TERNATE-PM.com, Meski menuai banyak protes, Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Lawa Cipta Kerja saat ini telah diserahkan oleh Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, tinggal menunggu waktu kapan RUU yang dinilai sangat merugikan para buruh ini, dibahas oleh para anggota parlemen.

Penolakan RUU ini datang dari banyak kalangan. Salah satunya, dari Gerakan Pemuda Marhaenis. Sekretaris Dewan Pengurus Daerah (DPD) GPM Maluku Utara Yusran Gani mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis harus pula mengandung unsur perlindungan.

“Draf ini kebalikannya, bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan, bukan perlindungan,” ungkap Yusran.

Kata Yusran, ada beberapa hal yang disoroti GMP Malut, diantaranya; pertama, hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. Berdasarkan RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja) yang diterima  pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara kata dia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota.

“Di dalam omnibus law memang masih ada upah minimum melalui UMP. Tentunya akan merugikan Masyarakat kecil seperti Buru,” tuturnya.

Kedua, masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif.

Sebelumnya, aturan mengenai pesangon ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga, akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Sebelumnya, dalam aturan UU tentang Ketenagakerjaan penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core business). 

Keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda. Kelima, aturan mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif. Pada pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja.  Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam.

“Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu dan omnibus law cipta lapangan kerja dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap,” terangnya.

Lanjut dia, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas dan terakhir, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan lainnya. “Untuk itu GPM Malut Mendesak kepada DPRD Provinsi Maluku Utara segera Mengeluarkan Surat penolak RUU Omnibus law,” desaknya. (wm02/red)