Oleh: M. Kubais M. Zeen Penulis Literasi. Bermukim di Makassar
Seusai Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Depok positif Covid-19 pada 2 Maret lalu, jahe terutama yang merah jadi primadona. Orang-orang di berbagai kota metropolitan maupun bukan, memburu wedang minuman di surga itu di pasar-pasar. Tak peduli berapapun harganya, membuat pedagang dan tentu saja petani lega, sumringah.
Sekilo jahe merah di sejumlah pasar di Jakarta antara lain Tebet 80.000-100.000, Senen 100. 000, Induk Kramatjati 70.000-100.000, Ampera Pulomas, 85.000. Pasar Krangganan, Bekasi, sama di Senen, Flamboyan Kalimantan setara standar Tebet, dan Sumatera Selatan awal April, Bahari Berkesan Ternate, 90.000-100.000, dan Pasar Terong, Makassar 60.000-100.000. Tertinggi di Mesuji, Lampung, 120.000. Sebelumnya, sekilo jahe merah di pasar Jakarta 35.000-40.000, Kalimantan 60.000, Sumatera Selatan 20.000, Makassar 30.000, dan Ternate, 30.000-40.000 (Kompas.com, Kontan.co.id, detik.com, CNN, Poskomalut.com).
Kelompok Tani Hutan Giri Senang, terutama Kampung Legok Nyenang Desa Giri Mekar, Cilengkrang, Bandung, melayani konsumen yang membeli jahe merah mencapai ton. Biasanya cuma kuintal. Jika sekali panen jahe merah rata-rata 1 ton dengan harga 75.000/kg, omset kelompok tani 75.000.000. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak hanya membeli jahe merah, melainkan juga empon-empon dan produk petani hutan lainnya yang banyak mengandung vitamin C untuk disumbangkan ke rumah sakit rujukan virus corona. Menteri Siti Nurbaya mengaku, kebijakan ini bertujuan menahan laju pelemahan ekonomi sekaligus mendukung tenaga para medis yang jadi garda terdepan memerangi virus corona. (Hafsah, 2020).
Konsumen di pasar-pasar tersebut juga meyakini jahe merah meningkatkan kekebalan tubuh, yang dapat menangkal virus corona. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Ngadiran, jahe merah masih banyak dicari selama virus corona belum reda. Harganya tetap tinggi dan tergantung pasokan (detik.com.,20/3). Tapi, saat permintaan jahe merah meninggi, pasokan justru berkurang, malah ke titik langka, oleh Ngadiran dan pedagang di pasar yakin, ini yang melambungkan harga jahe merah.
Hukum pasar itu jadi ironi, sebab dari 10 negara penghasil jahe terbesar di dunia yang ditetapkan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) tahun 2008, Indonesia terbesar ketiga (177.000 ton/tahun) setelah India, 420.000, dan Cina 285.000 ton/tahun (Purwanto, 2015). Sudah begitu, pedagang di Jakarta mengaku menjual juga jahe impor, manun tak diminati konsumen lantaran kualitasnya sangat rendah. Jika tidak, petani bemuka masam.
Sekalipun terbesar ketiga, asal-usul jahe bukan di Tanah Air kita. Anthony Reid tak menyebutkan jahe dalam riset sejarah total-nya, justru siri dan pinang, yang jadi andalan niaga era 1450-1680. Para ilmuan, kata Purwanto, masih terbelah. Sebagian menduga jahe berasal dari India dan telah dikenal sejak 2000 SM, lalu diperdagangkan hingga ke Asia Tenggara, Cina, Jepang, dan Timur Tengah. Yang lain, didukung bukti ilmiah menganggap jahe berasal dari Cina. Orang Arab mengenal jahe sejak 15 abad lalu.
Orang Maluku Utara menyebutnya goraka, Arab, Zanzabilun, Cina, Shengjiang/jiang. Nama ilmiahnya, Zingiber officinale, berasal dari bahasa Yunani zingiberi, dan Sanskerta, singaberi. Jahe adalah tanaman serumpun kencur, kunyit, dan temu lawak yang banyak dijumpai di Indonesia. Ada tiga jenis jahe di dunia: putih besar, putih kecil, dan jahe merah yang rimpangnya lebih kecil dibanding dua janis itu. Semuanya mengandung minyak asiri.
Purwanto mengatakan, jahe berperan penting dalam kehidupan manusia, populer sejak dulu karena banyak khasiatnya. Di Cina, jahe dibedakan jahe segar dan kering. Jahe kering dipakai bahan baku oleh seorang tabib/dokter yang hidup pada zaman Kaisar Shen Nong, 2000 SM. Jahe kering, menyembuhkan nyeri lambung dan perut, diare, batuk, dan rematik. Dua buku medis membahas khasiat jahe segar pada 500 Masehi ditemukan di Cina. Jahe segar atasi masuk angin, keracunan, dan rasa mual. Di India, rasa mual, asma, batuk, nyeri, jantung berdebar, gangguang pencernaan, rematik, dan nafsu makan menurun, diobati dengan jahe segar.
