“Pendidikan itu penting bagi manusia. Ijazah itu penting bagi yang membutuhkan” (Quotes)
AGORA
Adalah Agora namanya. Tempat bertemunya paradigma. Disitu lalu lintas pikiran dijejer untuk debatkan. bukan pendidikan yang dilembagakan. Tidak dipungut biaya layaknya UN dan semester. Agora adalah tempat bertemunya para pemikir, tentunya bukan dari rahim sekolah tapi jalanan. Karena tidak ada sekolah, keluar rumah adalah cara yang paling mungkin untuk belajar, bukan menjadi begal atau geng motor. Tapi dari jalanan, semua realitas dipertanyakan, dipecahkan dan dirumuskan. Dari agoralah lahir filsuf paling bijak. Sebut saja Sokrates.
Agora dulunya adalah pasar kita saat ini. Ibarat pasar, di situ segalanya dihampar, terparkir untuk dijual. Ada dagangan, tempat sabung ayam, bahkan penjual obat yang ramai dijubel pengunjung. Dengan jual obat, retorika dimuntahkan dan diperdengarkan. Semua orang datang dengan bekal keresahan lalu diperkelahikan untuk menghadirkan rasa riang. Semua pemikiran berjibaku di situ. Bukan mencari pemenang. Agora adalah mall tempat bergumulnya enigma, frustasi menemukan solusinya. Bukan mal kita, tempat bertemunya gengsi dan sosialita.
Rasa ingin tahu itu dibenturkan dengan realita. Anak- anak yang ingin belajar geografi, langsung menyatu dengan kapten kapal di lautan, belajar pertanian dengan bercocok tanam di sawah. Belajar matematika dengan cara menghitung uang hasil jualan, belajar ekonomi dari distribusi dan konsumsi komoditi dagang, belajar nasionalisme langsung terjun ke medan peperangan. Istilah kita hari ini adalah praktik. Dengan itu pendidikan tidak sekedar dipostulatkan sebagai rezim administrasi guna mengentalkan habitus birokrasi yang mengkarat.
Ya, itulah Agora-wajah pendidikan kita yang hilang. Pendidikan mestilah seperti Agora. Tumbuh berdasakan tradisi pedagogi. Tidak sekedar mengajarkan tapi mendidik. Mengajarkan hanya akan memenjarakan imajiner siswa. Bila mendidik, di situ coriosity dipertajam, kreatifitas siswa dibangunkan. Sebagaimana Freire, sekolah yang dipertebal dengan mengajar hanya menjadikan daya jelajah siswa mengalami disfungsi. Sekolah membelenggu kesadaran kritis siswa seperti gaya bank. Dikurung, menghafal dan membentuk siswa layaknya mesin ATM, tempat dititipkannya tumpukan PR.
Sekolah memenjarakan siswa dalam laku aturan yang ketat dan seragam. Padahal , Scola = Taman atau waktu luang. Di situ seni bermain anak- anak disubtitusi dengan karya. Taman bermain yang menjadi filosofi sekolah harusnya membuat siswa menjadi merdeka. Bukan memaksakan untuk patuh pada atribut, mulai dari sepatu, celana dan baju yang diseragamkan. Kurikulumpun dirancang dengan tidak mendekatkan algoritmanya pada imajinasi siswa. Hasilnya, kemampuan siswa diukur berdasarkan statistic. Di situ daya hafal menjadi rumus tentatif untuk dinilai lewat apot dan NEM. Mengerikan. Sekolah kita berubah wajah menjadi penjara. Siswapun dikonstruksi layaknya tahanan. Jika sekolah adalah tempat mengajar dimana guru berdiri untuk memberikan mata pelajaran, apa bedanya dengan apel siaga,,? Atau inspeksi pasukan,,?
