrasi dengan segala variasinya. Terutama dalam transaksi sosial-ekonomi dan menentukan apa yang baik dan buruk bagi banyak orang.

Lalu apa relevansinya dengan daerah gagal? Kita tidak bisa berkata tidak pada politik ekstraktif, karena itulah pasar dominan yang begitu bermanfaat bagi masyarakat. Ini harga sebuah demokrasi yang mewarnai politik kita hari ini.

Melalui saringan asap neoliberakisme – dan lagi-lagi atas nama pembangunan daerah mengalami pertumbuhan semu. Yang ada hanyalah sebuah upaya mempertahankan legitimasi pemerintah – pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang rendah, diikuti oleh biaya politik dan ekonomi yang paling murah. Daerah menjadi wilayah jual beli kekuasaan, digunakan dan didistribusikan dan karena itu menjadi wilayah pertarungan politik.

Sistem politik ekologi di daerah juga mengalami ketercerabutan ekonomi dari  komunitas asal, dan berubah nilai menjadi kekuatan kapitalis – sarat dengan persekutuan ekstraktif. Hiruk-pikuk politik domestik saat ini membuat daerah semakin terpinggir.  Apakah ini   warisan  sejarah di masa lalu, kawasan kepulauan Papua, Maluku dan Maluku Utara, dengan  lautnya hanya   dianggap sebagai faktor pembatas dan pemisah. Maka muncul dikotomi antara orang Pusat dan orang daerah, budaya daerah  dan budaya nasional atau kepentingan pusat dan kepentingan daerah?

Kredo NKRI harga mati. Ternyata cuma sebuah ungkapan romantisme. Dan kita hanya diingatkan pada satu hal : betapa mahalnya persatuan itu. Selama pemerintahan Orde Baru, dan bahkan di era reformasi; Daerah tidak pernah  diposisikan sebagai faktor penting dalam proses politik dan pemerintahan. Daerah tetap terposisikan sebagai nonfaktor – dipinggirkan. Di sini kita bisa melihat betapa kuatnya  intervensi pemerintah pusat terhadap pengelolaan sumberdaya alam oleh institusi ekstraktif. Rakyat selalu menjadi korban kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan. Kisah perusahaan tambang adalah satu contoh dari praktek ekstraktif tanpa moral incentives, yang nota bene menjadi pengisi pundi-pundi kekuasaan elite pemerintah pusat.

Kalau memang demikian, bagaimana daerah harus bersikap? Semua ini gara-gara politik kekuasaan. Kekuaasan menjadi begitu sakral, tidak bisa disentuh, tidak bisa salah, apalagi disalahkan. Daerah hanya dimanfaatkan untuk memberi legitimasi atas pertumbuhan ekonomi semu.

Kapitalisme memang mengalami transformasi; dan aksesorinya adalah praktek ekstraktif. Karena itu, sumberdaya alam menjadi daya tarik untuk menjadi pertukaran kepentingan politik. Inilah kesimpulan saya tentang tesis negara atau daerah  gagal. Ujungnya juga sangat tergantung pada gaya kepemimpinan. Tapi orang akan mengatakan sebagai satuan politik dan geografis – kepemimpinan yang baik pun akan  terjebak pada praktek ekstraktif  akibat godaan kekuasaan yang dimilikinya. Hanya satu jalan, mengakhiri institusi ekstraktif, pilihannya cuma pada kepemimpinan inklusif. (*)

Artikel ini sudah diterbitkan di SKH Posko Malut, edisi Senin 07 Oktober 2019