LSPD Kaji Problem Dasar Sofifi sebagai Ibu Kota ‘Imajiner’ Maluku Utara

Suasana FGD yang berlangsung di Galamala Ballrom, Sahid Bela Hotel, Ternate, Selasa (28/11/2023).

TERNATE-pm.com, Lingkar Studi Pemerintah Daerah (LSPD) menggelar Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Problematika 24 Tahun Keberadaan ‘Sofifi’ sebagai Ibu Kota ‘Imajiner’ Provinsi Maluku Utara”.

Diskusi yang menhadirkan Sultan Tidore, Hi Husein Alting Sjah, akademsi dan unsur pemerintah provinsi itu berlangsung di Galamala Ballrom, Sahid Bela Hotel, Ternate, Selasa (28/11/2023).

Fasilitator FGD, Abdul Kader BubuI menyampaikan, diskusi itu dilakukan untuk menyerap perspektif dan mengurai masalah Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.  Di mana sudah 24 tahun, namun tidak ada perkembangan dari sisi pemerintahan.

“Mendiskusikan aspek-aspek yang menjadi dasar atau kendala kelancaran pembangunan Sofifi sebagai ibu kota provinsi,” ujarnya.

Dade, sapaan karib Abdul Kader Bubu menuturkan,  ditinjau dari regulasi, Sofifi sebagai ibu kota telah diatur dalam Undang-undang nomor 46 tahun 1999 pemekaran Provinsi Maluku Utara. Namun, pada Pasal 9 menyebutkan Sofifi berada di wilayah Oba dan Kabupaten Halmahera Tengah.

Sementara, regulasi lain, yakni dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2003, Sofifi bagian dari Kota Tidore Kepulauan sebagai daerah induk.

“Pertentangan ini inilah menjadi aspek penting penghambat kemajuan provinsi sebagai ibu kota dalam percepatan pembangunan. Sehingga apapun dijanjikan pemerintah pusat misalnya percepatan pembangunan Sofifi terhalangi payung hukum yang belum jelas,” ungkap Dade.

Lanjutnya, forum itu juga mencoba memecahkan akar persoalan payung hukum Sofifi sebagai satu kota mandiri, kemudian menjadi bagian dari rekomendasi kepada Pemprov Malut dan pemerintah pusat.

“Ini menjadi solusi selama 24 tahun Sofifi sebagai ibukota, dalam tanda petik ibukota imajiner. Karena, sampai saat ini Sofifi adalah sebuah wilayah yang berada dalam status kelurahan dan belum ada peningkatan status,” bebernya.

Lebih lanjut Dade memaparkan, perlu diperhatikan apabila status Sofifi ditingkatkan adalah kompensasi yang layak diberikan kepada Pemkot Tidore.

“Jangan sampai Sofifi berpisah dari kota induknya, Tidore mejadi mati. Ini yang kita tidak inginkan bersama. Semestinya dilakukan sekarang adalah memberikan kompensasi yang layak kepada Kota Tidore setelah Sofifi menjadi kota mandiri. Tidore tumbuh bersama-sama dan tidak mejadi kota mati,”  paparnya.

Sambung dosen hukum Unkhair Ternate menambahkan, diskusi itu melahirkan banyak alternatif. Misalnya, menyelesaikan payung hukum melalui judicial review, legislatif review. Atau, dengan jalan mengajukan DOB Sofifi.

“Ini harus diklirkan dulu, Tidore sebagai kota induk Sofifi dan di dalamnya terdapat pemerintahan yang lain, yaitu Kesultanan Tidore. Artinya, pemerintah provinsi, Pemkot Tikep dan pihak kesultanan perlu duduk bersama untuk membicarakan dengan baik agar kompensasi yang layak diberikan. Kalaupun pemerintah provinsi menginginkan DOB,” ujarnya.

Sementara, Dr Aziz Hasym mengatakan, FGD tersebut berangkat dari kegelisan mengenai progres akselerasi pembangnaun di Sofifi sebagai ibu kota provinsi.

Selanjutnya pandangan para peserta FGD dijadikan tambahan informasi untuk mengisi penyempurnaan naskah kajian status Sofifi.

Azis memaparkan, perspektif ekonomi menjadi penting bagi Sofifi, karena percepatan pembangunan yang dilakukan Pemkot Tidore, provinsi dan pemerintah pusat akan berimplikasi pada peningkatan ekonomi masyarakat.

“Baik untuk Kota Tidore dan masyarakat yang mendiami Sofifi dan sekitarnya,” ungkapnya.

Lanjutnya, menurut pengamatan LSPD, penting bagi pihak-pihak terkait bersinergi memikirkan status Sofifi. Tentu dari berbagai problem terutama pada aspek hukum Sofifi sebagai ibu kota, diperlukan langkah cepat dan tegas perkembangan pembangunan.

Karena, kata dosen ekonomi Unkhair Ternate itu, berdasarkan pengamatan selama 24 tahun Sofifi sebagai ibu kota provinsi, progres pembangunanya sangat lambat, dibandingkan dengan daerah lain.

“Kenapa Sofifi pembangunannya bergerak agak lambat, padahal ada deerah lain yang sama-sama dimekarkan. Atau, belakangan dimekarkan, tapi pembangunanya lebih cepat,” ucapnya.

Azis menerangkan, ada beberapa permasalahan yang menyertai lambatnya pembangunan Sofifi. Misalnya, kewenangan pengelolaan dan kebijakan pembangunan Sofifi yang masih berada di bawah kendali Kota Tidore Kepulauan.

Hal tersebut berkaitan dengan RTRW. Provinsi bisa melakukan pembangunan, namun harus berkoordinasi dengan Pemkot Tidore untuk sinergi dalam rangka pemanfaatan ruang yang sudah ditetapkan.

Selain itu, Azis menambahkan keterbatasan viskal Kota Tidore akan berpengaruh pada percepatan pembangunan Sofifi.

“Forum ini menghendaki pemprov bisa bersingergi dengan Kota Tidore untuk percepatan pembangunan Sofifi sebagai the city atau berwajah kota,” tukasnya.

Komentar

Loading...