Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
agi kita yang beragama dan berakal, sekarang saatnya merenungkan lagi dan memikirkan kembali kehidupan kita selama ini dalam beragama, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penyakit Covid (Coronavirus disease)-19 yang disebabkan oleh virus corona, membuat kita harus menjaga jarak, tidak bersalaman, tidak beribadah di rumah ibadah, tidak berkumpul, bekerja di rumah, belajar/sekolah di rumah, dan seterusnya, patut kita renungkan.
Dalam hidup dan kehidupan kita, pasti ada yang keliru, bahkan mungkin salah, tetapi kita tidak selalu bisa menerima koreksi dan teguran. Mungkin karena sekolah, pangkat, jabatan, darah (biru), harta, dan lainnya yang tinggi, sehingga kita merasa tahu, mengerti, dan paham, sehingga merasa merendahkan diri ketika menerima koreksi atau teguran. Tapi mari kita renungkan peristiwa yang terjadi sekarang ini.
Masjid, geraja, sinagog, pura, kelenteng, dan sebagainya adalah rumah Allah, rumah Tuhan. Sekarang kita diminta untuk tidak datang ke sana. Padahal sejak kecil kita diajarkan, di rumah Tuhan, kita bersujud, kita beribadah, kita meminta, karena hanya Tuhan yang pantas menerima dan tempat memohon. Di rumahnya, kita mengatakan kepada-Nya, kami ini sangat kecil dan lemah, jadi hanya berlindung dari-Mu.
Tetapi, sekarang kita tidak boleh mendatangi rumah-Nya. Tidak ada yang salah yang kita lakukan selama ini, sehingga sekarang kita dilarang mendatangi rumahnya-Nya. Karena yang kita lakukan ketika berada di rumah-Nya tentu beribadah. Tapi coba renungkan kejadian-kejadian ini. Tidak jarang rumah ibadah menjadi tempat kita bergosip dan menceritakan aib orang lain. Kadang rumah ibadah menjadi tempat umat terpecah karena perbedaan dukungan dan pilihan pada pilpres, pilkada, pileg, dan pilkades.
Kita berlomba-lomba membangun rumah ibadah, ini tentu sangat baik. Tapi kenapa rumah ibadah yang begitu banyak tidak membuat kita menjadi baik. Di atas mimbar, di dalam rumah Tuhan, pengkhotbah menyalahkan, mencela, bahkan mengkafirkan sesamanya, karena hanya beda pilihan dalam pilpres, pilkada, pileg, dan pilkades.
Kita membangun rumah ibadah, kita juga yang merusaknya, hanya beda pendapat atau beda agama. Kita melarang penganut agama lain beribadah karena kita merasa kuat dan mayoritas. Kita tidak membolehkan umat lain membangun rumah ibadah dengan alasan tidak ber-IMB.
Bagi umat Islam, tidak ada tanah di bumi yang paling suci kecuali Makkah dan Madinah. Di tanah itu ada Masjidil Haram dan Nabawi, tapi untuk sementara kita tidak boleh beribadah di dua tempat itu. Tentu tidak ada yang salah. Tapi coba renungkan. Kita mendapatkan rezeki yang berlebih sehingga balok-balik di dua tempat itu karena ibadah. Atau hanya sekadar memamerkan bahwa kita mampu, kita bisa. Kita harus merenungkan, karena meningkatnya jamaah haji dan umrah berbanding terbalik dengan kondisi nyata seluruh negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Menurut Badan Pangan dan Pertanian/Food and Agricultural Organization (FAO), ada sekitar 800 juta orang kelaparan di muka bumi, dan mungkin setengahnya kaum muslim. Lantas di mana saudara-saudaranya yang berkemampuan yang selalu bolak-balik ke tanah suci itu.
