Oleh: Baharudin Pitadjaly
Peminat Politik dan Demokrasi/Anak Muda NU
Hampir dua tahun terakhir ini saya sebenarnya agak susah menemukan Fell untuk menulis secara serius. Apalagi soal tema “politik” namun beberapa hari ini saya terus mencoba untuk menemukan Fell dan memulai untuk menulis kembali. Alasan untuk menulis lagi itu lebih karena merespon situasi lokal menjelang tahun politk 2020 yang belakangan ini ramai di medsos, entah itu FB, grup WA dan lainnya. sebagai dinamika alamiah yang mendapat resonansi pada space politik electoral mendatang, public tentu memiliki kesempatan terlibat secara aktif. Entah itu personal atau kelompok yang sudah memiliki preferensi dan afliasi kefigur tertentu.
Walaupun terlihat terlalu dini dalam soal kecendruangan keberpihakannya itu bisa saja berubah, relative karena politik kita itu begitu cair dan bahkan sangat dinamis. Termasuk peta dukungan partai politik itu sendiri. Banyak hal unik dari politik electoral yang selalu memberi daya “kejut” di last minute.
Untuk itu kalau kita menyimak dengan saksama mulai terjadi pemanasan, serta aktivasi pada beberapa perangkat tempur, baik di tim inti pemenangan, relawan atau bahkan buzzer.Sebagai upaya pembentukan opni public, dan pencitraan melalui medsos, media massa, dan elektronik. Sekaligus mapping area dan menempatkan titik koordinat pada simpul-simpul tertentu.
Bukan politik kalau tidak menimbulkan “kebisingan”. Faktor ini disebabkan lebih karena politik kita khususnya di lokal tidak akan pernah menjadi ruang sunyi dan berlalu dengan senyap. Karena ruang tersebut dalam pandangan saya akan selalu ditaburi benih-benih konflikagar kelak menuai gaduh. Jadi semacam ritwal yang sudah biasa kita lakoni dalam momentum electoral sebelum-sebelumnya.
Relative politik electoral dalam catatan saya pribadi tidak pernah menjadi jalan sunyi kita lewati. Namun saya tidak mau membahas itu terlalu jauh. Sebab, masing-masing dari kita pasti memiliki refleksi sendiri. Dan itu juga bervariatif argumentasi karena sudut pandanganya pun beragam.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pemilu menjadi variabel penting dalam proses pergantian kekuasan. Indonesia sendiri proses itu pun dilakukan secara priodik dalam lima tahun sekali, dan kita telah lalui secara baik dengan segela dinamikanya. Bahkan dikenal sebagai rezim pemilu terbesar. Rumit, sekaligus sangat kompleks. Di titik ini sebanarnya masih menyimpan banyak perdebatan, bik dari sisi perangkat, sistem, dan mekanisme maupun kualitas produk yang dihasilkan. Praktis dalam pemilu ada tiga hal pokok menurut saya:
Pertama:kesiapan infrastruktur penyelanggara/wasit (KPU dan Bawaslu), dalam menyusun jadwal tahapan dan program, termasuk bagaimana alokasi penganggarannya. Kedua: Kontestan, ini rauang yang disediakan baik itu parpol maupun perseorangan.
Ketiga:Pemilih/rakayat yang sebenarnya memiliki karakteristik tersendiri bahkan dalam soal preferensi politik. Pada data yang dirilis KPU RI kurang lebih 270 daerah yang melaksanakan pesta demokrasi di tahun 2020 nanti dengan rincian: 9 provinsi untuk pemilihan gubenur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota, “kata Ketua KPU Arief Budiman dalam rapat di ruang Komisi II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Lebih khusus Maluku Utara ada 7 Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan pilakda dengan rincian, 2 untuk Pemilihan Walikota (Ternate, Tidore) dan 5 untuk pemilihan Bupati (Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula dan Taliabu). Saya tentu tidak akan mengurai 7 Kab/Kota tersebut, karena saya memiliki alasan sendiri. Oleh sebabnya, saya memilih utnuk lebih spesifik membahas Kota Ternate.
Geo-politik Kota Ternate
Secara geografis Kota Ternate memiliki letak yang sangat startegis, dalam gugusan Kepulaun di Maluku Utara. Sebagai simpul konektifitas, baik jalur laut maupun udara. Kota dengan luas luas wilayah 111,39 km² baik laut dan darat. Secara administrasi pemerintahan Kota Ternate terbagi atas 7 (tujuh) kecamatan dan 77 (tujuh puluh tujuh) kelurahan, masing-masing:
Ternate Utara membawahi 14 kelurahan dan Ternate Tengah membawahi 15 Kelurahan. Dan jumlah penduduk kurang lebih 215.524 jiwa dengan beragam etnis (Wikipedia.org).
