Oleh Dr. Aji Deni, S.Pd., M.Si
Tahun 2024, kita kembali menghadapi momen penting dalam sejarah demokrasi dengan diselenggarakannya pemilihan umum serentak, termasuk pemilihan presiden dan kepala daerah. Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, perbedaan pilihan politik kembali menjadi sorotan utama, bahkan sering kali menciptakan polarisasi di masyarakat. Sayangnya, isu ini tidak hanya terbatas pada arena politik semata, tetapi meluas hingga memengaruhi hubungan sosial, budaya, bahkan keagamaan. Di berbagai ruang publik, baik fisik maupun digital, perbedaan pilihan sering kali berubah menjadi konflik emosional, menciptakan ketegangan yang memperparah perpecahan.
Fenomena ini menunjukkan kecenderungan sebagian masyarakat untuk mengaitkan identitas politik dengan nilai-nilai moral dan religius. Dalam konteks pilkada 2024, beberapa pihak bahkan memanfaatkan sentimen agama untuk membenarkan pilihan politik mereka, sementara yang lain mengecap pihak yang berbeda sebagai “kurang religius” atau “tidak bermoral.” Akibatnya, polarisasi politik tidak hanya menimbulkan perselisihan, tetapi juga menciptakan narasi yang mempersempit makna persatuan dan kebhinekaan. Di tengah situasi ini, muncul tantangan untuk menjaga harmoni dan mengingatkan bahwa perbedaan pilihan politik adalah bagian dari dinamika demokrasi, bukan alasan untuk merusak persaudaraan.
Saya fokus ke sebuah ucapan seorang Tokoh Muhammadiyah Prof Dr. Din Syamsuddin dalam sebuah pertemuan dengan beberapa universitas ternama dari Iran di Jakarta. Beoiau mengucapkan di hadapan peserta dialog, dengan Ucapan “Saya bukan Syiah, saya juga bukan Sunni, tetapi saya seorang Muslim” “I am neither Shia nor Sunni, but I am a Muslim.”Sebuah ucapan yang sangat sederhana, namun mengandung makna yang tinggi dan luas. Di esai ini saya mencoba mengulas dengan beberapa analisis lebih kritis dengan memadukan pandangan para teolog, ahli ilmu kalam, tasawuf, ma’rifat, dan fuqaha. Pernyataan ini mencerminkan dinamika filsafat Islam yang mengedepankan substansi keimanan, sekaligus mengundang diskusi tentang bagaimana umat memandang identitas keagamaan di tengah perbedaan mazhab.
Analisis ini melibatkan pendekatan dari berbagai disiplin keilmuan Islam untuk menggali makna lebih dalam dari pernyataan tersebut.
1. Perspektif Teologi dan Ilmu Kalam
Pernyataan “Saya bukan Syiah, saya bukan Sunni, tetapi saya seorang Muslim” mencerminkan pengakuan atas konsep ummatan wahidah atau umat yang satu, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Anbiya: 92.
Dalam perspektif ilmu kalam, pernyataan ini tentang pentingnya esensi Islam dibandingkan identitas mazhab. Misalnya Aliran Mu’tazilah, yang dikenal mengutamakan penggunaan akal, menegaskan bahwa Islam sebagai agama universal tidak dapat direduksi menjadi sekadar afiliasi terhadap kelompok tertentu. Al-Qadi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah, berargumen dalam karyanya Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-Adl, bahwa akal dan keadilan ilahi menuntut kesatuan umat, bukan perpecahan yang disebabkan oleh identitas sektarian.
Kajian ini relevan dengan semangat pernyataan tersebut, yang menolak keterbatasan identitas Sunni atau Syiah. Sebaliknya, pandangan Asy’ariyah, seperti yang diwakili oleh Imam Al-Ghazali dalam Faysal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah, menekankan perlunya toleransi terhadap perbedaan selama tidak menyentuh inti tauhid. Al-Ghazali memperingatkan bahwa pengkotakan identitas dapat membawa fitnah yang melemahkan persatuan umat.
