poskomalut, Bupati Kabupaten Halmahera Barat, James Uang dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas gagalnya pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama Halbar senilai Rp42 miliar.
Selain bupati, Kepala Dinas Kesehatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pihak ketiga dalam hal ini kontraktor yang mengerjakan proyek bertanggung jawab secara hukum.
Hal tersebut ditegaskan praktisi hukum sekaligus pakar hukum keuangan negara Univeristas Khairun Ternate, Dr Hendra Karianga, SH,.MH., kepada Media Grup, Kamis (11/12/2025).
Menurut Hendra, gagalnya proyek pembangunan RS Pratama Halbar, mengindikasikan gagalnya bupati dalam mendukung program pemerintah pusat untuk membangun rumah sakit di daerah itu.
Bupati dinilai tidak memahami perencanaan dan pengelolaan keuangan negara, karena pembangunan RS Pratama Halbar tahun anggaran 2024, merupakan proyek pemerintah pusat sehingga pengelolaan APBN-pun dimulai dari tahapan perencanaan awal, pengawasan dan pertanggungjawaban.
Mengacu pada perencanaan oleh Kementrian Kesehetan (Kemenkes) RI, bupati tidak memiliki kewenangan untuk mengubah perencanaan awal dengan memindahkan lokasai proyek ke tempat lain.
“Ada kepentingan politik apa bupati pindahkan lokasi rumah sakit itu?,” tanya Hendra.
Gagalnya proyek pembangunan RS Pratama Halbar, selain ditemukan penyalahgunaan wewenang bupati, juga terdapat potensi penyalahgunaan keuangan negara.
“Ingat, korupsi APBN itu bukan pada pelaksanaan tapi perencanaan. Mengalihkan lokasi proyek ke tempat lain berarti sudah ada potensi korupsi, “tegasnya.
Lantaran itu, ia mendesak penegak hukum segera mengambil tindakan dengan memerika Bupati Halbar, termasuk pelaksana (kontraktor) proyek, kadis kesehatan maupun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Maluku Utara, juga diminta melakukan audit menyeluruh atas proyek yang dikerjakan oleh PT Mayagi Mandala Putra tersebut.
Sebelumnya mantan anggota DPRD Halbar, Asdian Taluke, menyebut proyek ini ditengarai terjadi maladministrasi karena tidak dibangun di lokasi yang sesuai rencana awal. Belum lagi belum dibayarnya lahan milik warga bisa dikategorikan sebagai penyerobotan.
“Tidak ada perjanjian resmi dengan pemilik lahan. Bahkan, alat kesehatan senilai sekitar Rp 13 miliar yang sudah dibeli pemerintah hanya disimpan di rumah pribadi milik Ko Tin, pemilik lahan,”ungkapnya.
Sementara Dinas Kesehatan Halbar disebut memberikan angka berbeda terkait pengadaan alat kesehatan, yakni sekitar Rp7 miliar. Perbedaan data ini memunculkan pertanyaan publik soal transparansi anggaran.
Senada Asdian, tokoh pemuda Kecamatan Ibu Selatan, Frangki Luang, turut menyoroti proyek pembangunan rumh sakit yang dinilai bermasalah.
“Ini proyek pemerintah bukan proyek pribadi. Harus ada penyelesaian lahan dulu sebelum bangun. Ini bukan hanya soal kelalaian tapi sudah masuk ranah hukum,” kata Frangki.
Frangki, juga menyinggung peran kepala daerah dalam kebijakannya terhadap proyek yang dinilai menyimpang dari perencanaan. Masyarakat sudah mengetahui lokasi awal proyek yang sah, namun malah berpindah tempat tanpa dasar hukum yang jelas.
Ia pun mendesak aparat penegak hukum bertindak cepat dan profesional dalam menangani persoalan ini.
“Masyarakat menuntut transparansi audit dan penyelidikan tuntas terhadap pihak-pihak yang terlibat, termasuk pelaksana proyek dan pejabat eksekutif di daerah,” tandasnya.


Tinggalkan Balasan