Sebagai pusat peradaban masa lalu, Ternate juga dikenal dengan system Kesultan oleh karenanya memiliki streotipe kota budaya. Sebagai kota dengan iconik ikan Pari,Ternate masih menjadi sentrum kota jasa. Sekurang-kurangnya ini dalam pandangan saya dalam banyak literatur sejarah, Ternate memang paling sering kita temui. Kata yang menunjukan tempat dengan hasil alam yang eksotis seperti pala dan cengkih yang melegenda.
Sebetulnya Ternate mulai ramai dibicarakan oleh bangsa Eropa pada abad ke15 dan 16 karena menjadi pusat rempah-rempah dan diabadikan dalam banyak catatan perjalanan seperti Vasco da Gama, Francisco Serrao. Bahkan nama Ternate sendiri disebutkan dalam hasil riset yang dilakuakn oleh Alfred Russel Wallace.
Nah, itu sedikit gambaran geopolitik Kota Ternate, karena ini bukan menjadi fokus utama yang mau saya bahas dalam tulisan ini. Karena itu saya membuat batasan pada penjelasan sebelumnya. Sembari memberi pandangan dalam membaca pete politik kedepan di Kota Ternate.
Proyeksi-Kekuatan Menjelang 2020
Membicarakan Politik electoral di Kota Ternate, tanpa mengenal dengan baik pemain kunci utamanya menjadi tidak utuh dalam proses analisis. Karena itu coba saya mengulasnya secara sederhana. Sependek pengetahuan saya, konfigurasi politk Kota Ternate masih didominasi tiga etnis (Etnis Ternate, Tidore dan etnis Makean).
Karena itu politik kekuasaan pun tidak berada jauh dari orbit tiga etnis yang saya sebut tadi, perhari ini saja etnis Tidore masih menjadi penguasa. Padahal, mereka bukan etnis dominan apalagi jiwa pilih terbanyak. Satu hal yang saya pelajari adalah soal tehnik dan strategi konsolidasi yang mumpuni dengan berbagai varian pendekatan.
Pada sisi ini dua nama besar menjadi determinan factor (Sultan Tidore dan Haji Bur). Ini sesunguhlah Kingmaker yang sudah pasti banyak mengatur jalannya pertandingan dalam lapangan politik electoral kedepan dan itu penting ditelisik. Sebab, suka tidak suka, etnis Tidore masih akan menjadi katalisator dalam politik electoral pada 2020 mendatang.
Apa lagi nanti konteks kualisinya bisa menemukan formulasi dengan mengakomodir etnis Ternate dan Makean. Tapi itu tentu menjadi pengecualian, sebab umumnya politik electoral itu menitiberatkan kompetisi partai politik. Artinya, situasi bisa sangat dinamis. Bahkan sampai saat ini partai politik pun masih melakukan penjaringan calon-calon yang dianggap kompeten untuk diusung.
Saya pun meyakini partai sebenarnya telah mengantongi nama-nama seperti (Hasan Bay, Yamin Tawari, Abdulah Taher, Iswan Hasim, Jasman Abubakar atau Sidik Siokona).Tinggal menungu mekanisme intenal partai seperti apa keputusannya nanti. Praktis dari nama-nama yang sejauh ini berkembang relative orbitnya masih sama dalam kemasan tiga etnis yang saya sebut sebelumnya.
Itu artinya kecil kemungkinan muncul pemain baru berlatar etnis tertentu. Bahkan sangat mungkin tidak ada calon perseorangan padahal mekanismenya tersedia. Kenapa demikian nama-nama tersebut diatas, menurut saya sudah memiliki “iman” dengan garis partai politik yang jelas. Namun itu bisa saja keliru. Sekali lagi politik itu kadang unpredictable.
Berdasarkan data pemilih 2019 pileg, total pemilih Kota Ternate 124.668. Kalu kita melakukan simulasi pemilih dengan latar etnis Ternate masih menjadi pemilih terbanyak mungkin berada di angka 35 atau 40 %. Artinya, kurang lebih setengah dari total populasi jiwa pilih ini hanya sekedar dugaan. Selebihnya pemilih dengan latar etnis campuran baik Tidore, Makean, Togale atau warga pendatang seperti Bugis, Jawa, Buton dan seterusnya.
