TERNATE – PM.com, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate mulai pusing dengan utang pihak ketiga senilai Rp 25 miliar. Pasalnya, DBH Pusat triwulan IV senilai Rp 18 miliar, dan DBH Provinsi triwulan IV senilai Rp 10 miliar lebih yang menjadi harapan membayar utang tersebut tak kunjung terrealisasi.

Karena itu, langkah yang akan diambil Pemkot Ternate untuk membayar utang pihak ketiga trsebut adalah dengan cara memangkas program Organisasi Perangkat Daerah (OPD).  Hal itu terkuak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Kamis (6/2/2020).

Langkah Pemkot Ternate ini, membuat Komisi II DPRD Kota (Dekot) Ternate naik pitam. Ketua Komisi II DPRD Kota Ternate, Mubin A. Wahid mengatakan, penjelasan Penjabat Sekkot Ternate, Thamrin Alwi dan Kepala DPKAD, Taufik Jauhar itu menunjukkan kapasitas dua pejabat tersebut dalam mengelola keuangan pemerintah amburadul. Tidak memiliki dasar dan manajemen pengelolaan keuangan yang baik. 

“Alasan mereka (pemerintah) pertama adalah karena tidak terealisasinya DBH Pusat triwulan IV sebesar Rp 18 miliar, kemudian DBH Provinsi triwulan IV sebesar Rp 10 miliar lebih, dan PAD sebesar Rp 24,87 miliar sampai 31 Desember 2019 tidak terealisasi sehingga mereka tidak mampu membayar pekerjaan-pekerjaan yang telah selesai dikerjakan,” katanya.

Pemerintah menawarkan skema pembayaran utang pihak ketiga dengan menggunakan APBD 2020 sebagaimana ketentuan yang berlaku. “Salah satu syarat  yaitu melakukan pembaharuan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). “Jadi ada utang kemudian mereka membayar, dana yang digunakan itu dari mana, atau dana apa? Atau sumber anggarannya dari mana? Itu yang menjadi pertanyaan,” tanya Mubin.

Ia menjelaskan, program OPD yang sejak awal disepakti bersama DPRD akan dipangkas. “Mereka akan mengurangi program yang dianggap tidak urgen dan mendesak untuk membayar utang sebesar RP 25 miliar itu,” katanya. 

Skema yang diambil Pemerintah menurut Mubin, sangat amburadul, dan buruk. Nilai buruk yang disematkan tersebut dilatarbelakangi karena Pemerintah menunjukan sikap inkonsistensi terhadap hal-hal yang telah dituangkan kedalam Perda APBD 2020. 

“Kenapa buruk? seandainya, sebelum APBD diketuk, minimal satu dua minggu pada saat pembahasan APBD itu Pemerintah Kota Ternate sudah harus mengestimasi, mampu merencanakan, kira-kira pekerjaan program tahun anggaran yang dikerjakan tahun 2019 yang tidak mampu dibayar tepat waktu itu itemnya apa saja, jumlahnya berapa? Perencanaan seperti itu kemudian dianggarkan dalam luncuran APBD 2020, tapi sama sekali mereka tidak mampu membuat perencanaan seperti ini,” kesalnya.

Pemerintah hanya mampu memberikan gambaran tentang total nilai piutang sebesar Rp 24 miliar terkait reklamasi, sementara anggaran Rp 25 miliar lebih itu tersebar untuk 81 program kegiatan di 12 OPD.

Komisi II menawarkan kepada Pemerintah untuk mendesain APBD menjadi surplus, sehingga ketika ada kemacetan dalam membayar utang, anggaran surplus tersebut yang akan diprioritaskan untuk membayar utang pihak ketiga. “Jadi kalau mereka tidak mampu merencanakan luncuran utang dibawa ke tahun berikutnya, sebaiknya APBD dirancang surplus, tujuanya apa, seandainya ada timbul utang yang begitu banyak, surplus itu yang diprioritaskan untuk membayar utang yang ada sehingga tidak memberatkan APBD 2020,” tegasnya sembari mengatakan, apa yang telah disepakati sebelumnya menjadi sia-sia, bahkan akan ada banyak OPD yang ikat pinggang karena programnya ditiadakan. 

Sementara Penjabat Sekretaris Kota, Thamrin Alwi menjelaskan, mengenai utang pihak ketiga di tahun 2019 sebesar Rp 25 miliiar yang tersebar di 12 OPD tetap akan dibayar dengan sumber anggaran yang berasal dari DBH Pusat dan DBH Provinsi. “Kita tetap menyelesaikan soal anggaran fisik tersebut,” katanya.

Ia mengaku, mengenai utang tersebut sudah dikomunikasikan petunjuk pembayarannya di bagian keuangan daerah. Sehingga dengan petunjuk tersebut Pemerintah akan membayar piutang tersebut. “Tetap dibayar tetapi kita menyesuikan,” pungkasnya. (Cha/red)