Alkisah Republik Aupele

Saiful Bahri Ruray

Oleh : Saiful Bahri Ruray

Di negara tetangga, diujung sebelah saya, ada kejadian menarik. Karena sang pemimpin republiknya geram ketika rakyatnya mandiri. Bisa membeli alat berat untuk membangun infra struktur desanya sendiri. Yakni sebuah kendaraan yang bisa digunakan secara swadaya untuk menggusur tanah guna kepentingan umum desa.

Sang leader yang terpilih dalam pesta demokrasi dengan biaya tak sedikit itu, lalu mengajak rakyatnya beradu fisik. Pidatonya pun penuh cacian dan sumpah sarapah tak berkesudahan. Dan tak kalah hebatnya, ia juga menganjurkan perang  melawan narkoba dengan ala hukum rimba. Rakyat dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap para pengedar dan bandar narkoba. Menembak mati tanpa proses peradilan. Duniapun heboh, namun ia tetap 'easy going' tak memperdulikan dunia lain. Himbauan PBB agar menghormati hak azasi, dianggap sambil lalu.

Bisa jadi, dalam logika sang pemimpin, kemandirian rakyat yang ditunjukkan dengan membeli alat berat secara swadaya, tentu saja akan menggerus wibawa pemerintahannya. Bagaikan alkisah Gubernur Pointus Pillatus yang takut akan runtuhnya wibawa kekaisaran Romawi atas wilayah pendudukan di Jerusalem.

Memang dalam sejarah kekuasaan, sejak lama kita jumpai jenis dan karakter pemimpin yang demikian. Raja Perancis Louis XIV bahkan mengatakan 'le etat le moi.' Akulah hukum. Bukan kitab undang-undang yang mati. Namun apa titah raja, itulah yang menjadi hukum. Akibatnya apa, terjadilah gejolak di Penjara Bastille yang menjadi pencetus Revolusi Perancis. Rakyat mengamuk dengan tiga semboyan sebagai motto revolusi, liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaaan derajat, dan persaudaraan). Karena tanpa kebebasan, tidaklah mungkin akan hadir kesamaderajatan (egalitarian) diantara sesama manusia. Dan atas dasar kesamaderajatan itulah akan melahirkan persaudaraan.

Dalam
bahasa kita silaturrahmi, yang dalam makna kata Arabnya berarti ikatan kasih
sayang. Karena ikatan kasih sayang itu menjadi jaminan seseorang mendapat
ganjaran surga. Sebaliknya memutus tali silaturrhami tersebut, seseorang
diganjar neraka. Makna ini jelas ada jauh sebelum tibanya revolusi Perancis.
Padahal dari revolusi itulah, melahirkan demokrasi modern di benua Eropa
seperti apa yang kita kenal dewasa ini.

Hingga
kini, jika kita memasuki Fakultas Hukum (Faculte De Droi) Universitas Paris, di
gerbang depannya masih tertulis 3 semboyan Revolusi Perancis tersebut. Liberte,
egalite, fraternite. Dan di pojok sebelah berdiri megah patuh Jean Jacques
Rousseau, seorang pemikir Perancis yang menulis buku yang terkenal Kontrak
Sosial. Perancis ini menjadi bangsa terdepan, selain Jerman tentunya, diantara
27 negara anggota Uni Eropa. Karena basis pendidikan dan demokrasinya yang
demikian mapan. Sama halnya dengan posisi Jerman, yang memiliki sumber daya
manusia terdepan untuk ukuran dunia sekarang.

Lalu
bagaimana dengan kita? Sebagaimana bangsa baru yang belum mencapai usia satu
abad bernegara, kita dituntut untuk belajar banyak dan mengambil contoh dari
bangsa-bangsa maju.

Dengan lompatan teknologi informasi yang demikian pesat, sebenarnya kita melakukan "quantum leap" kedepan. Persoalan kita adalah soal leadershipnya para pemimpin. Yuval Noah Harari mengatakan bahwa dunia abad 21, akan melahirkan agama baru yang tidak berbasis kitab suci, tapi berbasis info-tech dan bio-tech.

