WEDA-pm.com, Polemik dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Induk 2023 milik Kabupaten Halamhera masih belum berujung.
Sejumlah pihak yang dianggap mengetahui duduk perkara dugaan APBD Induk sudah ditandantangi Ikram Malan Sangaji sebelum menjabat sebagai Pj Bupati Halmahera Tengah terkesan takut memberikan keterangan ke publik.
Kepala BPKAD Halteng, Abdurahim Yau saat dikonfirmasi poskomalut beberapa waktu lalu tidak bekomentar lebih.
Ia meminta kepada wartawan untuk mengonfirmasi langsung ke bagian hukum supaya lebih valid.
“Karena penomoran dan tanggal itu dicantumkan Bagian Hukum Setda Halteng dan Kabag Hukum Anwar Nawawi juga paraf sebelum ditanda tangani IMS,” ungkap Abdurahim Yau, Selasa, 04 Januari 2025 lalu.
Abdurahim kemudian mengalihkan pertanyaan wartawan dengan keterangan yang menyasar 15 program prioritas bupati sebelumya, Edi Langkara- Abdurahim Ode Yani.
Kata dia, pasca keputusan Mahkama Konstitusi (MK), dirinya menjelaskan terkait 15 program yang tidak ada di APBD 2023, digantikan dengan insentif ibu hamil dan menyusui.
Abdurahim bilang, bagaimana mungkin program prioritas seperti pembangunan GOR, Islamic Center dan Gedung Kesenian hilang di APBD 2023. Padahal luncurannya dibayar pada 2023.
Menurutnya, tidak mungkin bisa dibayarkan melalui SP2D jika tidak termuat dalam APBD.
“Kalu sumber yang tidak memahami mekanisme penyusunan APBD melalui sistem SIPD akan liat APBD dan bilang program tersebut hilang,” katanya.
Sementara, Wakil Ketua I DPRD Halteng, Kabir Hi Kahar saat dikonfirmasi poskomalut mengatakan, terkait dokumen APBD Induk 2023 yang ditanda tangani IMS bisa ditanyakan langsung kepada Sakir Hi Ahmad.
Ia menyebut mantan Ketua DPRD Halteng periode 2019-2024 itu mengetahui kejelasnnya.
“Karena waktu itu Pak Sakir yang ketua. Pak Sakir yang tanda tangan itu jadi kami tidak tahu,” katanya, Selasa (11/2/2025).
Kabir juga merasa aneh jika IMS yang dilantik pada 26 Desember 2022, tapi sudah meneken APBD Induk 2023 yang disetujui DPRD pada 28 November 2022.
Sementara, di berita acara kesepakatan pemerintah daerah dan DPRD Halteng pada 9 Desember, masih ditandatangani Edi Langkara sebagai bupati defenitif.
Kabir menambahkan seharusnya IMS tanda tanganya dokumen evaluasi pada Januari 2023. Bukan di 28 November 2022.
“Nanti kami pelajari dokumennya dulu supaya kita bisa pastikan tanggalnya itu dulu, karena terkait dokumen ini kita tidak bisa mengira-ngira supaya kita bisa pastikan tanggalnya itu,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sakir Hi Ahmad sendiri sudah dihubungi beberapa kali oleh jurnalis media ini, namun tidak merespon pertanyaan yang diajukan.
Terpisah, akademisi Universitas Khairun Ternate (Unikhair), Dr. Hendra Kariangan menyoroti 15 program prioritas yang termuat dalam APBD Induk 2023, namun tidak dijalankan pemerintahan.
Menurutnya, bahwa memahami APBD sangat sederhana, tidak berbelit-belit.
“Karena penyusunan APBD itu pertama RPJMD sebagai dokumen induk kemudian RPJMD lahirnya RKPD setiap tahun,” katanya, Kamis, 6 Ferbuari 2025.
Lanjutnya, setelah RKPD kemudian dibahas dan disampaikan DPRD, kemudian pemerintah daerah (pemda) menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerahnya (RAPBD) di mana dimulainya dari pada KUA dan PPAS.
“KUA dan PPAS itu adalah APBD mini sebenarnya. Kalau pembahasan dan mekanisme itu sudah dilalui tidak ada cerita mau dicoret atau menghilangkan,” bebernya.
Meski begitu, Hendra mempertanyakan apakah 15 program prioritas yang disusun di masa Elang-Rahim sesuai dengan RKPD atau tidak.
Apabila penyusunan APBD oleh DPRD dan pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang (UU), tentu melanggar aturan.
“Kalau tidak bertentangan dan tidak melanggar aturan tidak ada cerita dihilangkan apalagi sudah disahkan dewan,” cetusnya.
Terkait nanti dibawa ke provinsi untuk evaluasi, Hendra menilai sifatnya administratif. Sebab itu pemerintah provinsi mencoret atau menghilangkan point atau program prioritas yang diserap dalam RPJMD dan RKPD kemudian disahkan dalam APBD.
“Kalau masih rancangan RAPBD itu masuk dalam pembahasan, kan sudah disahkan menjadi Undang-undang,” katanya.
Lebih lanjut Hendra menyatakan, sumber hukum pengelolaan APBD adalah peraturan daerah (perda).
“Jadi sederhana APBD ini adalah milik rakyat punya rakyat dan pemerintah daerah diberikan hak dan kewenangan untuk mengelola,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan