Bersikap Ancam Keluar Dari Provinsi Malut
TOBELO-PM.com, Statemen Pemerintah Provinsi Maluku Utara terkait Permendagri nomor 60 tahun 2019 tentang batas daerah antara kabupaten Halmahera Barat (Halbar) dan Halmahera Utara (Halut) terkait status enam desa, mendapat kecaman keras dari Pemerintah Daerah Halut.
Pasalnya, terkait dengan status enam desa yang berada di kecamatan Kao Teluk Kabupaten Halut, yang telah diklaim Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Halbar bahwa akan dibentuk empat Desa untuk masuk Halbar, mendapat penolakan keras. Bahkan Pemda Halut menyatakan tidak akan sudi melepaskan empat Desa utuk dibentuk Desa baru dan masuk wilayah Halbar.
Ketidak sudian melepas empat Desa milik Halut itu, kemudian melancarkan kecaman dengan memberikan sikap keras mengancam Pemrov bahwa Pemda Halut bakal keluar dari wilayah Provinsi Malut dan bergabung dengan provinsi lain.
Juru bicara Pemda Halut melalui Kadis Kominfo Deky Tawaris mengatakan, Pemda Halut menyampaikan sikap protes terhadap Gubernur yang tidak melibatkan Pemda Halut disetiap kebijakan penyelesaian Enam Desa Halut-Halbar, ketidakadilan sikap Gubernur kepada Kabupaten Halut, maka jika ada aturan yang memungkinkan Kabupaten untuk memilih berpisah dan bergabung dengan pemprov lain, maka Pemda dan masyarakat Kabupaten Halut memilih untuk keluar dari Prov Malut dan bergabung dengan Pemprov lain. “Kami menyatakan protes terhadap Gubernur yang tidak melibatkan pemda Halut dalam setiap kebijakan terhadap masyarakat 6 desa. Perlu Kami sampaikan bahwa sejengkalpun Halut tidak akan pernah melepaskan atau memberikan 6 desa ke Halbar, dan jika Kemendagri tidak mengakomodir masukan untuk merevisi beberapa titik koordinat pada Permendagri 60/2019 maka kami akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan judical review ke PTUN ataupun MK,”tegasnya.
Menurut Deky, empat desa Bobane Igo, Akelamo, Tetewang dan Akesahu telah masuk ke wilayah Kabupaten Halbar itu, bahwa sesungguhnya Permendagri 60 tahun 2019 bertentangan dengan PP 42/1999 dan UU nomor 1 tahun 2003 maupun Permendagri 137 tahun 2017. Bahwa ke 3 aturan tersebut menyatakan 6 desa masuk dan merupakan bagian dari wilayah kabupaten Halut, namun faktanya Permendagri 60/2019 menempatkan garis batas yang membagi 6 desa menjadi 2 bagian. “Harusnya Kemendagri mengundang Gubernur dan kedua kabupaten untuk dilakukan sosialisasi sekaligus menyerahkan secara resmi Permendagri 60/2019 ini, tidak boleh perintahkan Pemprov untuk mensosialisasi, karena Pemprov tidak dalam posisi sebagai bagian dari tim pusat penyelesaian batas wilayah yang mengetahui teknis penyusunan dan alasan penentuan titik- titik koordinat batas.” Jelasnya.
Mantan Kepala Bapeda ini mengatakan, sikap bahwa Ketidakmampuan Gubernur Malut KH. Abdul Gani Kasuba dalam menyelesaikan batas wilayah antara Halut dan Halbar sejak tahun 2006, maka Pemprov menyerahkan kembali penyelesaian kepada Kemendagri yang disepakati kedua kabupaten, dengan catatan menerima apapun keputusannya. ” Keputusan Kemendagri harus sesuai peraturan perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang Peraturan Pemerintah yang kedudukan hukum lebih tinggi dari Permendagri.” Ujar Deky Tawaris.
Menurut Deky, sebelum Permendagri dipublis, idealnya Pemprov dan kedua kabupaten Halut dan Halbar dipanggil untuk dipaparkan draft Permendagri tersebut, demi menghindari polemik yang berkepanjangan. Tetapi faktanya tidak dilakukan. Artinya Permendagri langsung ditetapkan dan diserahkan kepada Pemprov untuk dilakukan sosialisasi. “Pemda dan DPRD Halut akan menyampaikan sikap melalui surat yang ditandatangani bersama kepada Kemendagri dalam waktu dekat,”ungkapnya.
Ia menambahkan, andaikan Pemprov ngotot mau lakukan sosialisasi maka secepatnya dilakukan sosialisasi kepada Pemda kabupaten/tim penyelesaian batas tingkat kabupaten, bukan sosialisasi kepada masyarakat di wilayah 6 desa. Ini Permendagri tentang batas administrasi Halmahera Utara dan Halmahera Barat bukan Permendagri batas 6 desa. Batas Halmahera Utara, Halmahera Barat itu mulai dari desa Apulea Kecamatan Loloda utara sampai ke Desa Pasir Putih Kec Kao Teluk. “Dari segi etika birokrasi, Pemprov harusnya melakukan sosialisasi kepada Pemkab, kemudian Pemkab lanjut lakukan sosialisasi ke kecamatan dan desa-desa di wilayahnya.” Ujar Deky.
Lebih lanjut ia mengatakan, terkait alasan Pilkada, maka sesungguhnya harus dipahami bahwa yang berkaitan dengan pemilih itu adalah status kependudukannya, bukan batas wilayah. Jadi masyarakat tercatat sebagai wajib pilih di wilayah yang sesuai dengan keterangan kependudukan dalam KTP. “Contoh penduduk Halbar boleh tinggal di wilayah Halut, tetapi terkait haknya sebagai pemilih tetap tercatat sebagai pemilih Halbar sesuai KTPnya. Sehingga alasan untuk segera dibentuk desa baru merupakan alasan yang mengada ada. ” katanya.(mar/red)
Tinggalkan Balasan