Maluku Utara bukan sekadar gugusan pulau yang terpencil dan terpisah-pisah secara geografis. Ia adalah cerminan dari apa yang disebut politolog James Scott sebagai wilayah marginal—ruang di mana negara hadir secara sporadis, kadang hanya dalam bentuk proyek-proyek formal tanpa kehadiran yang transformatif. Maka dalam konteks seperti ini, kepemimpinan seorang kepala daerah bukan sekadar posisi administratif, melainkan seharusnya menjadi aktor pengubah sistem. Di sinilah, Gubernur Sherly Laos diuji.
Sejak awal menjabat, Sherly menampilkan gaya kepemimpinan yang berhati-hati dalam tindakan nyata, tetapi agresif dalam membentuk narasi melalui media sosial. Ia tampak penuh kalkulasi, tidak tergesa-gesa dalam merealisasikan janji kampanye, meskipun sebagian program 100 hari kerjanya telah mulai dijalankan. Pendekatan semacam ini mengingatkan kita pada prinsip Incrementalism dari Charles Lindblom, yakni bahwa perubahan dilakukan secara bertahap melalui penyesuaian kecil. Namun, dalam konteks Maluku Utara yang mengalami development lag akut, strategi perlahan bisa memperdalam stagnasi. Diperlukan pendekatan Big Push ala Rosenstein-Rodan—intervensi simultan dan lintas sektor—agar pembangunan benar-benar melesat.
Namun, opini ini ingin menyorot satu dimensi spesifik yang mulai mencolok: apakah Sherly Laos sedang terjebak dalam jebakan media spectacle?
Konsep media spectacle dikembangkan oleh filsuf Prancis Guy Debord dalam bukunya La Société du Spectacle (1967). Debord menggambarkan bagaimana masyarakat modern semakin dikuasai oleh tampilan dan representasi media, sehingga realitas tergantikan oleh citra. Dalam logika ini, apa yang dilihat publik bukan lagi kerja nyata, melainkan potret kerja. Apa yang dirasakan rakyat bukan dampak kebijakan, tapi estetika narasi. Segalanya dikemas sebagai tontonan. Seolah-olah pembangunan sedang berlangsung, padahal yang sedang dibangun adalah persepsi.
Fenomena ini tampak dalam pola komunikasi Sherly saat ini. Media sosial menjadi panggung utama: infografis, video kunjungan, narasi simbolik, dan estetika kedekatan dengan rakyat. Namun, di balik tampilan tersebut, belum banyak bukti konkret tentang perubahan struktural yang berdampak langsung bagi masyarakat. Program-program prioritas yang menyentuh akar persoalan—peta rencana konektivitas antarpulau yang menjadi janji kampanye, kapasitas fiskal daerah, hingga reformasi layanan dasar—belum sepenuhnya tampil ke permukaan secara sistematis.
Dalam konteks ini, Sherly berisiko menjadi bagian dari media spectacle jika tidak segera memperkuat fondasi kebijakan dan keberanian eksekusi. Teori strategic framing dari Robert Entman (1993) memang menjelaskan bahwa membingkai pesan dan membentuk persepsi publik adalah hal penting dalam politik. Namun, tanpa interaksi dua arah dan komunikasi kebijakan yang transparan, framing itu menjadi hampa. Representasi menjadi substitusi dari substansi.
Di sisi lain, medan kekuasaan lokal di Maluku Utara sangat cair, kompleks, dan penuh sisa konflik Pilkada. Para elit lama masih memiliki jejaring patronase yang kuat, sementara aktor-aktor politik yang dulu menjadi rival belum sepenuhnya dirangkul. Dalam kerangka Urban Regime Theory (Stone, 1989), kepemimpinan yang sukses bukan hanya bertumpu pada legitimasi formal, tetapi juga kemampuan menjalin koalisi informal dengan pelaku non-negara, birokrat senior, pebisnis lokal, dan kelompok oposisi. Tanpa itu, agenda perubahan akan mandek, atau lebih buruk: disabotase secara perlahan dari dalam.
Selain itu, pendekatan Sherly yang lebih banyak berkonsultasi dengan jejaring personal di Jakarta—dengan para mentor atau politic coach yang aktif saat Pilkada—menunjukkan pola komunikasi yang cenderung sentralistis dan kurang berbasis lokal. Padahal, legitimasi pembangunan di daerah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengorkestrasi kekuatan politik lokal. Jika pendekatan lintas “Menteng” lebih dominan ketimbang dialog “Sofifi-Ternate”, maka ruang politik lokal bisa kehilangan rasa memiliki atas arah pemerintahan.
Sebagai penutup, Sherly Laos memang masih punya banyak waktu untuk membuktikan bahwa dirinya bukan bagian dari media spectacle seperti yang digambarkan Debord—yakni pemimpin yang sibuk mencitrakan gerak, tapi lamban dalam aksi. Namun waktu tidak akan menunggu selamanya. Masyarakat yang dahulu menikmati narasi, suatu saat akan menagih bukti. Dan ketika itu datang, hanya kerja nyata yang akan berbicara.
Jika Sherly ingin menjawab tuntutan sejarah, maka ia harus segera berpindah dari estetika ke strategi, dari pencitraan ke penyelesaian. Karena Maluku Utara tidak butuh pertunjukan, melainkan perubahan.


Tinggalkan Balasan