Sebuah Cerpen karya Zunajar Sibua

Pada suatu malam di sebuah desa terpencil, langit begitu gelap. Tak ada bulan dan tidak juga bintang. Sepoi angin mengencang tertiup dingin menyapu wajah-wajah yang semringah dan gelisa. Langit bergemuruh bersahut-sahutan dengan petir yang membelah tujuh petala langit seolah memperingatkan pada bumi bahwa sebentar lagi ia kan hidup.

Hujan jatuh. Perlahan dan cepat menderas. Pecah di aspal, atap rumah dan di pundak orang-orang yang berlarian di jalanan. Dengan sangat cepat bumi menjadi teduh dari bising kenalpot dan suara tangis kerongkongan yang haus. Bumi kembali dihidupkan oleh titik hujan yang bening nan sejuk.

Pada malam itu aku dan beberapa teman sebaya duduk di sebuah teras rumah, melepaskan rindu yang jarang terbalas. Semacam reunian. Nostalgia, kadang liar sampai ke celoteh mengenai beberapa persoalan tentang manusia, tentang bumi dan dosa-dosa di atasnya. Canda-tawa bahkan amarah sering terhiasi dalam kepulan asap kretek yang hampir membungkusi kami semua. Tiba-tiba kegelapan datang menyelimuti manusia-manusia yang kadang bahagia dan kadang gelisa tersebut. Listrik padam, gelap tak terelakkan. Di malam yang semakin larut dan menggigil itu, kami semua bersepakat untuk balik pulang ke rumah masing-masing. Walau hujan yang begitu deras, namun itu tak mengurungkan tekad kita bersama menerobosi derasnya butir-butir kehidupan yang jatuh dari langit.

Kami semua bersiap, tanpa aba-aba namun kompak berlari menabrak hujan dan kegelapan. Dengan penuh hati-hati, kami semua telah melangkah dan berpisah pada beberapa setapak hingga pundak masing-masing dari kami tak nampak lagi di pemandangan.

Aku berlari menabrak kegelapan dengan penuh konsentrasi menerka-nerka jalan yang tak rawan dilewati saat hujan. Sesekali aku mendapat kesempatan penerangan dari petir yang membelah langit. Namun hujan teralalu deras, jalan yang kulewati seluruhnya telah tergenang. Kakiku terus melangkah menginjak becek dan terpercik kemana-mana. Tssstt… tiba-tiba kaki dan tubuhku melayang ke udara dan sangat begitu cepat mendarat sehingga tak dapat kusiapkan kokutsu dachi untuk menyelamakan tubuhku. Bokong mendahului pendaratan, diikuti kedua tangan, beruntung tak terlalu keras benturannya. Aku selamat dalam pendaratan darurat malam itu.

Pada prinsipnya semua manusia bisa jatuh, dan itu sudah menjadi kodrat. Tapi dari kejatuhan itu ia sendiri yang akan memilih, berdiri atau tetap dalam posisi tengkurap. Sebab jatuh adalah tanda orang pernah melangkah. Sedangkan berdiri adalah tanda kekuatan yang tak pantang menyerah. Yah, kurang lebih begitu aku mengingat-ingat sepotong filosofi negeri tirai bambu.

Dengan segenap kekuatan dan jiwaraga, tarikan nafas yang panjang dan terengah-engah, tubuhku berdiri bangkit dari tersetunggang tersebut. Berkepak-kepak kedua tanganku tuk membersihkan tubuh yang kotor oleh debu yang basah membentuk lumpur. Aku melangkah dengan cepat melupakan yang baru saja terjadi pada tubuh dan badanku, meninggalkan sedepa bumi yang mengajarkan bangkit seusai jatuh, hingga akhirnya tubuhku terlempar ke dalam rumah dan selamat dari hantaman angin yang hendak menjadi badai tersebut. Namun, aku telah keluyuran akibat titik-titik hujan yang pecah di pundak. 

Perlahan aku berjalan di dalam rumah yang lantainya basah karena dilemparkannya titik hujan oleh angin yang bersepoi kencang. Tiupan angin semakin mengganas, menghantam pepohonan yang rantingnya menggelantungkan dedaun yang rindu akan sepoinya. Rindu terbalas dengan sangat ganas mematahkan reranting pohon, hingga tumbang bersama akar. Dengan penuh kehati-hatian kakiku tertati melangkah seraya tangan meraba-raba. Dalam kegelapan yang pekat itu, kurasai kakiku mulai tenggelam dalam sebuah genangan air. Masih sejurus, kumerabah-rabah, kudapati tiga orang bocah sedang duduk di atas kursi yang di bawahnya mengalir air kecokelatan, mereka saling tatap dan bercakap-cakap dalam kebisuan. Saling tanya, “kapan hujan reda?” walau tak ada lisan berucap. 