Di Indonesia, selain jadi bumbu masakan, diasjikan dalam beragam campuran minuman untuk kesehatan diri. Sebutlah jamu, kopi rempah, air goraka, sarabba, madu asli campur jahe, air hangat-jahe, dan seterusnya. Penghujung Maret lalu, Imron Kadir—akrab disapa Polomilany, bertugas di kantor penghubung Maluku Utara di Jakarta menuturkan, “selesai mengirim ADP tenaga medis ke Maluku Utara, kerongkongannya gatal, dan nyaris tak bernafas. Atas titah sang ibu, ia merebus jahe-serei, plus kurma, sembuh di hari itu juga.” Di Ternate kini, ada yang memasukkan beberapa irisan kecil jahe segar ke dalam mulut laiknya gula-gula/permen saat keluar rumah, bepergian. Sebelumnya, produsen sejumlah minuman non-alkohol menggunakan ekstrak jahe sebagai bahan baku campuran. Bahkan ada gelas kaca bertuliskan Jahe ting-ting—mungkin terinspirasi nama populer artis Ayu Ting Ting.
Dari hasil penelitian, kata Purwanto, ekstrak jahe segar dan kering mengatasi infeksi bakteri, infeksi jamur, kejang, nyeri, luka, gangguan lambung, tumor, kram, dan reaksi alergi. Percobaan di laboratorium, jahe menghambat oksidasi yang dapat mengurangi risiko penyakit kanker, menghambat pertumbuhan kuman. Jahe juga lebih hebat memperlancar aliran darah daripada bawang putih, merah. Menurunkan kadar kolesterol, dan tekanan darah. Minuman yang berbahan jahe menurunkan sekresi asam lambung selama beberapa jam, kemudian meningkat kembali setelah beberapa lama.
Tak hanya daging jahe, akar keringnya memperkuat lambung, usus halus, mencegah muntah. Ekstrak aseton dan metanol jahe berefek kuat menghambat terjadinya luka pada lambung. Gingerol—zat lain yang dikandung jahe, mampu mengatasi efek keracunan pada hati dengan cara meningkatkan asam empedu. Kajian di Pusat Medis Universitas Michigan, Amerika Serikat, gingerol dapat membunuh sel-sel kanker ovaroum. Pusat riset ruang angkasa Amerika, NASA pernah meneliti khasiat jahe untuk mengatasi mabuk para awaknya (Purwanto, 2015:442-444). Prof. Chairul Anwar Nidom dari Universitas Airlangga, mengklaim menemukan ramuan jahe dapat mencegah penularan virus corona atau Covid-19 di dalam tubuh (Kompas.com, 20/2).
Jahe tak hanya bermanfaat bagi manusia di dunia. Tuhan, ternyata “menghadiahkan” salah satu ciptaannya itu sebagai wedang minuman hamba-hambanya di surga.“Di dalam surga mereka diberi segelas minuman bercampur jahe” (QS. Al-Insan [76]:17). Pada ayat 18 surah Madaniyyah ini disebutkan, (Jahe itu dari sebuah) “mata air di dalamnya (surga) yang dinamai Salsabil.” Kata di dalam tanda kurung ialah pemaknaan ahli tafsir M. Quraish Shihab, “Al-Qur’an dan Maknanya” (2013).
Kendati demikian, belum pernah saya dengar dikhutbahkan di mimbar-mimbar, televisi, dan youtube oleh pendakwah yang tak lelah membicarakan kenikmatan surga yang tiada tara, dengan merujuk Al-Qur’an, Hadist, serta kitab-kitab ulama klasik mapun kini. Juga guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan terkait. Pertama kalai saya mengetahui itu dari buku Agus Purwanto, “Nalar Ayat-ayat Semesta. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan”, yang direkomendasikan M. Ghufran H. Kordi K, lima tahun lalu, yang banyak saya rujuk di sini.
Ahli fisika teoretis jebolan Universitas Hiroshima, Jepang itu mengatakan, jahe menjadi bahan penelitian yang cukup intensif, ratusan hasil penelitian tentang jahe telah dipublikasikan. Sayangnya, senyap dari ilmuan-ilmuan Muslim. Sebagai negara produsen jahe terbesar ketiga di dunia yang penduduknya mayoritas Islam, seharusnya terdepan membaca ayat-ayat semesta khsusunya jahe sekaligus riset intensif demi kemajuan ilmu pengatahuan yang jadi tonggak peradaban manusia. (***)
Tinggalkan Balasan