SANANA-PM.com, Polemik terkait status kepemilihan lahan Bandara Emalamo, Sanana kembali bergulir. Sebanyak 34 Umaloya dan Wai Ipa kembali menggiring masalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Sanana. Ini kali kedua kasus lahan bandara naik ke Pengadilan, Selasa (22/10/2019), sidang kedua dengan agenda mediasi oleh Hakim tunggal, Priadi. 

Sidang kedua tersebut dihadiri oleh 16 warga pemilik lahan bersama pengacaranya Mohammad Din Tuatubun dan Wandi Buamona selaku pihak penggugat. Sementara pihak tergugat yakni Pemda Kepsul dihadiri oleh Kabag Hukum dan HAM Sait Losen, dan Kasi Datun Kejari Kepsul, Arya Satria selaku pengacara negara.

Sayangnya, sidang mediasi itu tak menemukan titik temu. Sebab, Bupati Kepsul Hendrata Thes tidak hadir untuk memberikan keterangan. Hal itu membuat pemilik lahan kecewa. Sidang kemudian ditutup dan akan dilanjutkan pada, Selasa (29/10) pekan dengan agenda yang sama.

Mohammad Din Tuatubun menuturkan, kasus tersebut terpaksa digugat kembali, karena sampai saat ini belum ada itikad baik dari Pemda untuk menyelesaikan tuntutan dari masyarakat, salah satunya ialah mengganti rugi lahan warga yang sampai saat ini belum dilakukan Pemda.

Dia mengungkapkan, untuk gugatan yang tengah berlangsung di PN Sanana saat ini terdapat 2 poin gugatan, yakni meminta PN menetapkan objek sengketa sebagai hak miliki warisan para penggunggat. Dan kedua, mengganti rugi lahan berdasarkan nilai keadilan, dengan harga yakni Rp 150 ribu per meter. Apalagi lanjutnya, saat ini masyarakat telah memiliki surat keterangan alasan dengan objek dan ukurannya masing-masing atas tanah. “Warga tetap berpegang teguh dan berkeyakinan bahwa tanah itu adalah milik mereka, karena pengadilan belum mengabulkan permintaan Pemda untuk ditetapkan sebagai aset daerah, jadi ada dua poin itu yang kita tuntut,” tandasnya.

Muhamad din menambahkan, Bupati mestinya hadir dalam sidang terkait poin gugatan yang diajukan tersebut. Dengan begitu kata Mohammad Din, Bupati memiliki itikad baik untuk memediasi masalah tersebut sesuai prosedur hukum. “Karena masing-masing kita mencari jalan terbaik, dan kita berkeinginan perkara ini diselesaikan dengan cara perdamaian dengan melihat nilai keadilan,”ujarnya. 

Muhammad lantas menyentil petikan putusan hukum MA dimana, Pengadilan belum menentukan siapa pemilik atas objek sengketa. Dimana,  MA hanya mengabulkan gugatan perbuatan melawan hukum masyarakat, yang menduduki lahan yang diajukan Pemda Kepsul saat itu. “Jadi bukan menang atas lahan dan Pengadilan belum terima, artinya perkaranya belum selesai meskipun sudah sampai ke Mahkamah Agung,”tuturnya.

Untuk itu lanjutnya, dalam sidang berikut dia berharap Bupati Hendrata bersedia hadir dalam sidang mediasi.

Sementara Pemda sendiri beralasan, pihaknya tidak bisa memenuhi tuntutan ganti rugi lahan. Alasanya, tidak ada acuan atau dasar hukum yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pembayaran.

Sementara, Kabag Hukum dan HAM Setda Kepsul, Said Losen menjelaskan, pihaknya tetap mengacu pada amar putusan MA. Said justru membantah tudingan PH. Menurutnya, lahan bandara Emalamo berstatus milik Pemda Kepsul. “Dasar hukumnya sudah jelas dari pengadilan tingkat pertama sampai banding itu sudah jelas bahwa lahan itu adalah milik Pemda,” jelasnya.

Terkait ganti rugi, kata Said, Pemda tetap mengacu pada amar putusan, sehingga ganti rugi lahan warga akan berdampak hukum terhadap Pemda. “Ini bisa berdampak hukum dan temuan BPK, jadi kalau mereka mau mengajukan itu hak mereka,” ujarnya.

Terkait ketidakhadiran Bupati, lanjut Said, kehadiran pihaknya bersama dengan Jaksa selaku pengacara negara sudah bisa mewakili Pemda. “Karena kadang juga bertepatan dengan agenda Bupati sehingga tidak bisa hadir,” ujarnya. 

Menurut PH, Muhammad putusan Pengadilan Negeri Labuha hingga berlanjut ke Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu tidak menyentuh substansi persoalan. Dimana Pemkab Kepsul mengajukan dua poin tuntutan ke PN, untuk mengeluarkan warga yang menduduki Bandara Emalamo, serta menyerahkan kepada pemkab seperti semula, dan menetapkan Bandara Emalamo sebagai aset daerah.

Menurutnya, putusan pertama diterima oleh PN Labuha dengan nomor 07/Pdt.G/2013/PN Lbh pada 26 Juli adalah terkait dengan perbuatan melawan hukum atas warga yang menduduki bandara, bukan eksekusi mengenai kepemilikan lahan. Masalah tersebut pun berlanjut sampai ke MA dengan keputusan yang sama.  “Jadi permohonan yang diajukan oleh Tajudin selaku PH warga, karena putusan PN Labuha tidak dan ditolak. Begitu juga dengan gugatan pemkab yang ingin menjadikannya sebagai aset daerah,” jelas Din. Jika pemkab dan DPRD tidak menggelar hearing dengan warga, maka mereka tetap menghentikan proyek tersebut. (rul/red)