Usai demonstrasi yang memakan korban jiwa, negara seharusnya bercermin. Tragedi itu menjadi titik balik untuk lebih memahami isi hati masyarakat, bukan malah menggiring analisis ke arah histeria seolah Indonesia di ambang kehancuran. Tekanan hidup akibat kebijakan yang keliru—kenaikan pajak, tunjangan mewah DPR, hingga isu-isu remeh yang menyulut amarah—sudah cukup menjadi bahan bakar perlawanan. Pertanyaannya sederhana: apakah intelijen kita benar-benar tidak punya peta keresahan sosial, atau justru ada skema berganda dengan kepentingan lain?

Intelijen, menurut Sherman Kent, dirancang sebagai _early warning system_—sistem peringatan dini untuk mengantisipasi ancaman. Fungsi utamanya mencegah, bukan menyesali. Namun praktik di lapangan menunjukkan kelemahan mendasar. Demonstrasi beberapa hari lalu, yang awalnya dipicu isu tunjangan, dengan cepat menjelma menjadi protes politik besar-besaran. Korban jiwa, kerusuhan, dan penyerangan fasilitas publik memperlihatkan betapa negara gagal mengantisipasi. Aparat sibuk memadamkan api yang sudah membesar, bukan mencegah percikan awal.

Dalam suasana panas itu, Presiden Prabowo menyebut situasi sudah mengarah pada “makar”. Hendropriyono menambahkan narasi bahwa ada pihak asing ikut bermain. Alih-alih menenangkan, dua suara ini justru membuat publik semakin bingung. Tuduhan makar tanpa bukti, klaim intervensi asing tanpa data—semuanya hanya mempertebal kabut informasi. Publik pun kian skeptis, merasa narasi kekuasaan lebih didorong oleh kepanikan ketimbang analisis yang solid.

Baca Juga:SOSIOLOGI BALI

Kelemahan ini menunjukkan titik rapuh dalam _intelligence cycle_, yaitu tahap analisis. Informasi melimpah di media sosial, tetapi gagal diolah menjadi prediksi strategis. Richards Heuer pernah mengingatkan soal bahaya _cognitive bias_—analis hanya menegaskan keyakinan sendiri alih-alih membaca pola yang nyata. Akibatnya, negara tampil reaktif, bukan proaktif. Inilah yang terjadi: aparat bergerak setelah kerusuhan pecah, bukan sebelum.

Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Amerika Serikat pernah kecolongan saat gagal membaca tanda-tanda serangan 9/11. Kasus Irak 2003 menjadi contoh politisasi intelijen yang memalukan, ketika isu senjata pemusnah massal dipelintir untuk melegitimasi perang. Bahkan Israel, dengan reputasi intelijen yang kuat, tak mampu mencegah serangan mendadak Hamas pada Oktober 2023. Semua preseden itu menegaskan: intelijen runtuh ketika analisis jernih dikalahkan oleh narasi politik atau bias internal.

Karena itu, demonstrasi terakhir seharusnya menjadi alarm keras bagi Jakarta. Menghadapi keresahan publik tidak cukup hanya dengan menuding makar atau asing. Intelijen harus menunjukkan dirinya sebagai institusi yang mampu memetakan opini, memahami tekanan sosial, dan memprediksi arah eskalasi. Tanpa itu, negara akan terus gagap, sementara lawan politik dan masyarakat kian kehilangan kepercayaan. Presiden butuh analisis intelijen yang memberi bukti, bukan sekadar alasan. Jika tidak, setiap pernyataan akan dibaca publik sebagai kepanikan belaka—dan itulah awal dari hilangnya legitimasi kekuasaan.