Konoras: Kajati Harus Awasi Oknum Jaksa Nakal
TERNATE-PM.com, Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara (Malut) terkesan saling lempar tanggungjawab dalam pengusutan dugaan kasus korupsi anggaran Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif periode tahun 2009-2014 senilai Rp 600 juta di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pulau Morotai. Pasalnya baru-baru ini Apris Ligua Kasi Penkum Kejati Malut akui kasus tersebut tetap diusut, namun dilain pihak mengakui kasus tersebut sudah dihentikan. “Sapa bilang kasus SPPD DPRD Morotai dihentikan, kasus itu tetap jalan,” tegas Apris kepada Posko Malut belum lama ini di kantor Kejati Malut.

Sedangkan sumber terpercaya koran ini mengaku, pemberhentian kasus ini ditingkat penyelidikan sudah sesuai prosedur tim penyidik. Lantaran sejumlah anggaran SPPD telah dikembalikan ke kas daerah, sesuai temuan BPK RI perwakilan Malut. “Jadi semua anggota DPRD Morotai periode waktu itu sudah kembalikan temuan tersebut,” ujarnya.

Kesimpangsiuran informasi dari lembaga penegakan hukum itu, memantim reaksi praktisi hukum Muhammad Konoras. Konoras menilai, kasus SPPD fiktif Morotai yang ditangani Kejati menjadi tanda tanya besar bagi publik Malut, sebab menurut Humas Kajati kasus tersebut belum dihentikan penyelidikan, sementara bagi beberapa orang penyidik kasus tersebut sudah dihentikan penyelidikannya. “Ini pertanda bahwa kinerja Kejati tidak ada saling koordinasi,” tegasnya.

Lanjutnya, semestinya penyelidikan sebuah kasus harus dimulai dengan adanya surat perintah penyelidikan oleh Kajati, yang kemudian diteruskan kepada Asintel untuk melakukan tindakan intelijen dengan cara mengumpulkan barang bukti dan keterangan. Tindakan tersebut dilakukan melalui dua cara yaitu penyelidikan dengan cara tertutup dan terbuka. “Tetapi yang pasti tindakan tersebut dikoordinasikan dengan bagian Aspidsus dibawah kendali Kajati,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika sebuah kasus korupsi yang ditangani Kejati Malut kemudian jaksa penyelidikan menyatakan kasusnya sudah dihentikan, sementara humas Kejati menyatakan kasusnya belum dihentikan. “Maka yang menjadi pertanyaan publik adalah jangan jangan penanganan perkara di Kejati tidak ada Standard Operating Procedure (SOP), artinya masing masing Jaksa melakukan tindakan hukum sendiri sendiri, ataukah memang tidak saling koordinasi dalam penindakan, sehingga pernyataannya berbeda seperti itu,” ungkapnya.

Konoras berharap Kajati yang baru, agar lebih ketat mengawasi oknum jaksa nakal yang sering main dengan terdakwa, maupun keluarganya untuk menentukan berat ringannya tuntutan bahkan membawa bawa nama Hakim, jika tidak maka jangan harap publik mempercayai institusi kejaksaan sebagi penegak hukum yang bersih. “Berat ringan tuntutan tergantung dari bagimana terdakwa itu memiliki kemampuan dan kemudian bersepakat dengan oknum jaksa nakal, terutama kasus korupsi dan Narkoba,” pintanya. (nox/red)