Setapak Marwan Polisiri, Menjelajah Alam Hingga Menjejaki Literasi

Oleh :Dedy Zunaidi

Pagi itu, akhri November 2004,
penampilan Marwan Polisiri tidak seperti biasa. Mengenakan kemeja putih dan
celana hitam, ia terpincang – pincang menuju tempat test CPNS. Kakinya patah
akibat kecelakaan mobil truk saat bersama sepupunya mengambil material bangunan
sehari sebelumnya.

Marwan sendiri baru lulus
kuliah pada Maret di tahun itu. Lantaran belum ada pekerjaan tetap, dia bekerja
apa saja, termasuk menjadi buruh mobil truk. Saat pemerintah membuka lowongan
penerimaan aparatur sipil negara, Marwan mencoba mengadu nasib. “Saat itu saya
juga tidak punya rencana apa – apa setelah kuliah,” kata Marwan.

Marwan akhirnya lulus seleksi
dan resmi berdinas pada 1 Januari 2005. Ia ditempatkan di Dinas Kesehatan kota
Tidore Kepulauan dengan golongan IIIA. Mulailah ia meniti karier di birokrasi
pemerintahan.

Menjadi aparatur sipil negara
tidak membuat jiwa aktifis Marwan hilang. Ia lantas bergabung dengan organisasi
kesehatan. Disana prilaku Marwan berubah drastis. Salah satunya kebiasaan
merokok.

Momen melepas kecanduan rokok
itu ketika Marwan menjadi pembicara sosialisasi bahaya zat adiktif di SMA 1
Tidore. Saat itu, Marwan diprotes oleh salah satu siswa yang tahu kalau si
pembicara juga seorang perokok berat.

Meninggalkan kebiasaan merokok
tentunya begitu berat bagi Marwan meskipun dia tahu bahaya rokok. Kata Marwan,
prilaku tidak hanya dirubah dengan pengetahuan semata. Harus ada kemauan.
Namun, tidak cukup pula dengan kemauan saja, harus ada kemampuan. “Tepat
tanggal 15 Juni 2005, saya berhenti merokok,” ucapnya mengenang.

Marwan sebenarnya memiliki
prilaku hidup sehat sejak sekolah di SPK (sederajat SMA). Sekolah yang berbasis
kesehatan itu sudah menempa Marwan untuk disiplin dan tentunya hidup sehat.
Namun, hanya disiplin saja yang dipegang teguh hingga dia kuliah.

Ketika lulus dari SPK tahun
1999, Marwan berangkat kuliah di Makassar. Ia tak punya rencana kuliah di mana
dan ambil jurusan apa. Memilih Makassar sebagai tambatan menimba ilmu pun juga
karena banyak teman – temannya yang kesana. Maka datanglah Marwan di negeri
Angin Mamiri itu.

Setelah dua minggu hirup udara
Makassar, kerusuhan SARA di Maluku Utara pecah. Pasokan dana dari kampung
tertahan. Seluruh akses tranfer uang terputus. Sementara Marwan butuh uang
untuk mendaftar kuliah.

Marwan yang nimprung tinggal
di rumah temannya tidak tahu mau kuliah di mana. Ia lalu ikut temannya
mendaftar di STIK Tamalate mengambil FKM. Lantaran tak punya uang, ia pun harus
meminjam uang dari temannya itu. “Saya terpaksa pinjam uang Rp 67 ribu untuk
mendaftar,” katanya.

Kondisi krisis keuangan itu,
membuat Marwan terbiasa hidup surfifal. Maka di kampus ia memilih masuk dan
eksis di Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) setelah sebelumnya di traning di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sayangnya, Marwan merasa suntuk dengan budaya
diskusi dan pergerakan. Apalagi dengan dunia buku. Maka jadilah Marwan anak
rimba yang akrab dengan hutan.

Melintasi lembah, tebing dan
mengarungi sungai serta menaklukan seluruh puncak gunung di rimba raya Sulawesi
Selatan menjadi rutinitasnya. Hingga suatu waktu, ia terpilih menjadi ketua
Mapala di kampus STIK Tamalate Makassar, yang stereotipnya spesialis
memproduksi mahasiswa ‘abadi’ itu.

Solidaritas Mapala membuat
marwan makin gandrung dengan organisasi yang didirikan oleh aktifis ‘65’ Soe
Hok Gie itu. Ia melebur dengan gaya hidup di dalamnya. Salah satunya adalah
minuman keras. Terutama ketika sedang mendaki gunung. Penampilannya pun berubah.
Marwan yang semula adalah anak kampung yang polos, mulai  berambut gondrong, celana bolong – bolong
dipadu dengan kaos hitam kumal. Dia menemukan dunianya sendiri, jauh dari
bayangan sebelum berada di tanah rantau.