Bayangkan saja bagaimana nalar sekolah dioperasikan. Dimulai dari SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, sarjana S1 4 tahun. 16 tahun bukan? Ini rigid dan kaku. Siswa SD dan SMP pun diuji kelulusannya dengan ijazah. Buat apa ? Bukankah kedua ijazah itu tidak lagi relevan dengan dunia kerja ? Sekolah membuat siswa terlalu lama menunggu karena didomestivikasi. Kesadaran naifpun memperoleh tempatnya karena ada mis fortune yang disemai, dengan ijazah dimudahkan untuk mencari kerja.
Pendidikanpun dimekanisasi karena out putnya dikonstruksi untuk kepentingan pasar. Fakta itu membuat pendidikan kehilangan spritnya. Bukan membebaskan namun justru menjerat. Dari situ pendidikan yang dilembagakan melalui sekolah menjadi mahal karena berubah wajah menjadi industri. Dengannya status sosial manusia dilihat sebagai oposisi biner. Distingsipun dibangun bahwa hanya orang berduitlah yang dimungkinkan bisa sekolah. Orang miskinpun dilarang sekolah. Jika demikian, pendidikan dengan kata lain adalah alat pertentangan kelas sebagaimana ramalan Marx, karena terjadi disparitas yang menganga untuk memperoleh pengetahuan. Gurupun bertindak layaknya majikan dan siswa sebagai buruh. Pendidikan kita ibarat gerbang tol,hanya orang berduit yang bisa tembus dan melaju, kata Ivan Illich.
Padahal, tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa kesempatan untuk memperoleh pendidikan menjadi hak semua orang. Di sinilah spirit pendidikan harus membebaskan siswa dari jeratan sekolah yang berbiaya tinggi untuk keluar dari bangunan itu dan belajar bersama alam. Dengan itu kepekaan siswa menjadi terasah dan peduli terhadap sekitarnya.
Coba intip Finlandia, negara Skandinavia yang bertengger sebagai pusat pendidikan terbaik di dunia. Apa resepnya ? Tidak lain karena dari sekolah dasar sampai menengah tidak dipungut biaya alias gratis. Ujian nasionalpun dihapus. Siswa SD dan SMP tidak diberlakukan ijazah layaknya kita. Siswa dibebaskan menentukan mata pelajaran yang disukai, dan berhak memilih ujian bagi mata pelajaran yang dikuasai. Pendidikan dibebaskan dari lanscape politik. Guru diberikan otonomi luas untuk menyusun kurikulum yang dibasiskan pada bakat siswa. Guru lebih berperan sebagai pelatih dibanding pengajar, sehingga lebih presisi dalam menggali arkeologi pengetahuan yang terpendam dalam otak siswa.
Bagaimana dengan kita ? Pendidikanpun dipolitisasi. So..coba kita lihat sistem pendidikan kita, negara memegang kendali lewat Kemendiknas. Kurikulum di setiap sekolah dan perguruan tinggi dirancang agar Uniform dengan selera pemerintah.
Tidak jarang kepala sekolah dan guru justru dijadikan alat politik. Tim kampanye, konsultan politik, relawan. Akibatnya setiap pergantian kepemimpinan posisi gurupun berpotensi untuk diganti. Ini merusak karena negara tidak pernah memandang status guru sebagai profesi yang mulia.
Geneologi dari pendidikan yang mestinya melatih, dibengkokkan melalui institusi sekolah yang berwatak politis dan menindas. Sebagaimana Foucault dalam “Menggugat sejarah Ide” ( baca :The Archeologi Of Knowledge ) bahwa pengetahuan dibangun untuk memperoleh kekuasaan. Hanya orang berpengetahuan-lah yang menguasai orang lain. Seorang pasien yang datang ke dokter untuk berobat, dokter memiliki kekuasaan atas pasien tersebut berdasarkan hasil diagnosa. Sama halnya dengan belajar mengajar. Seorang guru memilki dominasi penuh atas siswa lewat pengetahuan yang diucapkan, sehingga siswa berkewajiban untuk mendengar dan patuh terhadap guru tersebut. Karena guru pun direkayasa sebagai juru bicara dari pemerintah. Disinilah wajah pendidikan kita bersembunyi di balik ideologi kekuasaan.
