Jika jarak adalah pilihan, Mengapa kita saling sapa ?
Melepas tawa dalam catatan media ?
Jika temu adalah takdir, Mengapa ada perpisahan ?
Apa Tuhan sepreman itu ?
Ataukah kita yang menggurui takdir ?
Kita pernah lihai menerjemahkan deretan rindu yang geram, akan temu memaksimalkan ingatan untuk tetap utuh.
Meski desah sepi mengguyur sekujur tubuh dalam luka, membekukan rasa untuk sekali merasa tentang adanya rindu.
Sementara waktu mengejar tanpa henti, Meragukan segala keyakinan yang tertanam rapi, kita benalu dalam rasa yang bersaksi.
Menolak segala doa-doa yang pernah kita rayu dalam sunyi, saksi kita pada rasa akan berakhir dalam belati rindu, membunuh segala kosakata dalam bait-bait puisi sendu.
Mencekam aksara yang alpa temu, di sebuah perjumpaan, kita bersama duduk merayu hari menjadi api-api sejarah, merenungkan kegelisahan sunyi dibalik rintik hujan yang kian sendu dipandang.
Merawat kisah dalam bait-bait bismillah, kita saling mengajarkan tentang cara mengenal kesederhanaan, segala kesibukan kita ciptakan untuk saling merelakan.
Memberi ruang untuk segenap perasaan yang akan tumbuh. Tapi bagaimanakah jika kita adalah sepasang cinta yang menolak pasrah pada takdir
Apakah kita akan sama-sama melacurkan perasaan untuk orang lain ?
Ataukah kita akan hidup bersama sepiring dan sebantal ?
Takdir memberikan kita peringatan untuk menjeda sebentar tentang kisah, Meluangkan segala temu kita untuk menjadi manusia seutuhnya, Bukan memisahkan kita pada perasaan cinta.
Hanya saja kita terlalu berlebihan menafsirkan takdir yang akan berakhir di pundak yang lain, Sampai sini aku semakin tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan rasa.
Mengapa Tuhan menciptakan rindu?
Apakah ini juga bagian dari rahasia Tuhan ?
Atau karena kita hanya beda kasta
Atau karena kita pernah saling melukai ?
Lalu kau bersaksi bahwa itu adalah takdir ?
Kalau kau sebut itu takdir berarti untuk apa kita percaya takdir kalau manusia sudah tahu lebih awal ?
Bukankah takdir adalah rahasia bagi Tuhan ?
Kita hanya tunggu dengan sabar, bersama keyakinan yang berapi. Bukankah Tuhan lebih menyukai kepada keyakinan yang tulus ?
Luka dan berduka dalam jarak adalah doa biar kita tetap utuh satu sama lain
Maka kita pun harus lebih lihai menerjemahkan jarak dalam bahasa kata yang bagai pisau memaksa endapan diri dalam jaring tubuh yang sederhana namun carut dalam jeritan kosakata.
lalu kisah akan berakhir pada entah, Tuhan barangkali menuliskan namamu untuk orang lain, Tapi Tuhan tidak sepreman itu untuk memisahkan dua perasaan yang saling cinta
Kisah temu pisah bukan hanya tentang takdir tetapi juga tentang ada perasaan-perasaan kecil yang meski dituruti walau akhirnya luka dan berduka sepanjang waktu kita jalani.
“Arie.R” Makassar, 13 Januari 2020
Tinggalkan Balasan