Pandangan ini diperkuat oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghayb, yang menyebutkan bahwa pluralitas pemahaman dalam Islam adalah rahmat, karena memungkinkan dialog di tengah keberagaman. Dari sudut ini, pernyataan tersebut seolah mengajak umat Islam untuk kembali kepada keimanan yang bersifat inklusif, tanpa menafikan keragaman yang telah menjadi bagian dari sejarah Islam.
Dari kajian Barat, Wilfred Cantwell Smith dalam bukunya The Meaning and End of Religion menyebut bahwa istilah-istilah seperti “Sunni” dan “Syiah” sering kali menciptakan fragmentasi di dalam Islam yang mengaburkan makna esensialnya. Smith berargumen bahwa identitas sektarian muncul lebih sebagai konstruksi sosial-historis daripada kebutuhan spiritual, yang jika tidak dikendalikan dapat menggeser fokus umat dari inti keimanan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam, di mana dia menyoroti bahwa pluralitas dalam Islam adalah bukti dari dinamisme agama ini, namun ia memperingatkan bahwa fokus berlebihan pada identitas kelompok dapat melemahkan solidaritas umat.
Dari perspektif filsafat Islam Timur, konsep kesatuan ini juga diperkuat oleh pemikiran Ibn Arabi dalam Fusus al-Hikam, di mana ia menekankan wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Ibn Arabi melihat bahwa semua perbedaan hanyalah manifestasi dari perspektif manusia yang terbatas dalam memahami Tuhan yang absolut.
Menurutnya, keimanan yang sejati melampaui dualitas mazhab dan menuju kesatuan spiritual. Pandangan ini mengajak umat Islam untuk memandang keberagaman dalam Islam bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan.
Pandangan ini mendapatkan konfirmasi dari Syed Hossein Nasr, seorang cendekiawan kontemporer, yang dalam bukunya Islam and the Plight of Modern Man menyebutkan bahwa perpecahan sektarian sering kali menjadi penghalang bagi umat Islam untuk menghadapi tantangan global. Nasr menyerukan kembali kepada tradisi spiritual Islam yang universal, yang mengatasi batasan mazhab. Pernyataan “saya seorang Muslim” dengan demikian dapat dipahami sebagai seruan untuk meneguhkan solidaritas umat di tengah tantangan modern, mengacu pada prinsip-prinsip inti tauhid, keadilan, dan inklusivitas sebagaimana diajarkan oleh tradisi Islam klasik dan kontemporer.
2. Tasawuf dan Ma’rifat: Dimensi Spiritual Tasawuf, dengan orientasi pada aspek batiniah agama, menawarkan pendekatan yang mengatasi perpecahan lahiriah. Jalaluddin Rumi, dalam Masnawi Ma’nawi, sering menekankan pentingnya melewati label-label eksternal yang memecah belah umat. Ia berkata, “Agama itu cinta; segala sesuatu yang lain hanyalah bayangan.” Pernyataan ini menggambarkan bahwa Islam yang sejati adalah hubungan langsung dengan Allah SWT yang melampaui identitas mazhab.
Tasawuf dan Pembersihan Ego
Dalam tasawuf, pembersihan ego atau tazkiyatun nafs menjadi langkah awal menuju kesatuan dengan Allah. Para sufi percaya bahwa identitas sektarian sering kali berasal dari ego yang ingin membedakan diri dari orang lain. Abu Yazid al-Bustami, dalam ajarannya tentang fana’ (lenyapnya diri dalam Allah), mengajarkan bahwa pencapaian spiritual tertinggi adalah ketika seseorang tidak lagi melihat dirinya atau orang lain dalam kotak identitas, melainkan sebagai bagian dari kesatuan Ilahi. Pernyataan tersebut mencerminkan dorongan untuk melampaui perbedaan superfisial dan fokus pada tauhid sebagai inti Islam.
Cinta Ilahi sebagai Penyatu Konsep cinta Ilahi (mahabbah) yang digagas oleh Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan bahwa cinta kepada Allah menghapus segala bentuk dualitas, termasuk identitas sektarian. Dalam salah satu doanya, Rabi’ah berkata, “Aku mencintai-Mu bukan karena surga-Mu, tetapi karena Engkau adalah Engkau.” Cinta semacam ini tidak memberi ruang pada perpecahan, karena cinta kepada Allah menyatukan semua makhluk dalam satu tujuan.
