TERNATE-PM.com, Karantina Pertanian mencacat, data impor daging ayam potong yang masuk ke Maluku Utara (Malur), khusus di Kota Ternate pada tahun 2019 mencapai 5 juta ton lebih.
Kepala Seksi Karantina Hewan, Setiawan Pramularah mengatakan, ayam potong ini disuplai dari Surabaya, Manado dan Ambon, sejak Januari hingga Desember 2019 sebanyak 5.884. 679 ton atau pengiriman perbulan rata-rata 400 ton.
Selain daging ayam, ada juga telur ayam yang dikirim setiap bulan pada tahun 2019 sekitar 400 ton, sedangkan untuk data selama tahun 2019 semenjak Januari hingga Desember sudah mencapai 4.423.524 ton.
Sementara untuk pengiriman domestik keluar dari Maluku Utara ke kota lain yaitu Sapi dengan data untuk tahun 2019 itu ada 4.123 ekor, dan kulit sapi 100.380, dengan rata-rata sapi tersebut di ambil dari Halmahera.
Sejauh ini, untuk ternak misalnya seperti daging yang masuk ke Malut yang tidak layak untuk di komsumsi memang tidak ada, cuma kalau sapi yang dikirim ke luar daerah memang ada tidak sehat yang pasti ditahan. “Jadi prinsipnya kalau di Karatina, kalau ada daging yang terkena virus memang tidak kirim, meskipun ada ke depan sapi terkena virus makanya kita tidak keluarin dan kembalikan kepada pemiliknya,” ujarnya.
Sementara, pengamat Ekonomi Malut Mukhtar Adam mengaku kaget dengan impor daging ayam potong dalam setahun 5,8 juta ton. Tingginya angka impor tersebut dikarenakan memproduksi ayam potong di Ternate lebih tinggi dari nilai jualnya. Sebab itu, harga jual dipasar di penuhi peternak yang didatangkan dari daerah tetangga untuk memenuhi permintaan warga kota. “Problemnya Pemkot tidak menciptakan peternak menjadi efisien dalam mengelola ayam potong di Ternate,” jelasnya.
Selain itu, tingginya permintaan darimluar daerah karena peternak lokal rata-rata gulung tikar karena biaya pakan yang mahal. “Sedangkan sumber bahan pakan ternak melimpah di Malut. Contoh produksi jagung di Halbar, ikan di Halmahera adalah sumber pakan ternak yang tidak dibuat efisien,” tuturnya.
Menurutnya, jika Pemkot sedikit memperhatikan perekonomian utamnya produk – produk rakyat yang memenuhi kebutuhan warga kota, sesungguhnya ekonomi kota Ternate akan jauh lebih baik. “Lihat saja kondisi masyarakat yang berpendapatan rendah di kecamatan Pulau Ternate, Hiri, Moti, dan Batang Dua, mereka mengalami kesulitan mengembangkan usaha yang produktif karena Pemkot tidak punya perhatian dalam mengembangkan kelompok rakyat berpendapatan rendah,” ungkapnya.
Lanjut dia, akibatnya rakyat tidak memiliki usaha produktif padahal peluangnya cukup tinggi dalam mengembangkan usaha – uasaha produktif baik di sektor peternakan, pertanian, perdagangan, industri kreatif perdagangan dan lainnya.
Pemkot kata Mukhtar, mestinya melakukan analisis kebutuhan konsumsi dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan rata – rata kebutuhan konsumsi daging, dasar itu akan diketahui berapa kebutuhan yang harus terjaga untuk menjamin permintaan warga kota.
Sementara pengamat ekonomi lainnya Nurdin Muhammad, menjelaskan, sebetulnya Pemda harus mengantisipasi, menjaga stok kebutuhan lokal dan stabilisasi harga. “Yang paling bertanggungjawab adalah dinas perdagangan (perindag). Saya menduga ada permainan antara pihak pengusaha (eksportir) dengan oknum yang bertanggungjawab langsung terhadap proses perizinan pengiriman barang,” ujarnya. (Cha/red)
Tinggalkan Balasan