Cerita Asri Menjadi Karyawan IWIP, Tinggal di Masjid hingga Gadai Cincin Ibu

Asri Jamal

“Ini mama pe doi sadiki, ngana pake ka sana di perusahaan (Ini ada uang sedikit, kamu pakai untuk ke perusahaan),” suara Asri bergetar menahan tangis ketika menirukan ucapan mamanya kala itu.
Usut punya usut, ternyata uang tersebut berasal dari cincin emas milik mamanya yang digadaikan pada tetangga.

Gerimis mengguyur kawasan industri yang terletak di Teluk Weda, Halmahera Tengah, pada Kamis (2/12). Meski jarum jam sebentar lagi menunjuk angka 12 siang, tapi mendung belum juga beranjak.
Di antara deru mesin pabrik dan gemuruh alat berat yang mondar-mandir, Asri muncul menenteng botol besar berisi air mineral. Senyumnya mengembang, tampak kontras dengan seragamnya yang kotor.
“Saya tadi dari atas, turun buat ambil minuman,” katanya membuka percakapan.

Asri Jamal (26), pria kelahiran Moloku, Halmahera Selatan itu adalah karyawan PT IWIP. Ia bertugas sebagai mekanik crane. Kisahnya tentang perjuangan menjadi karyawan IWIP menarik perhatian banyak orang. Sampai berita ini ditulis, postingannya sudah disukai lebih dari 2 ribu orang serta lebih dari 350 komentar, yang mayoritasnya mengapresiasi perjuangannya.

Siang itu, di sebuah sudut Smelter F, tempatnya bekerja, Asri berkisah tentang perjuangannya membantu keluarga.

Semua berawal ketika seorang teman kampungnya mengajaknya bekerja di IWIP. Ajakan itu lalu ia sampaikan kepada mamanya. “Saya bilang ke mama, saya akan kerja di IWIP kalau mama kasih izin,” tuturnya.

Saat itu Asri bekerja sebagai ojek hasil kebun yang pendapatannya tak menentu buat mencukupi kebutuhan keluarganya. Keterbatasan biaya ini menjadi alasan mengapa niatnya untuk mengenyam pendidikan di salah satu universitas di Kota Ternate mesti kandas di tengah jalan.

Tiba-tiba, suatu ketika ibundanya datang dan memberikannya uang Rp 500 ribu. Asri kaget dan menanyakan untuk apa uang itu, serta yang paling penting dari mana asalnya.

“Ini mama pe doi sadiki, ngana pake ka sana di perusahaan (Ini ada uang sedikit, kamu pakai untuk ke perusahaan),” suara Asri bergetar menahan tangis ketika menirukan ucapan mamanya kala itu.
Usut punya usut, ternyata uang tersebut berasal dari cincin emas milik mamanya yang digadaikan pada tetangga.

Berbekal uang itu dan ditambahkan dengan uang dari hasil mengantar hasil kebun, Asri memantapkan niat mendaftarkan diri ke IWIP.

Berangkatlah ia menggunakan sepeda motornya. Namun malang tak bisa ditebak. Sehabis menerobos banjir di sebuah kampung, ban motornya pecah. Sempat terbersit di hatinya untuk kembali ke kampung, sebab bengkel masih begitu jauh. Tapi niatnya tak bisa lagi ditawar-tawar.

“Saya kasih kuat hati saja, jalan terus,” katanya mengingat tangis mamanya tatkala ia pamit.
Asri menemukan sebuah bengkel di Desa Matuting, sekira satu jam dari posisi ketika bannya bocor. Uang yang tak seberapa itu ia keluarkan sebagian untuk membeli ban dalam. Kesialan belum juga angkat kaki darinya; pengeluarannya bertambah karena ban bagian luar juga mau tak mau harus diganti.

Asri ingat betul sisa uang di kantongnya ketika sampai di Lelilef hanya Rp 210 ribu. “Saya tiba di Lelilef siang. Uang sisa segitu jadi saya memutuskan tidak makan sampai besoknya,” kisahnya.

Persoalan tak berhenti di situ. Asri mesti memikirkan di mana harus tinggal. Alhasil ia menjadikan Masjid Raya Lelilef sebagai tempat untuk sekadar tidur.

Asri sadar bahwa segala kesulitan itu bukan jaminan ia bakal diterima menjadi karyawan IWIP. “Tapi saya yakin saja. Saya juga tidak percaya dengan istilah orang dalam. Keesokan harinya, dengan keyakinan yang masih sama, ia memasukan berkasnya.
Janji pihak Humas Resources Development (HRD) untuk meneleponnya ia pegang rapat-rapat. Ponselnya tak pernah jauh darinya. Bahkan ia meminta kepada orang tuanya agar hanya meneleponnya saat malam saja.
“Takutnya nomor saya sibuk ketika HRD telepon,” katanya.

Dengan berbagai pertimbangan, terutama soal biaya, Asri memilih kembali ke kampung. Sepanjang perjalanan pikirannya terbagi pada ponselnya. Namun keberuntungan mulai berpihak padanya; ketika sedang berhenti untuk mencuci motornya di sebuah sungai, tiba-tiba gawainya berdering. Ternyata itu telepon dari HRD. Asri diterima mengikuti pelatihan welder.
“Saya tidak tahu apa itu welder, tapi setelah tanya-tanya ternyata itu tukang las,"tukasnya.

Ia pun mengikuti program training yang diselenggarakan oleh PT IWIP. Dari puluhan peserta pelatihan, Asri menjadi satu dari dua orang yang mengikuti ujian lebih dahulu. Berkat kerja kerasnya, pelatihan yang semestinya berlangsung selama dua bulan, ia ikuti sebulan saja.

Kebetulan adalah hadiah bagi orang-orang yang berani menerima kemungkinan. Asri tahu betul hal itu, sebab mimpinya untuk membuka bengkel pelan-pelan menemukan jalannya. Diterima untuk mengikuti pelatihan pengelasan adalah gerbang memasuki jalan itu.

“Alhamdulillah, saya senang sekali waktu tahu akan dilatih las. Karena dari dulu saya ingin buka bengkel, dengan adanya pelatihan ini saya jadinya punya skill” katanya. “Saya sebelumnya sudah nyicil beli perlengkapan seperti kunci-kunci,"sambungnya.

Kini, setelah empat bulan menjadi karyawan PT IWIP. Satu-persatu rencananya mulai terwujud. Gaji pertamanya ia berikan kepada mamanya. Cicin yang digadaikan itu telah ditebus lunas.
Tak hanya itu, Asri juga membelikan berbagai perlengkapan rumah-tangga di rumahnya. Sebuah ponsel juga ia hadiahkan kepada ibundanya. Ia bercerita bahwa ibunya kaget tatkala menerima semua pemberiannya.
“Tapi pemberian itu tak ada apa-apanya dibanding apa yang mama sudah berikan pada saya,” katanya.

Sementara itu menanggapi kisah tentang Asri, Vice GM PT IWIP, Rosalina Sangaji mengatakan, manajemen menghargai setiap kerja keras, dan attitude yang profesional dalam melakukan pekerjaan apapun jabatannya.

“IWIP mengedepankan profesionalisme baik dalam proses perekrutan, tidak dipungut biaya apapun, demikian pula dalam perjalanan karir, kami menghargai kemauan untuk maju, etos kerja dan positive attitude,” katanya. (**)

Komentar

Loading...