Teknologi informasi dan teknologi biologi ini lahir dari laboratorium iptek. Almarhum BJ.Habibie, mengatakan Indonesia jika mau maju, harus mampu memadukan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan IMTAK (iman dan takwa). Sosok homo deus, digambarkan adalah sosok- sosok baru manusia masa depan berbasis dua hal tersebut. 

Persoalan
kita adalah sikap membuka diri, untuk tidak narrow-minded, menjadi aupele,
adalah qonditio sine quo non. Menjadi sebuah keniscayaan. Jika hari ini, pola
narasi kita masih berbasis aupele, artinya kita seakan membalik diri jauh
kebelakang ke era pra revolusi Perancis abad 18 silam. Bertindak sebagai
kompeni yang garang dan main babat alias hantam kromo.

Kita
bisa lihat bagaimana Gubernur Jenderal VOC yang ke empat, Jan Pieterzoen Coen,
yang berkuasa di Asia Tenggara dari Benteng Oranje tersebut, untuk memonopoli
perdagangan rempah-rempah, terutsma pala di Pulau Banda. Ia membantai 9.000
hingga 13.000 penduduk Banda. Mereka juga membantai para pedagang pesaing asal
Inggris di Ambon yang dikenal sebagai 'Amboyna Massacre' (Pembantaian Ambon).
Ini semua dilakukan untuk mempertegas kekuasaan yang luar biasa kemaruk.

Jadi
aupele hari ini, adalah copy-paste masa lalu, sementara sejarah sementara
bergulir kedepan dengan pesatnya teknologi informasi dewasa ini.

Pada
alkisah republik aupele ini, adalah sebuah penyakit kronis kekuasaan dimana
"civil society" seperti pers dan parlemen, serta kontra narasi
lainnya, sebagai fungsi bagi kontrol kekuasaan, tidak berjalan dengan baik dan
seimbang. Dan demokrasipun akan mati suri jika prinsip egaliter tidak ada.
Ketika azas 'check and balances' tidak berlangsung dengan seimbang. Ibarat
timbangan yang berat sebelah. Tidak seimbang. Padahal keseimbangan itu adalah
sebuah sunnatullah, agar segala sesuatu tidak akan runtuh, maka haruslah
seimbang adanya.

Dan kita telah disuguhkan sejarah sedemikian panjang, bahwa kekuasaan yang arogan, senantiasa berakhir dengan pedih. Marie Antoinette, permaisuri Kaisar Louis XIV, berakhir di pisau guilitin.  Dan lihatlah fenomena hari ini seperti "The Arab Spring" (Musim Semi Arab), yang berawal dari Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman serta Suriah, yang tak kunjung selesai hingga detik ini.

Semuanya membawa dampak penderitaan kemanusiaan luar biasa. Tak bisa kita bayangkan, dua kilang minyak Aramco, milik Arab Saudi dan Amerika, diserang drone yang diklaim milik gerilyawan Houthi dari Yaman. Kebakaran dua kilang terbesar ini mengganggu pasokan minyak dunia. Sistem rudal patriot buatan Amerika ada Arab Saudi tak mampu menangkis serangan pesawat nirawak tersebut. Pantas saja Turki berani membeli teknologi Rusia. Betapa sifat aupele, menjadi sumber bencana dimana-mana.

Semoga
saja alkisah aupele negeri tetangga diatas, tidak terjadi disini, didepan mata
kita. Walau kita tengah mendapat kiriman ekspor asap, karena kebakaran hebat
pada hutan negara tetangga itu, membuat kita susah bernapas. Bahkan sekolah
sudah dinyatakan libur selama dua minggu karena anak didik dan para gurupun
sulit bernapas. Bernapas saja susah gimana mau belajar dengan baik. Negara kita
mencoba membantu, mengirim bantuan pasukan pemadam kebakaran untuk
mengatasi  hancurnya hutan tropis negara
tetangga itu sebagai paru-paru dunia, namun sang pemimpin menolak pesawat
bantuan kita mendarat. Dan alangkah tragisnya, banyaknya satwa langka dunia,
ikut tewas terpanggang api karena kelalaian manusia ini.

Tapi
di tetangga kita ini, lagi panas dingin menjelang diadakan pilkada serentak
juga. Semua hal dapat saja terjadi untuk melanggengkan kekuasaan.

(Kafe
Jarod, 21 Sept 2019).

Komentar

Loading...