Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
Dunia anak (< 18 tahun) adalah dunia bermain, bergembira, bersosialisasi, dan berkumpul dengan teman sebaya. Bakat dan kreativitas seseorang mulai tumbuh dan berkembang, serta biasanya ditemukan ketika masih berumur anak.
Namun, saat ini sebagian besar anak di seluruh dunia, harus menghentikan kegiatan di luar rumah akibat penutupan wilayah (lockdown), pembatasan sosial (social distancing), atau menjaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penyebaran Covid (Coronavirus disease)-19, penyakit yang disebabkan oleh virus SARS CoV-2.
Anak tidak Mudah Terinfeksi?
Penyakit yang telah menginfeksi lebih dari 1,6 juta jiwa (data 10 April) di seluruh dunia ini, ternyata mayoritas menginfeksi orang dewasa, dan menyebabkan kematian yang tinggi pada lanjut usia. Jumlah anak yang terinfeksi sangat sedikit. Namun demikian, bahaya tetap mengancam anak-anak.
Di Brixton, Inggris, seorang anak usia 13 tahun meninggal karena Covid-19. Anak tersebut tidak memiliki penyakit bawaan. Sementara itu, di Amerika Serikat, bayi berusia enam minggu meninggal dan dinyatakan positif Covid-19. Di Perancis seorang anak perempuan berusia 16 tahun juga dilaporkan meninggal karena Covid-19. Di Indonesia juga sudah terlaporkan anak berusia 2 tahun dan 3 tahun yang terinfeksi, yang kemungkinan ditularkan oleh orang tuanya.
Sedikitnya jumlah anak yang terinfeksi tentu sangat menggembirakan. Tapi kita harus tetap waspada untuk mencegah menularnya Covid-19 pada anak-anak, tentunya lebih mudah ditularkan oleh orang-orang terdekatnya.
Pertanyaan sering muncul, mengapa jumlah anak yang terinfeksi Covid-19 sangat sedikit. Jawaban yang masuk akal adalah, sejak sekolah diliburkan dan seruan menjaga jarak, sebagian besar anak-anak langsung berada di dalam rumah, sehingga potensi terpapar hanya berasal dari orang-orang di dalam rumah. Alasan lainnya adalah, anak-anak tidak stres dengan Covid-19, karena memang tidak memikirkan penyakit tersebut. Stres menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh yang memudahkan orang terinfeksi.
Anak Tengkes (Stunting)
Namun bahaya lain tetap mengancam anak-anak. Salah satunya adalah tengkes atau kerdil (stunting). Anak-anak balita (bawah lima tahun) yang orang tuanya kehilangan pendapatan atau pekerjaan karena Covid-19, potensial menjadi anak tengkes.
Demikian juga janin yang saat ini berada di dalam kandungan ibunya. Ibu-ibu hamil yang kekurangan gizi dan stres akan mengancam bayinya, termasuk potensial melahirkan bayi dengan berat badan rendah dan rentan menjadi anak tengkes.
Padahal sebelumnya, prevalensi tengkes pada anak balita Indonesia sudah jauh di atas prevalensi rata-rata global (22,2%). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (2018) prevalensi rata-rata tengkes di Indonesia adalah 30,8%. Sementara Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) menetapkan 20% sebagai ambang batas (cut-off point) stunting. Artinya, apabila prevalensi stunting pada balita di suatu negara 20% atau di bawahnya, maka stunting bukan lagi masalah gizi dan negara itu dinyatakan bebas masalah stunting (Siagian, 2020). Indonesia menduduki urutan kelima dunia dengan jumlah anak tengkes terbanyak. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari India, China, Nigeria, dan Pakistan.
Anak Obesitas
Jika anak tengkes muncul dari keluarga yang kehilangan pendapatan atau pekerjaan, atau berasal dari masyarakat kelas bawah, maka Covid-19 juga memunculkan anak-anak yang kelebihan berat badan atau obesitas. Penyebab obesitas adalah masuknya jumlah kalori di dalam tubuh tidak sebanding dengan jumlah yang dibakar, alias banyak makan dan sedikit bergerak.
Obesitas pada anak juga muncul karena makanan tidak bergizi, gizi tidak seimbang, dan makanan instan. Anak-anak merasa bangga jika memakan makanan dari rumah makan cepat saji, yang hanya berupa nasi, ayam goreng, dan minuman berkarbonasi. Padahal makanan tersebut hanya bikin kenyang, bikin gemuk, dan bikin kantuk.
Anak obesitas muncul di semua kelas sosial, tetapi sebagian besar berasal dari anak-anak kelas menengah atas. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2018) anak obesitas di Indonesia mencapai 21,8%, ini tertinggi di Asia Tenggara. Anak yang mengalami obesitas berisiko menjadi obesitas saat dewasa dan beresiko mengindap diabetes, tekanan darah tinggi, gagal ginjal, dan sebagainya.
Covid-19 akan meningkatkan jumlah anak yang mengalami obesitas karena anak-anak terkurung di dalam rumah, banyak makan, banyak tidur, sedikit bergerak. Artinya, pasca Covid-19, seluruh dunia akan disibukkan dengan meningkatnya obesitas.
Kekerasan terhadap Anak
Saat ini semua pekerjaan dan aktivitas menjadi domestik atau pekerjaan di rumah, itu akan meningkatkan kekerasan domestik (domestic violence) atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan dan anak yang merupakan korban terbesar dalam kekerasan domestik, diperkirakan mengalami peningkatan.
Pembatasan sosial yang memaksa sebagian besar orang beraktivitas di dalam rumah, di satu sisi membangun keharmonias keluarga, tapi sisi lain justru meningkatkan jumlah kekerasan terhadap anak. Orang-orang yang diharuskan menjaga jarak bukan karena kesadaran sendiri, melainkan dipaksa untuk berada di dalam rumah. Belum lagi orang-orang yang keilangan pendapatan dan pekerjaan. Orang-orang ini potensial menjadi pelaku kekerasan terhadap anak dan orang-orang di dalam rumah.
Karena Covid-19, orang tua dipaksa menjadi guru, dan itu sebagian besar dilakoni oleh ibu dan perempuan. Padahal ketika semua orang berada di dalam rumah, beban ibu sudah bertambah karena semakin banyak orang makan dan tidur tanpa aktivitas. Ibu pun rentan menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anaknya.
Anak yang menjadi korban kekerasan sebagai dampak dari Covid-19 terjadi pada semua kelas sosial, tapi sebagian besar akan terjadi pada masyarakat kelas bawah. Ketika masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan, maka anak-anaknya rentan menderita gizi buruk atau kekurangan gizi, ditambah lagi menjadi korban kekerasan, yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.
Karena itu, pemerintah harus bekerja cepat mendistribusikan kebutuhan pokok untuk keluarga yang terdampak Covid-19. Masyarakat juga harus berinisiatif untuk meringankan beban keluarga yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan karena Covid-19. Daripada hanya bisa nyiyir dan menyalahkan, saatnya kita berkontribusi. Lebih parah lagi di saat nyinyir dan menyalahkan, tiba-tiba terinfeksi Covid-19 dan mati. Berarti mati dalam kondisi nyinyir dan menyalahkan.[]
Tinggalkan Balasan