Pernyataan tersebut dapat dilihat sebagai manifestasi dari semangat ini, yakni menjadikan cinta kepada Allah sebagai dasar identitas keagamaan. Kesatuan dalam Wahdat al-Wujud Ibn Arabi, salah satu tokoh besar dalam tasawuf filsafat, memperkenalkan konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud), yang menyatakan bahwa semua perbedaan di dunia ini adalah cerminan dari satu realitas Ilahi yang tunggal.
Dalam Fusus al-Hikam, Ibn Arabi menyebutkan bahwa “Allah dikenal melalui berbagai bentuk, tetapi Dia tetap satu.” Dengan demikian, perbedaan Sunni dan Syiah hanyalah perspektif manusia yang terbatas dalam memahami Tuhan. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk melihat keesaan Tuhan di balik keragaman.
Pandangan Abdal dan Rijalul Gaib
Dalam tradisi sufi, ada konsep tentang abdal (orang-orang pilihan Allah) dan rijalul gaib (tokoh-tokoh gaib) yang memiliki peran menjaga keseimbangan spiritual dunia. Mereka digambarkan sebagai sosok yang melampaui identitas lahiriah dan hidup sepenuhnya untuk Allah. Al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi dalam Risalah al-Qushairiyyah menyebutkan bahwa para abdal adalah mereka yang “tidak dikenal kecuali oleh Tuhan, karena mereka hidup dalam cinta-Nya.” Dalam konteks ini, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa hubungan dengan Allah adalah yang utama, sementara identitas sektarian bersifat duniawi dan tidak esensial.
Perbedaan sebagai Rahmat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dalam Futuh al-Ghaib, menegaskan bahwa perbedaan dalam Islam adalah rahmat jika disikapi dengan kebijaksanaan. Ia berkata, “Jangan terperangkap dalam kebencian terhadap perbedaan, karena Tuhan membuatnya sebagai ujian untuk hatimu.” Dengan demikian, ungkapan ini mengandung semangat untuk melihat perbedaan mazhab sebagai variasi yang saling melengkapi, bukan alasan untuk perpecahan.
Kesatuan Umat dalam Tasawuf Tasawuf selalu menekankan pentingnya persatuan umat. Al-Junayd al-Baghdadi, yang dikenal sebagai pemimpin tasawuf moderat, mengajarkan dalam konsep tauhidul af’al bahwa semua tindakan berasal dari Allah. Dalam konteks ini, perbedaan mazhab hanya menjadi bagian kecil dari skema besar kehendak Ilahi. Pernyataan “saya seorang Muslim” mencerminkan kesadaran atas hal ini, dengan menolak keterpecahan dan menegaskan esensi Islam sebagai agama yang menyatukan.
Pengalaman Ma’rifat dan Dualitas Mazhab Ma’rifat, sebagai pengetahuan langsung tentang Allah, melampaui debat sektarian. Al-Hallaj, melalui karyanya Kitab al-Tawasin, menyatakan bahwa “Hakikat Tuhan tidak dapat dipahami melalui perdebatan, melainkan melalui cinta dan kehendak-Nya.” Dengan demikian, perbedaan Sunni-Syiah menjadi tidak relevan bagi mereka yang mencapai tingkat ma’rifat, karena hubungan langsung dengan Allah melampaui segala bentuk identitas.
Kesadaran Transenden Sufi seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menggambarkan perjalanan spiritual sebagai proses transendensi, di mana seseorang meninggalkan dunia material dan segala identitasnya. Ketika seseorang mencapai tingkat maqam tertentu, label-label eksternal seperti Sunni atau Syiah menjadi tidak relevan, karena yang ada hanyalah hubungan individu dengan Allah. Hal ini memperkuat pesan persatuan dalam ungkapan tersebut.
