JAKARTA-PM.com, Banyak pengamat menilai penurunan nilai investasi (unrealized loss) BPJS Ketenagakerjaan bukan tindak pidana korupsi. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar misalnya menyebutkan unrealized loss sebenarnya tak bisa dikaitkan dengan tindak pidana. Sebab, hal itu sepenuhnya bergantung dengan kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

IHSG sendiri bergerak sesuai dinamika pasar dan dipengaruhi beragam faktor, dari makro hingga mikro. Kalau IHSG sedang melemah, maka akan terjadi unrealized loss. Sebaliknya, investor dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan akan mendapat unrealized gain atau kenaikan nilai investasi jika IHSG sedang menguat. Dengan kata lain, nilai investasi akan terus bergerak sesuai dinamika pasar.

Unrealized loss juga bukan berarti rugi yang sebenarnya selama BPJS Ketenagakerjaan belum menjual aset yang rugi. Dengan begitu, tidak bisa disebut merugikan negara.

“Kami dari BPJS Watch merasa bukan loss (dalam arti sesungguhnya) tetapi hanya unrealized loss. Misalnya beli saham Rp 100 turun jadi Rp 45. Unrealized loss pidana atau tidak? Tidak, karena sahamnya belum dijual, sehingga tidak bisa dijadikan kerugian,” ucap Timboel dikutip dari CNNIndonesia.com.

Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti dari The Asian Institute for Economic and Capital Market, Mikail Mo dan Arunika Lourensia.

Keduanya menilai unrealized loss BPJS-TK bukanlah tindakan pidana. Berbeda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri.

Unrealized loss BPJS-TK sebesar Rp 14,417 triliun (bukan Rp 43 triliun dan bukan pula Rp 22 triliun) ini benar-benar akibat harga saham yang turun. “Sudah begitu, hasil investasi brutonya juga besar, yaitu Rp137,22 triliun. Bayangkan jika harga saham LQ45 – IHSG terbang kembali — sejalan dengan program vaksinasi dan pemulihan ekonomi,” tutur keduanya, dalam rilis yang diterima poskomalut.com, Kamis (18/2/2021).

Lebih dari itu, kata mereka unrealized loss ini angkanya berubah-ubah sesuai dengan harga saham. Sehingga, masyarakat juga harus paham, bahwa selama ini BPJS-TK merupakan market leader di pasar modal. Tanpa BPJS-TK di pasar modal Indonesia, tentu pasar tidak bergairah, tidak ada pendalaman pasar. “Bayangkan, jika portofolio 18% di saham dari dana kelolaan, maka sekitar Rp110 triliun-Rp125 triliun menggenangi pasar modal Indonesia. Nah, jika unrealized loss ini dikriminalisasi, tentu bisa terkena ke siapa saja yang sebenarnya, karena risiko bisnis semata. Sebab, harga saham sedang turun, ya terjadi unrealized loss,” ungkap keduanya.

Sangat disayangkan, menurut mereka jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI, hanya karena atas laporan masyarakat yang itu dinilai bisa kontra produktif bagi pengembangan pasar modal. Salah satu dampak itu akan menebar “ketakutan”, tidak hanya bagi BPJS-TK sendiri, tapi ke lembaga lain – terutama kepada direksi – yang mengurus investasi. Bagi profesional, jangankan jadi tersangka, diperiksa saja, sudah “panas dingin”.

Dampak seriusnya lainnya, pasar modal menjadi sepi, karena berinvestasi di pasar saham menakutkan, penuh resiko ancaman dikriminalisasi. Dan, direksi akan “main” aman di instrumen deposito – yang sudah tentu yield-nya kecil – yang tidak menarik bagi peserta BPJS-TK. Semua akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah.

Semoga kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak bergerak liar, merembet ke instansi lain yang mengurus investasi. “Kasus Jiwasraya dan Asabri tidak dijadikan preseden bagi semua, harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamakan, meski dari luar sama – harus dilihat proses dan saham-saham yang dikoleksi,” terang mereka.

Loss dan gain bagi mereka adalah dinamika pasar dan murni karena risiko bisnis – business judgment – karena memang pasar saham yang sedang turun. Nanti juga naik lagi – karena potensi itu ada. Jangan-jangan, kalau IHSG meroket di angka 7.000, bukan tak mungkin dari loss menjadi gain. Itu sangat mungkin terjadi, karena koleksi sahamnya kualitas blue chip – sebagian besar masuk saham LQ-45.

“Pak Jokowi! Jangan sampai pasal karet yang dikenakan dalam unrealized loss ini, jujur tidak mendukung bagi pendalaman pasar modal Indonesia. Janganlah untuk kasus seperti ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai harus turun tangan, karena Presiden Jokowi sangat peduli dengan pemulihan ekonomi nasional,” pintanya.

Sembari berharap, Kejaksaan RI yang menyelidiki kasus BPJS-TK ini tetap proporsional, dan tidak mencari-cari kesalahan. Sebab, untuk kasus unrealized loss sebenarnya cerita “pepesan kosong” – yang berbeda dengan Jiwasraya dan Asabri. Bahkan, kalangan pasar modal berharap, jangan sampai penegak hukum dijadikan “alat” untuk agenda tertentu, misalnya alasan bisnis, atau pun rebutan jabatan di dalam tubuh BPJS-TK sendiri. “Semoga dunia pasar modal tetap bergairah, tapi siapa bisa menjamin jika potensi kerugian secara gelap dimasukan ke ranah pidana?,” tandasnya.

Terpisah, Direktur Bidang Humas dan Antara Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengakui memang ada unrealized loss sepanjang Agustus-September 2020 sebesar Rp 43 triliun. Hal itu terjadi karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga ke level 3.900 pada Maret 2020.

“Namun, seiring dengan membaiknya IHSG, unrealized loss tersebut telah turun mencapai Rp 14 triliun pada posisi Januari 2021 dan akan terus membaik dengan tren perbaikan IHSG,” ucap Utoh dikutip dari CNNIndonesia.com.

Ia menjelaskan unrealized loss merupakan kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksa dana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.

Unrealized loss, kata Utoh, tidak bisa disebut kerugian selama tidak dilakukan realisasi penjualan aset investasi saham atau reksa dana yang mengalami unrealized loss tersebut.

Utoh menambahkan total dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 486,38 triliun hingga akhir 2020. Dari situ, hasil investasi yang didapat sebesar Rp 32,3 triliun dengan tingkat pengembalian investasi (yield on investment/YOI) 7,38 persen.

Sementara itu, Kepala Kantor BPJAMSOSTEK Cabang Ternate Ahmad Feisal Santoso menambahkan, terkait hal ini kantor BPJAMSOSTEK khususnya di Kantor  Cabang Ternate dan jajaran tetap memaksimalkan pelayanan kepada peserta. “Pelayanan kepada peserta adalah yang utama bagi kami,” ungkap Feisal. (red/pn)