Namun, anggapan mahasiswa
‘abadi’ rupanya tidak melekat pada diri Marwan. Ia lolos dari plesetan akronim
Mapala (Mahasiswa Paling lama). Marwan diperkenankan ujian akhir dengan catatan
harus memotong rambut yang tak pernah dipotong setelah ospek. Anak ketiga dari
empat bersaudara ini meraih gelar sarjana S1 dalam waktu studi 4,5 tahun. Saat
itu, banyak temannya di pecinta alam belum selesai kuliah. Ia pulang kampung
pada Maret 2004.

Di Maluku Utara, Marwan
mendirikan KPA (Korps Pecinta Alam). Bersama rekan – rekan KPA yang diberi nama
Lintas Halmahera itu, mereka menanam ratusan pohon mangrove di hampir sepanjang
pantai Ternate. Ia berhasil meyakinkan Samsir Andili, walikota Ternate kala itu
bahwa menanam mangrove satu – satunya cara mencegah Ternate dari ancaman abrasi
pantai.

Setelah jadi PNS di tahun
2005, Marwan mulai aktif di organisasi yang bergerak di bidang kesehatan.
Hampir seluruh kebiasaan di Mapala dulu perlahan ditinggalkan. Ia aktif menjadi
penyuluh zat napza, pencegahan HIV AIDS dan juga aktif di LSM Wahana Sehat.

“LSM itu yang pertama di
Maluku Utara yang melakukan survei terkait PSK,” katanya. Di bidang kesehatan
itu, Marwan kemudian bergabung dengan lembaga survei kesehatan yang ditalangi
WHO. Lembaga PBB itu bekerja sama dengan Dinas kesehatan provinsi Maluku Utara
melakukan survei cepat terhadap prilaku hidup sehat masyarakat. “Saya di
percaya sebagai konsultan di Tidore, Sula dan Halbar,” katanya.

Bekerja sebagai konsultan
kesehatan, Marwan berhasil menabung uang di bank sebesar Rp 72 juta. Tabungan
itu mengantarnya terpilih menerima hadiah mobil dari bank. Akan tetapi, pajak
yang dianggap terlalu mahal membuat Marwan memilih menjual mobil itu.

Dari hasil menjual mobil,
Marwan lalu membangun rumah dan mendaftarkan kedua orang tuanya  berangkat menunaikan ibadah haji. Sisanya,
dia pakai untuk melanjutkan studi S2.

Tahun 2006, Marwan melanjutkan
studi pascasarjana di Universitas Gajah Mada Jogjakarta jurusan Kebijakan
Manajemen Pelayanan Publik. Kuliahnya di kota pendidikan itu ditempuh Marwan
dalam waktu singkat, yakni 1 tahun 2 bulan.

Setelah meraih titel magister,
Marwan mengarang 1 buku, ‘Jalan Ketiga Pemberdayaan Kesehatan’. Buku itu
saduran dari tesisnya yang berjudul ‘Implementasi Desa Siaga’. Itulah buku
pertamanya. Buku inilah cikal bakal lahirnya buku – bukunya yang lain.

Fokus Marwan ke dunia tulis
menulis dimulai dari dunia jurnalis. Berbeda ketika dia masih kuliah dan
berkecimpun di pecinta alam, spontan ia mulai keranjingan membaca dan menulis.

Pernah di tahun 2005, Marwan
berinisiatif menerbitkan sendiri majalah yang diberi nama Warta Sehat. Majalah
ini berisi informasi dan opini masalah kesehatan. Meskipun struktur
keredaksiannya tidak lengkap, majalah ini bertahan kurang lebih setahun.

“Lama – lama beberapa
pemerhati kesehatan mulai menulis di Warta Sehat,” cerita Marwan. Akan tetapi,
majalah itu harus berhenti terbit karena terbentur dengan kesibukan Marwan
sebagai PNS.

Setelah Warta Sehat tutup
usia, tepatnya tahun 2009, lahirlah buletin Spiik. Buletin ini fokus menyoroti
persoalan politik dan sosial di Maluku Utara. Marwan mendirikan buletin Spiik
bersama beberapa rekan aktifis di komunitas Ketapang. Mereka berkantor di
sebuah gubuk papan –yang diteduhi pohon Ketapang, di tepian pantai Tugulufa
sebelum kawasan itu di tata. Komunitas Ketapang merupakan rumah diskusi bagi
para aktifis jelang Pilkada langsung kedua di Tidore.

Sebelum setahun, nasib Spiik
menyusul Warta Sehat. Markas komunitas Ketapang porak – poranda kena gusur
buldoser lantaran lokasi mereka masuk dalam kawasan reklamasi pantai Tugulufa.
Para anggota komunitas Ketapang berhamburan cari tempat nongkrong, kemudian
bersatu lagi di depan pasar Sarimalaha. Lalu bergeser lagi di depan gedung KNPI
di jalan Ahmad Malawat. Komunitas Djoung pun lahir.

Marwan menjadi salah satu
pelopor lahirnya wadah perbedaan yang kini menjadi warung kopi itu. Dalam
perjalannya, Djoung cafe bukan hanya ruang diskusi para aktifis di Tidore,
melainkan tempat mampir semua kalangan. Mulai dari tukang bentor hingga para
pejabat.