Tiba-tiba kita juga dilarang ke mall, cafe, tempat wisata, dan seterusnya. Tidak ada yang salah dari perilaku kita dalam membelanjakan rezeki yang telah diberikan Tuhan. Tapi coba renungkan. Di tempat-tempat itu kita bisa berbelanja tanpa batas, sementara ada tetangga kita merintih kekurangan atau mungkin kelaparan. Kita memesan makanan berlebihan, tidak habis dimakan dan menjadi sampah, padahal ada 800 juta orang kelaparan di dunia. Data FAO menyebutkan, Arab Saudi dan Indonesia adalah dua negara di urutan pertama dan kedua di dunia dalam hal memroduksi makanan terbuang sia-sia alias mubazzir. Mubazzir itu temannya setan, jadi Arab Saudi dan Indonesia adalah teman setan.
Di Mall dan di berbagai tempat mewah milik orang-orang beruang itu, kita tidak bisa berutang. Tapi begitu balik ke rumah kita berutang di warung tetangga, padahal di warung kecil, tetangga kita menggantungkan asap dapurnya. Betapa tidak berhati dan berakalnya kita.
Apa yang kita renungkan dari belajar di rumah dan kuliah online. Tidak ada yang salah dari belajar di sekolah yang setiap hari mengumpulkan ribuan anak didik. Tapi coba renungkan. Di negeri ini, sekolah mendiskriminasi kaum miskin. Sekolah sejatinya melahirkan manusia yang berbuat baik. Tapi manusia-manusia yang menimbun dan menjual mahal pembersih tangan (hand sanitizer) dan masker saat ini adalah orang-orang lulusan sekolah. Pengkhotbah di rumah ibadah yang menyalahkan, mencela, bahkan mengkafirkan sesamanya, karena hanya beda pilihan dalam pilpres, pilkada, pileg, dan pilkades, itu orang-orang sekolah. Pencuri uang rakyat (koruptor) itu lulusan perguruan tinggi.
Selain belajar di rumah, bekerja di rumah menjadi aktivitas favorit. Tidak ada yang salah dari aktivitas ini, karena tulisan ini juga saya tulis di rumah. Tapi renungkan berikut. Apakah pekerjaan kita yang selama ini dilakukan di luar rumah itu tidak merugikan orang lain, tidak merampas atau mengambil hak orang. Apakah pendapatan kita itu sudah sesuai dengan apa yang kita lakukan, ataukah lebih karena mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Lantas apa yang kita dapatkan itu, sudahkah kita berikan kepada mereka yang berhak: orang miskin dan orang yang dimiskinkan.
Setiap hari kita berangkat menuju ke tempat kerja di luar rumah yang menyebabkan macet dan polusi yang luar biasa. Kita gunakan kendaraan yang dibeli secara angsuran atau tunai di jalanan mulus, dikala sudara-saudara kita yang lain mati di tengah jalan ketika dilarikan ke rumah sakit karena alat transportasi yang buruk.
Virus korona adalah makhluk sangat kecil, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, tetapi penyakitnya, Covid-19 memaksa kita berubah sekejap. Kita menyaksikan dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan China yang berperang dagang secara terbuka, hanya dalam hitungan bulan gagap menghadapi Covid-19, jangan tanya kerugian mereka. Uni Eropa dan Inggris yang ribut karena Brexit, kini istirahat berseteru karena Covid-19. Arab Saudi, Turki, dan Iran, tiga negara kuat dan masing-masing sekutunya yang beberapa tahun terakhir saling bunuh di Timur Tengah, sekarang bekerja sama atau saling menutup perbatasan dalam menghadapi Covid-19. Israel berhenti memburu dan menembaki warga Palestina karena tentaranya takut Covid-19.
Apa artinya, bagi kita yang beragama dan berakal, kita ini makhluk kecil dan terlalu kecil, lebih kecil dari virus korona. Apa yang pantas kita sombongkan. Dengan jumlah 7 milyar penduduk bumi, kita kewalahan menghadapi Covid-19.
Covid-19 mengajarkan kepada kita, bahwa bumi dan isinya diciptakan untuk dinikmati bersama. Kita harus berbagi. Kita juga harus bekerjasama, walaupun kita berbeda, karena berbeda itu maunya pemilik bumi, Tuhan. Kita harus bekerjasama, mengikuti seruan dan petunjuk pemerintah, petugas, dan para ahli agar kita bisa mengurangi korban Covid-19.[]
Tinggalkan Balasan