Di Malifut, sebuah kampung di tepian Utara Halmahera, aroma pala dan cengkeh berbaur dengan getir asap kopra yang mengepul dari tungku renta, serupa napas panjang yang menahan luka. Pohon-pohon tinggi, yang dulu dijanjikan akan jadi mercusuar kemakmuran, kini berdiri lesu, menjadi saksi bisu di antara jalan tanah berbatu yang tak pernah tersentuh aspal.

Suara anak negeri di sana lirih, nyaris hilang ditelan angin laut, namun sarat isyarat protes-protes yang tidak meledak dalam teriakan, tetapi merayap pelan di dada, menuntut perhatian pada kelalaian yang diwariskan dari waktu ke waktu.

Mereka menenun harapan di persimpangan hidup, di tengah hasil bumi yang terus diperas pasar tanpa perlindungan, menanggung resah ketika harga jatuh, saat perantara menindas, seolah tetes peluh mereka tak bermakna apa-apa.

Dalam setiap butir pala, setiap kuntum cengkeh, dan setiap sabut kopra yang legam, tersimpan sejarah kebanggaan leluhur yang pernah mengharumkan dunia. Tetapi kini, nyaris padam oleh kebijakan yang abai memeliharanya.

Malifut bukan sekadar lahan rempah atau tungku kopra tua, melainkan potongan napas budaya, denyut hidup, dan marwah anak negeri. Saat jalannya berlubang, sekolahnya nyaris roboh, harga hasil buminya dipermainkan, maka protes mereka menyeruak, meski tanpa pengeras suara, mengetuk nurani: kami anak negeri, bagian sah dari republik, dan tak ingin dilupakan.

Malifut, dengan aroma getir dan manisnya, berdiri di persimpangan harapan — mengirimkan pesan lantang, meski sunyi, agar negeri ini menoleh, mendengar, dan merangkul dengan keadilan sejati.

Malifut sebenarnya bukan tempat asing di peta rempah Nusantara. Dari dulu, tanahnya menumbuhkan pala beraroma tajam, cengkeh harum, serta kelapa yang menopang hidup ratusan petani.

Di setiap pekarangan, berdiri pohon-pohon kelapa yang tinggi menantang langit, diselingi tanaman pala yang berbuah subur menunggu musim panen. Namun tanah yang subur tak pernah menjamin kesejahteraan, sebab infrastruktur tetap mati suri.

Jalan yang berlubang, jembatan reyot, listrik yang padam sampai mingguan, air bersih yang harus ditimba dari sumur jauh, semua itu menumpuk menjadi luka. Seolah rempah harum tak cukup menumbuhkan kepedulian. Negeri ini begitu mudah terpesona pada kota, pada deretan gedung bertingkat, tapi abai pada kampung yang memelihara denyut pangan dan budaya di tepi peta.

Dalam sepinya Malifut, harapan menua di pundak petani. Mereka menunggu perbaikan jalan agar hasil panen tidak rusak di perjalanan, menanti koperasi yang adil agar tidak terjerat tengkulak, mendambakan sekolah yang layak agar anak-anaknya tidak sekadar mewarisi kebun tua, tetapi juga pengetahuan baru untuk bertahan di zaman yang terus berubah.

Ketika pasar global menekan harga pala dan cengkeh, mereka hanya bisa pasrah. Ketika hujan deras menenggelamkan jalan desa, mereka hanya menepi. Protes mereka tak pernah muncul di layar berita, tetapi hidup di obrolan di bawah pohon kelapa, di pos ronda dan halte tempat perkumpulan anak muda, di tungku pengasapan kopra. Ini adalah protes paling sunyi, tapi juga paling jujur.

Seperti pernah diingatkan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, “sebesar apa pun penderitaan rakyat kecil, ia akan tetap dipikul dengan diam, kecuali bila nurani kolektif tergugah.” Malifut hari ini mencerminkan kalimat itu.

Aroma pala, cengkeh, dan getir kopra bukan hanya sekadar cerita komoditas, tetapi menjadi simbol luka dan ketahanan sebuah kampung yang tertatih. Mereka bersuara di jalur paling sunyi, lewat keringat, lewat harga jatuh, lewat jalan rusak, yang jika diabaikan terus-menerus akan menjelma menjadi dendam sejarah.

Persimpangan harapan yang mereka pijak bukan sekadar menanti pembangunan fisik, melainkan menanti pengakuan sebagai anak negeri, bagian sah dari cita-cita keadilan sosial. Protes mereka, meski sederhana, menagih janji konstitusi agar pembangunan menjemput pinggiran dan merawat akar.

Tak jarang orang bertanya: mengapa tetap bertahan di kampung terpencil, kalau kondisinya seberat itu? Bagi anak-anak Malifut, jawabnya sederhana: di sanalah mereka berpijak, di sanalah akar mereka.

Aroma pala, cengkeh, dan kopra bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari jati diri, dari sejarah panjang perdagangan rempah Nusantara yang menghubungkan Malifut dengan dunia. Jika mereka pergi, siapa yang akan merawat cerita itu? Siapa yang akan menjaga kebun, agar negeri ini tidak sepenuhnya bergantung pada pangan impor? Itulah sebabnya mereka bertahan, meski harapan kadang nyaris padam.