Di suatu waktu di tahun 2017,
wakil ketua DPR RI 2014 – 2019, Fahri Hamza mampir dan berdiskusi dengan
aktifis di Djoung.

Di tengah – tengah ramainya
diskusi politik di Djoung cafe, Marwan bersama dua wartawan, Rizkiayansyah
Yakub dan Abdulrahim Saraha mendirikan tabloid Metafora. Media itu lahir saat
momentum Pilkada kota Tidore Kepulauan 2010. Tabloid yang terbit setiap dua
pekan itu redup setahun kemudian setelah cetakan edisi 16.

Semangat Marwan di dunia
literasi terus menggebu seiring dengan lahirnya Surat Kabar Harian Teropong
Timur di Tahun 2015. Media ini merupakan harian cetak pertama yang eksis dan
terbit di Tidore. Marwan ikut mendirikan Teropong Timur bersama Zunaidi
Sudirman, Muhammad Julham dan Rizkiansyah Yakub Djumadil.

Selain di jurnalis, Marwan
sempat ikut bertarung merebut ketua KNPI kota Tidore tahun 2010. Sayangnya, ia
kalah dari Muhlis Tawari dengan selisih 1 suara. Namun, kondisi kepengurusan
KNPI di pusat yang pecah, Marwan mendapat mandat menjadi ketua KNPI kota Tidore
versi kongres Bali 2011. Muhlis Tawari tetap menjadi ketua, dengan versi
kongres Ancol.

Ketagihan Menulis

Selain berkarier di birokrasi,
Marwan juga menyempat diri untuk mengajar di kampus Akademi Kebidanan Gatra
Buana dan Universitas Muhammdiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Bahkan dia juga
pernah mengajar di Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) di Sofifi.

Awal 2012, Marwan yang tak
punya rencana melanjutkan studi tiba – tiba mendapat tawaran beasiswa S3 dari
pemerintah kota Tidore Kepulauan. Saat itu Marwan masih menduduki jabatan Plt
salah satu bidang di Dinas Kesehatan.

“Beasiswa itu diterima dengan
catatan harus melepaskan jabatan,” katanya. Marwan menerimanya dan masuk kuliah
di Universitas Persada Jakarta tahun 2012. Dalam waktu 3,5 tahun, marwan meraih
gelar doktor dengan judul disertasi ‘Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi dan
Komptensi Terhadap Kepuasan Kerja yang Berimplikasi pada Kinerja Bidan’.

Sekembali dari studi, Marwan
lalu menerbitkan buku keduanya dengan judul, ‘Panorama Wisata Tidore
Kepulauan’. Buku ini berisi kumpulan foto destinasi potensi wisata kota Tidore
Kepulauan.

Pada awal tahun 2016, Marwan
dipercaya mengemban tugas sebagai Sekretaris Badan Perencanaan Penelitian dan
Pengembangan (Bappelitbang) kota Tidore Kepulauan, lalu kemudian diamanahkan
memimpin instansi itu.

Dua tahun kemudian, Marwan
mengenerbitkan 3 buku sekaligus. Buku – buku itu adalah ‘Kepemimpinan,
Manajemen dan Kinerja Bidan. Kedua, ‘Pemuda Dalam Kemandirian’ dan ketiga
adalah ‘Sang Nahkoda’. Buku Sang Nahkoda ini menceritakan tentang karier
walikota Tidore Kepulauan, Capt. Ali Ibrahim.

Belum cukup sampai disitu,
tahun ini Marwan melahirkan empat karya buku. Karya itu diantaranya, Kompetensi
Bidang. Anak Pinggiran. Kesehatan Daerah Kepulauan. Buku keempatnya di tahun
2019 adalah Sang Pendakwah.

Namun, kepuasan menulisnya
belumlah usai. Kini Marwan telah menelurkan lagi dua buku yang dia tulis
bersama seorang rekan akademisi.

“Saya sudah tulis separuh,
kini dalam tahapan finishing oleh teman saya,” kata Marwan. Ia yakin, bahwa
menulis akan merekam segala gagasannya. Bukan soal kualitas, akan tetapi
menurutnya, sebuah karya buku, akan menemukan pembacanya sendiri.

Saat ini, selain fokus bekerja
sebagai leader di Bappelitbang kota Tidore Kepulauan serta mengajar di dua
kampus, Marwan sibuk merangkai buku di perpustakaan pribadinya di Cobodoe.
Suami Hindun Hasan ini juga sering bertandang ke ‘kampung-kampung’ membagikan
buku dan berdiskusi.

Saban sore, Marwan pulang ke
rumah disambut Aurora, bukan pelangi yang membentang di langit Eropa, melainkan
nama putri semata wayangnya. Dibalik deretan buku – buku, sambil menikmati
seduhan kopi istri tercinta, ia menemukan dirinya tercebur dalam pengharapan :
Semoga jejak literasinya bisa bermanfaat untuk banyak orang. (*)

Komentar

Loading...