(Menjebak) Allah

Murid Tonirio (Pengajar Fak. Ushuluddin IAIN Ternate)

Oleh: Murid Tonirio
(Pengajar Fak. Ushuluddin IAIN Ternate)

“Apakah kamu kira bisa menipu Allah? Tipuan Allah lebih dahsyat”

AYAT al-Qur’an dalam artikel ini digunakan tidak seperti para ustadz yang meresitasi para mufassir untuk menjelaskan kelakukan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq yang menganggap dirinya bisa menipu Allah. Essai ini adalah sepenggal kisah beberapa teman yang mungkin heran lantaran saya makin jarang menggunakan idiom-idiom Islami dalam percakapan santai.
Senin (15/6/2020), saya berpapasan dengan seorang teman di salah satu pasar di Ternate.

Kami baku simore. Kami berjanji untuk bertemu malam nanti. Dia yang menentukan waktu dan tempat. “Nanti saya thelepon setelah isya”. Okay! God Blass! Kita ketemu malam nanti, kata saya singkat. Teman itu tampak terkejut dengan jawaban saya. Dia menatap saya. Keriangan kami pupus tiba-tiba. Tampaknya dia pergi dengan membawa perasaan tidak nyaman saat kami berpisah. Dalam hati dia mungkin berkata: “Sok amat teman ini. Tidak mengatakan Insya Allah seperti biasanya”. Hingga tengah dia menelepon.
Teman ini pantas marah – jika dia memang marah. Dia lelaki “taat”. Setidaknya dari penampilan fisik, dia telah sungguh-sungguh berusaha meniru Rasulullah memang. Dalam percakapan santai, dia selalu menyebut Insya Allah. Saya juga begitu. Dulu.

Belakangan saya berubah, makin kurang menggunakan idiom-idiom Islami. Kecuali dengan mereka yang telah membuktikan dirinya memiliki komitmen diri, saya akan menggunakan idiom Islami, seperti Insya Allah untuk menegaskan keseriusan kami saling menepati janji.

Perubahan itu terjadi berkaitan erat dengan kesadaran tentang “bahasa sebagai representasi budaya”. Menurut sebuah teori dalam antropologi-linguistik, bahasa – selanjutnya digunakan bergantian dengan kata dan kalimat – tidak sekadar sebagai alat komunitasi bagi seseorang menyampaikan pesan tertentu kepada orang lain. Diatas fungsi komunikasi itu, bahasa pada dirinya sendiri menyampaikan maknanya sendiri menurut logikanya sendiri. Dengan demikian, makna yang disampaikan sebuah kata boleh jadi berbeda dengan makna yang diberikan kepadanya.

Perbedaan makna intrinsik dan ekstrensi dalam sebuah kata tersebab berbagai faktor, salah satunya adalah asal muasal bahasa. Oleh perbedaan asal muasal tersebut, setiap kata sebagai pedoman arah tindak sosial-budaya individu dan kelompok, kemudian juga bekerja secara berbeda dari satu orang ke orang lain. Selain itu, pengalaman berinteraksi dalam kehidupan bersama, juga ikut menentukan pemaknaan yang berbeda terhadap sebuah kalimat.

Insya Allah, misalnya, yang digunakan dalam al-Qur’an. Kalimat tersebut berkaitan dengan kisah Ashabul Qahfi. Konon, Nabi ditanya tentang masa tidur pemuda-pemuda itu di gua. Tidak tahu kisah persisnya, Nabi dengan sangat yakin mengatakan “Allah akan menurunkan wahyu memberitahukan hal tersebut. Nabi bahkan menentukan lama (jumlah) hari Allah akan menurunkan wahyu-Nya setelah Dia berbicara kepada para penanya.

Allah mengulur waktu, tidak segera menurunkan sesuai jumlah hari yang dijanjikan Nabi kepada penanyanya. Penundaan itu semacam teguran atas keberanian menentukan waktu terjadinya sebuah peritiwa di masa depan, dimana peristiwa yang akan terjadi tersebut terkait dengan pihak lain. Allah kemudian menurunkan wahyu, namun disertai kalimat Insya Allah. Pesannya jelas di sini: Bahwa harapan atau keinginan yang bertalian dengan pihak lain tidak bisa ditentukan secara pasti oleh manusia sendiri. Allah harus disertakan.

Dari asal muasal maupun fungsinya, Insya Allah adalah kalimat yang Ilahi. Dalam konteks budaya ia berfungsi sebagai arketipe kelakukan budaya bagi setiap muslim untuk senantiasa menyertakan Allah. Insya Allah adalah harapan agar Allah berkenan mewujudkan janji, misalnya. Konsekuensi, karena telah melibatkan Allah, setiap muslim wajib menepati janji. Mafhum muhalafah-nya, umat Islam dilarang menjadikan Allah sebagai tameng untuk membenarkan kelakukan tidak menepati janji.

Demikian pula dengan God Blass adalah kalimat yang Ilahi. Namun karena dari asal muasal kata ini tidak berhubungan dengan peristiwa tertentu dalam suatu agama tertentu, kata itu lebih bernuasa budayawi. Itulah mengapa saat berjanji dengan teman yang saya ceritakan di atas, saya menggunakan kalimat God Blass. Dengan mengakatan God Blass, saya merasa tidak berdosa seandainya kami sengaja ingkar janji.

Tujuan saya menggunakan God Blass dalam rangka menegaskan sikap bahwa saya sedang berusaha menjadi seorang sekuler tulen. Dalam arti, saya secara tajam membedakan – bukan memisahkan – segala sesuatu yang berbau agama dari hal-hal duniawi. Dengan cara itu, saya merasa paling religius ketika berjanji sore itu. Sebab, dengan kalimat God Blass, setidaknya saya telah membuka ruang bagi kami untuk tidak menjadikan Allah sebagai tameng – agar tidak disebut menipu Allah – demi membenarkan kesengajaan yang mungkin kami bikin.
Sikap sekuler seperti itu muncul beringinan pengalaman berinteraksi dengan teman-teman. Saya punya pengalaman kurang bagus bukan hanya kepada teman ini. Tidak sedikit teman sangat sering ingkar janji yang diikat dengan Insya Allah. Mereka bahkan tidak merasa bersalah membawa-bawa nama Allah dalam kebiasaan tidak tepat waktu. Jadi, saya menggunakan God Blass, untuk tidak menjebak Allah.

Sebab, sejauh yang saya tahu, para humanis yang tidak percaya Tuhan, tidak ingin menjebak manusia lain dengan katidakpastian. Mereka merasa paling bersalah, dan akan meminta maaf berulang-ulang, kalau terlambat tiba di tempat pertemuan hanya beberapa menit saja. Ada pun kita, yang percaya pada Tuhan….. Maaf kawan!

Komentar

Loading...