Apakah dengan modal pemilih terbanyak figur dari etnis Ternate sebut saja Sidik Siokona bias diasumsikan The Next Walikota berikut? Atau figur dari etnis Makean seperti Yamin Tawari, tokoh yang sudah malang melintang di pentas politik nasional. Itu sederetan pertanyaan yang masih menjadi misteri apa jawaban tepatnya.
Sekarang saya ingin memberi kontesk pada satu figur yang belum disebutkan namanya, dan bagi saya penting dipertimbangkan dalam kontestasi electoral di Kota Ternate. Karena memiliki resourcesbaik Partai Politik dan jejaring nasional. Sebagai predictor, ini yang mau saya bahas pada sub tema berikut.
Menakar Peluang Jasri Usman
Jasri bagitu ia biasa disapa banyak orang, dengan posisi sebagai Ketua DPW PKB Provinsi Maluku Utara. Jasri, sebenarnya sudah mengalami fase pahit dan manis dalam perjalannya memimpin partai politik. Pria yang berumur kurang lebih 49 tahun itu memulai karir politik juga tidak mudah dan harus memulainya dari nol.
Dengan modal sebagai kader Pergerakan Mahasiswan Islam Indonesia (PMII) seangkatan Muhaimin Iskadar, atau lebih sering disapa Cak Imin. Dari titik ini Jasri, memulai karir politiknya dengan sabar dan tekun beralih dari fase yang satu ke fase yang lain. Tanpa sedikit pun meninggalkan proses yang mebentuk karakternya hari ini.
Sebagai politisi Jasri Usman nama lengkapnya, adalah pribadi yang humble, genuine, namun berpendirian teguh. Hinga itu ia disegani sekaligus dihormati baik kawan maupun lawan. Di lingkara para kolega politisi, nama Jasri Usman sudah sangat populer. Bagitu pun di mata public. Itulah kenapa pentingnya menjadikan Jasri sebagai pertimbangan lain dalam konteks politik electoral mendatang. Ada beberapa alasan dan itu logis dikemukakan.
Pertama, sebagai Ketua DPW PKB Maluku Utara, sudah pasti sangat mudah mencalonkan dirinya sendiri. Toh juga ia memiliki hak prerogative sebagai pucuk pimpinan partai dan terpenting Jasri, bisa membuat keputusan startegis lainnya di internal partai untuk kepentingan public itu menjadi istimewa dipertimbangkan dalam momentum politik electoral 2020 di Kota Ternate.
Kedua, menahkodai PKB Maluku Utara, Jasri Usman, memimpin langsung pemenangan legeslatif 2019. Dan hasilnya cukup memuaskan. Di sisi ini Jasri sebetulnya memiliki sikap leadership yang kuat dan itu sekurang-kurangnya dalam mengelola partai politik. Perolehan suara total PKB untuk provinsi kurang lebih 30.502 dan harus puas hanya menemptakan satu kursi di DPRD provinsi. Namun kalau kita hitung rata-rata perolehan suara PKB di semua tingkatan cukup signifikan tentu menjadi prestasi.
Bila kita memperkecil lagi skala analisis dari tingkat provinsi ke Kab/Kota untuk melihat keberhasilan PKB khususnya Kota Ternate, dan ini bisa dipakai sebagai parameter. Jasri Usman, menjadi factor penting dalam skema politik electoral Kota Ternate ke depan. Kenapa, pada data KPU hasil legeslatif 2019, PKB mampu menyumbang 4 kursi dengan total suara 8.680 plus ketua DPRD Kota Ternate ini menjadi modal besar.
Ketiga, sebagai politisi PKB, Jasri Usman, sudah pasti memiliki jejaring nasional. Ini penting dilihat dalam soal mebangun daerah. Apalagi dalam komposisi kabinet Indonesia Maju, PKB menempati tiga pos menteri yaitu Kemendens dan PDTT, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Perdagagan. Hal ini bisa diperguanakan sebagai pertimbangan rasional lainnya atas figur Jasri Usman.
Saya pikir pendapat di atas cukup menjadi dasar. Lepas kemudian bahwa Jasri Usman bukan figur dari etnis yang cukup representative dalam politik electoral kota Ternate, karena dianggap tidak masuk dalam skema pemain kunci utama sejauh ini itu soal lain. Toh juga politik selalu memberi isarat pada semua kemungkinan. **
Tinggalkan Balasan