Nampaknya hasrat mereka yang selalu ingin berbasah-basah, mandi dan berenang di permukaan air, hilang, karena kegelapan yang menggigil. Aku bergegas menyalakan pelita yang berulang kali mati tertiup angin kencang, dan karena basah. Berulangkali percikan korek api untuk menyalakannya. Lagi, nyala pelita telah menerangi kegelapan yang lembab. Gelisaku hilang, saat kutatap wajah ketiga bocah yang riang gembira di saat cahaya hadir dan tergambar di bola mata mereka. 

Sontak, mereka tak takut lagi pada hujan dan segalanya yang hadir bersama hujan. Termasuk rindu. Tapi kepada siapa mereka merindu? Mereka terlalu bocah untuk persoalan itu. Ahh, bukankah mereka juga manusia yang juga punya perasaan dan hati yang bisa menggebu kapan saja. Mungkin kepada fajar yang membawa mentari, yang meredakan badai dan menghangatkan bumi yang menggigil. Kalau memang ia, di situ juga rinduku mengepul. Tidak kepada sesuatu benda, juga dia, gadis cantik yang selalu menghantui pikiranku. Namun aku tak seperti mereka, aku takut, rindu itu tak terbalas. 

Aku berjalan dalam genangan air yang telah menenggelamkan mata kakiku, perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian agar tak kembali jatuh dan semakin basah. Tubuhku hadir di hadapan ketiga bocah yang duduk termenung menghayati aliran air yang menghanyutkan patahan-patahan kayu dan sampah plastik air kemasan. Beberapa mainan mereka pula telah hanyut dan tak lagi nampak. Aku menghela nafas panjang yang udaranya semakin tipis itu sembari memecah kebisuan diantara mereka.

“Dingin ya..” Aku memulai.

“Iya” sahut Jaelani dengan suara parau. Bocah berusia 9 tahun itu. Ia masih terjaga di malam yang begitu larut bersama dengan dua lainnya, Al dan Aris, namun kedua bocah itu tanpa kata-kata, suara mereka seolah telah terwakili oleh Jaelani. Al adalah bocah yang baru berusia lima tahun. Sedangkan Aris sedikit lebih tua dari Al. Perbedaan usia mereka hanya setahun. 

Ketiga bocah itu menatapku dengan tatapan yang dalam dan penuh harap, mungkin berharap agar aku menjadi dewa matahari sehingga malam yang panjang dan menggigil itu cepat usai dan kembali dihangatkan olehku. Namun sayang, aku juga hanya seonggok daging dan darah yang menumpukkan segudang harap sepadat kegelapan menanti malam menjadi kenangan. 

“Siapa yang membuat kita kehujanan di dalam rumah?” Tanya Al dengan suara mungil yang keluar dari balik nyala pelita.

“Tuhan!” spontan Aris menjawab.

Aku menatap satu persatu mata para bocah yang bening dan memancarkan sinar sembari memikirkan pertanyaan itu. Tiba-tiba waktu menjadi lamban berputar, tak terdengar lagi desahan sepoi angin yang saling bertabrakan, bumi menjadi sunyi dan bisu. Yang kurasai hanya detakkan jantungku yang semakin mengencang, hingga hampir-hampir membongkar dadaku yang bertameng rusuk, yang, sekuat baja. Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi beramarah. Wajahku me-merah panas, tubuhku menjadi berkeringat.

Al adalah bocah yang unik. Ia memang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memberi stimulus pada pikiran. Kadang ia bertanya, kenapa harus sembahyang, kenapa harus sekolah, kenapa begini kenapa begitu dan banyak pertanyaan lain yang hampir-hampir tak mampu kujawab. Dan bocah sebelia itu cukup luar biasa jika melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kali ini ia juga bertanya dengan pertanyaan yang harus kupikirkan cukup lama untuk mendapatkan jawaban, dan tentu cukup panjang. “Siapa yang membuat kita kehujanan di dalam rumah?” apa memang Tuhan yang membuat hujan di dalam rumah sebagaimana Aris menjawab? Namun yang pasti hujan diturunkan bukan hanya untuk menembusi bocornya atap-atap rumah. Tapi hujan juga diturunkan semata untuk menghidupkan dunia yang mati. Tumbuh-tumbuhan yang layu itu kembali hidup bersama hidupnya senyum para petani. Dan aku juga semestinya riang  gembira dengan hujan ini karena aku juga seorang petani. Lalu siapa dalang dari jatuhnya hujan di dalam rumah?