Pemerintah sering menepuk dada, mengaku membangun dari pinggiran. Namun Malifut membuktikan bahwa pembangunan di atas kertas belum tentu berakar di tanah. Janji program selalu datang, namun hanya sebentar hinggap, lalu hilang tertiup musim politik berikutnya.

Sementara itu, petani menunggu perbaikan listrik, menanti pupuk subsidi yang layak, memohon harga yang stabil. Mereka tidak minta lebih, hanya ingin diakui sebagai warga negara setara, sebagai anak negeri yang berhak mendapatkan fasilitas dasar dan perlindungan harga wajar. Jika itu masih terlalu sulit, maka jangan salahkan jika protes mereka terus tumbuh, diam-diam, seperti akar kelapa yang tak terlihat tapi kuat merusak fondasi ketidakadilan.

Di bawah terik matahari, petani menurunkan buah kelapa satu per satu, memecahnya, menjemur kopra di halaman seadanya. Bau asap kayu bakar meresap di sela pakaian, menempel di kulit, menua bersama keriput mereka. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, menyusuri jalan berlumpur, menjemput mimpi yang entah akan tersampaikan atau sekadar terhenti di pagar ketidakpedulian. Mereka adalah bagian dari bangsa ini, meski langkah mereka sering tersandung kebijakan yang tak berpihak.

Suara Malifut adalah suara puluhan desa lain yang senasib. Dari barat sampai timur, banyak kampung yang bergantung pada pala, cengkeh, dan kopra, namun tertatih oleh harga yang tak menentu, transportasi yang mahal, dan infrastruktur yang setengah jadi.

Bila negara sungguh ingin menegakkan keadilan sosial, kampung seperti Malifut harus menjadi prioritas, bukan sekadar catatan pinggiran. Jangan menunggu mereka meninggalkan kampung demi kota, lalu kita baru sadar bahwa lahan subur telah berubah menjadi semak belukar yang tak terurus.

Kita tak perlu menunggu sejarah menuliskan penyesalan. Masih ada waktu untuk menoleh, untuk merangkul, untuk mendengar protes sunyi para petani. Malifut hanya satu dari banyak suara yang nyaris padam, menuntut keadilan bukan untuk kaya raya, tetapi agar hidupnya layak.

Anak negeri berhak atas tanah yang diperjuangkan leluhurnya, berhak atas pendidikan bermutu, kesehatan yang memadai, dan pasar yang tidak menindas. Mereka berhak merawat rempah kebanggaan dengan martabat, bukan sekadar menadah belas kasih tengkulak atau sekotak program bantuan yang tak menyentuh akar masalah.

Harapan anak negeri ini mungkin seperti pelita kecil di ujung perkampungan. Nyaris padam, tapi tetap berkobar jika disirami perhatian tulus. Pemerintah kabupaten, kota, bahkan provinsi, mestinya menaruh telinga lebih dekat ke kampung-kampung ini, bukan sekadar mendengar laporan di meja rapat berpendingin udara.

Turunlah ke Malifut, rasakan debu jalannya, hirup aroma kopra yang terbakar, dengarkan protes yang tak sempat dilantangkan dengan pengeras suara. Di sana, di simpul-simpul kebun pala dan cengkeh, tertulis pesan anak negeri: kami ingin didengar, kami ingin dibantu, kami ingin dihargai.

Negeri ini terlalu luas untuk diurus dari kota semata. Jika ingin berdiri kokoh, ia harus menumbuhkan akar di desa-desa seperti Malifut. Harapan tidak boleh padam hanya karena malas menoleh. Pala, cengkeh, dan kopra bukan sekadar bahan baku ekspor, tetapi kebanggaan Nusantara, pusaka dunia, warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai. Menjaga kampung berarti menjaga Indonesia.

Mungkin protes itu tak sekeras demonstrasi di depan gedung DPR, tetapi justru di sanalah kejujuran dan ketulusan terasa. Protes anak negeri yang diucapkan di bawah pohon kelapa, di beranda rumah kayu, di gubuk pengasapan kopra — jauh lebih tulus daripada retorika kampanye pembangunan. Jika negeri ini masih mau menegakkan keadilan, maka dengarkan suara mereka, rangkul harapan mereka, biarkan aroma rempah dan kopra menjadi saksi keberpihakan yang nyata, bukan sekadar janji politik musiman.

Hari ini, Malifut berdiri di persimpangan. Di satu sisi, mimpi tentang kemajuan yang terus dijanjikan. Di sisi lain, realitas yang menampar setiap kali hujan merendam jalan rusak atau harga kopra merosot tanpa belas kasihan. Mereka, anak negeri di kampung ini, hanya ingin berjalan bersama, bukan tertinggal di belakang. Sebab mereka pun bagian dari merah putih, bagian dari republik, dan bagian dari cita-cita berkeadilan sosial yang tertulis jelas di pembukaan Undang-Undang Dasar.

Jika tidak sekarang didengar, kapan lagi? Jika bukan negeri ini yang menolong, siapa lagi? Aroma pala, cengkeh, dan kopra telah menembus ratusan tahun sejarah, mencatat kejayaan dan juga air mata. Jangan biarkan catatan itu berakhir dengan putus asa. Biarkan ia tetap harum, tetap kuat, menjadi suluh yang menuntun anak negeri untuk bangga berdiri di tanah sendiri.