poskomalut, Draw The Line Maluku Utara menjadi ruang konsolidasi anak muda, nelayan, petani, perempuan dan komunitas adat yang selama ini menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan sosial dan ekologis.

Fitra Maulana Pueng, Koordinator Aksi Draw The Line Maluku Utara mengatakan, gagasan kritis terus itu menggema di tengah deru tambang nikel, hancurnya ruang hidup masyarakat adat, dan laut yang makin terancam krisis iklim, anak muda Maluku Utara bersuara lantang: Keadilan iklim bukan janji kosong, tapi hak hidup yang harus dijamin negara.

Dari Sofifi hingga Halmahera Tengah, suara perlawanan tumbuh menolak perampasan tanah, menolak laut yang diracuni limbah tambang, dan menolak kebijakan yang lebih memihak oligarki daripada rakyat.

“Kami di Maluku Utara tidak datang hanya untuk berteriak. Kami datang untuk menegaskan bahwa tanah, laut, dan hutan bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Kami menuntut negara berdiri di pihak rakyat, bukan di pihak korporasi. Keadilan iklim berarti keadilan sosial, berarti menyelamatkan masa depan generasi kami,” ungkap Fitra Maulana dalam keterangan pers yang diterima poskomalut, Selasa, 23 September 2025.

Ia menyebut, krisis iklim di Maluku Utara hari ini nyata. Di mana nelayan terhimpit oleh kenaikan muka air laut dan pencemaran laut akibat aktivitas industri ekstraktif.

Masyarakat adat terancam kehilangan tanah leluhur, karena Proyek Strategis Nasional atau PSN dan ekspansi tambang nikel.

Perempuan, anak, dan kelompok rentan menjadi korban paling awal dari bencana ekologis, kehilangan sumber air bersih, pangan, dan ruang hidup aman.

Lanjut Fitra menerangkan, dengan mengusung prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion), aksi ini menuntut agar transisi energi benar-benar adil, tidak meninggalkan siapapun di belakang, serta memastikan pendanaan iklim transparan dan berpihak kepada komunitas terdampak.

“Maluku Utara bukan tanah kosong. Maluku Utara adalah rumah, identitas, dan masa depan kami. Jika negara berpaling, kami anak muda akan berdiri paling depan,” tegasnya.

Aksi mereka diwujudkan melalui long march dari Sofifi menuju pusat pemerintahan daerah dengan membawa poster, spanduk, dan suara perlawanan.

“Setiap langkah adalah simbol harapan. Setiap tulisan adalah perlawanan atas ketidakadilan,” tandas Fitrah.

Adapun beberapa tuntutan utama Green Ambassador Malut dalam aksi Draw The Line:

1. Stop Perampasan Tanah dan Laut Maluku Utara!

2. Sahkan RUU Masyarakat Adat agar tanah leluhur tidak digusur atas nama investasi.

3. Hentikan ketergantungan pada nikel yang merusak ekologi, percepat transisi energi bersih yang berkeadilan.

4. Dana publik untuk solusi, bukan subsidi polusi.

5. Libatkan rakyat, bukan hanya elit politik dan oligarki.

Mag Fir
Editor