Jika sekolah dan ijazahnya menjadi prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan. Coba kita tengok Eka cipta Wijaya, pendiri Sinar Mas hanya tahu baca tulis. Dan paling tak biasa adalah Tomas Alva Edison. si jenius yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bodoh oleh gurunya tapi justru menemukan bola lampu untuk menerangi dunia di bawah bimbingan Nancy Elliot, ibunya di rumah. Fakta ini menjadi pembeda betapa perjalanan sekolah yang panjang dan melelahkan untuk mendapatkan ijazah menjadi anomali dari potret pendidikan kita.
Lebih tepatnya mainset dari guru harus diubah ke arah mendidik atau melatih layaknya Nancy Elliot. Lihatlah pelatih sepa kbola yang berdiri di tepi lapangan, berteriak sepanjang laga untuk memotivasi pemainnya. Atau mentor tinju yang mengajari anak didiknya adu bogem di atas kanvas. Mungkin juga buruh bangunan yang mengajari anak buah cara membangun rumah. Yang kesemuanya itu tidak didapatkan di sekolah kan,? Dengan itu sekolah mampu mencetak produk layaknya barang jadi.
Mestinya Quo vadis pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahwa pendidikan ada dimana mana. Di laut, gunung, hutan, pasar, bahkan bengkel. Mau jadi Profesor, pengusaha, pelatih sepakbola, pilot, nakhoda kapal, desaier, polisi, tentara, artis, buruh bangunan adalah tujuannya untuk makan dan bertahan hidup. Sisanya adalah karya.
Pendidikan harus dibebaskan untuk bertamaya ke ruang yang lain. Tidak hanya di sekolah. Jumlah rakyat Indonesia kira- kira di angka 250 juta jiwa, tapi Sandiaga Uno bisa mengantongi kekayaan bersih 4 triliun Rupiah. Hartono bersaudara mengumpulkan pundi uang mendekati 600 triliun. Itu artinya uang beredar dimana mana. Uang ada di gunung, laut, hutan, pasar, pangkalan ojek dan pelabuhan. Artinya, dengan jumlah manusia yang sedikit seharusnya mampu mengantongi uang lebih banyak kan,,? Namun untuk mendapatkannya kita harus memperbesar kapasitas. Jika anda punya daya tampung seribu dalam satu hari, harus dilipatgandakan menjadi sepulub ribu.
Dari sini kita sadari pendidikan seharusnya membuat manusia merdeka secara ekonomi dan finansial. Pendidikan harus lebih bertumpu pada jalur luar sekolah yang membebaskan. Sebab, faktanya produk dari sekolah banyak melahirkan generasi pengangguran yang terus tumbuh dan mewabah. Sekolah tidak mampu membuat peta jalan bagi kelulusan peserta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, statistik menunjukkan jumlah manusia lebih banyak dari jumlah lapangan pekerjaan formal.
Akhirnya, kita semua patut belajar dari Butet Manurung, dengan sekolah rimbanya sejak tahun 2003. Dia rela meninggalkan ramainya ibu kota untuk mengajarkan baca tulis pada anak- anak pedalaman Taman Nasional Bukit dua belas di tengah hutan Jambi. Dia seolah sadar bahwa berbagi kecerdasan antarsesama menjadi tugas para intelektual. Sarjana tidak seharusnya menjadi dosen, dirut perusahan, atau menteri. Manurung ikhlas mengambil 70 persen dari tugas negara untuk mencerdaskan warganya. Gerakan merdeka belajar yang dipelopori oleh Menristek Nadiem Makarim, justru terinspirasi dari sepak terjang Manurung yang ingin mengembalikan hakikat sekolah pada tempatnya. Inilah yang disebut dengan Agora.
Berapa sarjana kita yang seperti Manurung,,? Hampir tidak ada. Akhirnya, hakikat dari
pendidikan adalah seni mendidik. Tidak harus di sekolah yang sesak dengan logical falacisnya. Mata Pena….Wassalam
Tinggalkan Balasan