Suasana semakin mencekam. Dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum tak lagi kurasakan. Beberapa pelita yang telah kunyalakan tadi telah padam karena kehabisan minyak. Hanya tersisah dua pelita yang masih tetap menerangi kegelapan. Satu ditempatkan di dalam kamar, lainnya diantara ketiga bocah yang tangan mereka memeluk diri masing-masing. 

Di pojok sana, Ibu sedang sibuk memindahkan barang yang basah dan hanyut. Bapak mengecek-ngecek atap yang bocor. Kakak membujuk-bujuk bayinya yang rengek. Dan ketiga bocah itu tak lagi bicara dan berkata-kata, entah khawatir entah apa. Diam adalah cara mereka menyelamatkan diri dari basah, dingin dan mungkin takut pada malam yang kembali gelap. Dan apakah aku juga mesti diam dengan segala yang berjalan ini? Apa aku harus meneduhkan hujan agar tak ada lagi yang mesti basah akibat keluyuran di dalam rumah? Sungguh aku tak punya kuasa. 

Aku merenungi segala yang terjadi ini, kusadari ini bukan kali pertama; hujan, banjir, bocor dan semesta yang keluyuran. Kehidupan selalu berjalan seperti ini dikala hujan jatuh. Jatuh membasahi hutan yang gundul. Digunduli syahwat manusia yang selalu bersembunyi di belakang takhta. Segalanya diperkosa dengan birahi yang membabi-buta. Banjir datang menghantam, dari yang ganas ke, yang paling ganas. Aku dan para manusia desa yang miskin menjadi semakin papa. Desa, memang selalu menjadi objek keserakahan kota. Sampai detik ini dunia memang selalu berubah, dan segala sesuatu di atas dunia selalu mengalami perubahan, kecuali satu: Yang kaya tetap kaya, dan miskin tetap miskin. Kalaupun itu berubah, maka perubahan itu hanya akan menjadi “semakin”. Semakin kaya dan semakin miskin. Dan juga semakin deras hujan di dalam rumah. 

Setelah kurenungi dalam benak jawaban atas tanya yang begitu menggelegar itu. Kutatap kembali ketiga bocah yang mata mereka penuh tanya dan harap. Aku menghela napas panjang tuk meneduhkan amarahku yang hendak membludak. Lagi, kutatap khusyuk wajah mereka, sembari perlahan-lahan menghembuskan tarikan napas itu. Dan, kutawarkan pada mereka sepotong cerita untuk mengisi malam yang penuh mimpi buruk itu. Mereka tampak bahagia dan bergairah ingin mendengarkan sepotong cerita. Tampak di bola mata mereka, aku seolah dewa matahari yang membawa mentari tuk menerangi gelapnya bumi, atau setidaknya telah menjadi orang yang membangunkan mereka dari tidur panjang dengan mimpi yang teramat sangat menyeramkan.

    Di saat-saat tertentu aku sering mengisi waktu mereka dengan beberapa potong cerita yang aku karang begitu semrawut. Kini, kukira saat yang cukup pas pula untuk mengisi kejenuhan mereka. Kuperbaiki gaya dudukku di atas kursi yang kakiku juga berada di atasnya. Mulai ku bercerita, “Pada suatu malam di sebuah desa terpencil…” aku berhenti sejenak saat angin tertiup kencang hingga hampir memadamkan nyala pelita yang berada di antara aku dan para bocah. Kedua tanganku menggapai bak memeluk pelita tuk melindungi nyalanya dari hantaman badai. Telapak tanganku menjadi hangat dan cahaya pelita menjadi remang-remang. 

“Paman, apa nama kisah ini?” Tanya Aris padaku saat ingin kulanjutkan sepotong cerita itu.

 Sebagaimana biasa, disaat aku baru memulai, satu diantara mereka selalu bertanya apa nama kisah yang hendak kuceritakan. Syahdan, kutatap satu persatu mata mereka yang juga menatapku begitu khusyu’, semesta pula menjadi tawadlu menyaksikan, dengan desahan rintiknya mulai romantik pada atap, dan sepoi yang kembali bersemilir. Dengan sangat lirih terlantun di lisanku, “Hujan Dalam Rumah”. []

Morotai, 16 Juni 2020