Konteks Modern dan Tasawuf Kontemporer
Dalam konteks modern, Syed Hossein Nasr menyoroti relevansi tasawuf sebagai jalan untuk mengatasi perpecahan umat. Dalam bukunya The Garden of Truth—Taman-taman kebenaran Nasr menjelaskan bahwa tasawuf memberikan jalan untuk memahami esensi agama, yang melampaui semua perbedaan eksternal. Dengan demikian, pernyataan ini menjadi relevan dalam dunia modern, di mana umat Islam sering kali terpecah oleh identitas politik dan sosial.
Seruan Spiritual Universal Pernyataan “Saya seorang Muslim” dalam perspektif tasawuf menjadi seruan universal untuk mengembalikan umat Islam kepada inti keimanan, yakni tauhid dan cinta kepada Allah. Para sufi, baik dari tradisi klasik maupun modern, mengajarkan pentingnya menempatkan hubungan dengan Allah di atas segalanya. Dengan menolak identitas sektarian, pernyataan ini mengingatkan kita bahwa inti Islam adalah hubungan spiritual, yang tidak dapat dikotak-kotakkan oleh perbedaan mazhab. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada keesaan Tuhan, sebagaimana diajarkan oleh para sufi, abdal, dan rijalul gaib sepanjang sejarah Islam.
3. Pandangan Fuqaha: Legalitas dan Pluralitas Imam Syafi’i, dalam kitab Al-Risalah, menyebutkan pentingnya memahami bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah bagian dari kekayaan tradisi Islam. Ia menegaskan bahwa perbedaan antara para ulama adalah bentuk rahmat bagi umat, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip dasar syariat. Hal ini mencerminkan bahwa Islam memberikan ruang bagi berbagai pandangan tanpa menghilangkan esensi keimanan yang sama. Pernyataan ini, dengan demikian, menjadi upaya untuk menghindari rigiditas sektarian dan mempromosikan keadilan dalam menyikapi perbedaan.
Imam Malik, dalam karya monumentalnya Al-Muwatta’, menekankan bahwa agama Islam luas dan mencakup berbagai pendekatan hukum. Ia menolak untuk menjadikan pendapatnya sebagai kebenaran tunggal, dengan mengatakan, “Saya hanya manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar.” Sikap ini mengajarkan umat untuk tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang dapat mempersempit makna Islam sebagai agama universal. Deklarasi “saya seorang Muslim” dapat dilihat sebagai perwujudan dari prinsip ini, yaitu pengakuan atas fleksibilitas syariat dalam menghadapi keragaman pandangan di kalangan umat.
Imam Abu Hanifah juga menekankan pentingnya toleransi dalam perbedaan hukum. Dalam tradisi Hanafiyah, yang tercatat oleh Al-Kasani dalam Bada’i al-Sana’i, perbedaan dalam metode istinbat (pengambilan hukum) adalah bagian dari upaya memahami kehendak Allah. Abu Hanifah bahkan menolak mengkafirkan seseorang yang berbeda pandangan selama masih dalam bingkai Islam. Dalam konteks ini, pernyataan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap berbagai metode pendekatan hukum Islam, tanpa mengklaim superioritas mazhab tertentu.
Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun dikenal dengan pendekatannya yang lebih literal, juga menekankan pentingnya menjaga keutuhan umat. Dalam karyanya Usul al-Sunnah, ia menyatakan bahwa hal-hal yang pasti dalam Islam (qat’iyat) harus menjadi titik temu, sedangkan perbedaan pada hal-hal cabang (furu’) tidak boleh menjadi alasan perpecahan. Pernyataan “saya seorang Muslim” mencerminkan semangat ini, yaitu menekankan esensi iman kepada Allah dan Rasul-Nya di atas debat sektarian yang sering kali bersifat non-esensial.
Para fuqaha kontemporer seperti Yusuf al-Qardawi juga menekankan pentingnya persatuan umat Islam. Dalam bukunya Fiqh al-Jihad, Qardawi menekankan bahwa perbedaan fiqih tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan solidaritas umat. Ia menyebut bahwa “Islam adalah agama yang luas, dan perbedaan pendapat adalah tanda dari fleksibilitas syariat.” Deklarasi tersebut, jika dilihat dari pandangan para fuqaha, adalah seruan untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan tauhid, keadilan, dan persatuan, di atas pembatasan identitas sektarian.**
Tinggalkan Balasan