Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

Pengamat Sosial

Begitu Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia positif terjangkit Covid (Coronavirus disease)-19 yang disebabkan oleh virus corona, publik menjadi panik. Masker dan pembersih tangan (hand sanitizer) diborong sehingga menghilang. Harga jahe, kunyit, bawang putih, dan beberapa rempah-rempah melejit. Bahkan sebagian warga memborong bahan pokok di sejumlah pusat perbelanjaan.

Di sisi lain, masih ada warga yang menunjukkan ke publik dengan perilaku seakan-akan dirinya kebal, tidak peduli, atau lebih tahu, sehingga berani menyebar berita bohong atau hoaks di tengah kepanikan publik.

Ada juga yang melihat Covid-19 dan kepanikan publik sebagai lahan bisnis sehingga menimbun dan menjual barang-barang yang diburu dengan harga yang tinggi, bahkan ada warga yang menjual masker bekas dengan harga yang berlipat-lipat.

Virus tidak Rasis

Kepanikan dalam menghadapi Covid-19 menunjukkan bahwa publik tidak siap menghadapi kondisi krisis, sekaligus ragu terhadap kemampuan jajaran pemerintah, pusat dan daerah. Pasalnya, sebelumnya pemerintah sangat yakin bahwa Indonesia steril dari Covid-19. Padahal semua negara tetangga telah mengumumkan kasus di negaranya.

Pemerintah yang tidak siap sejak awal, tidak berbeda dengan para tokoh dan elit yang membuat pernyataan-pernyataan yang sangat tidak mendidik. Ada yang menyebut Covid-19 sebagai tentara Allah, ada yang menyebut azab Tuhan, dan berbagai macam pernyataan yang menunjukkan bahwa, perilaku panik publik, juga karena ketiadaan panutan di berbagai ranah kehidupan bangsa ini.

Di media sosial bahkan ada warganet (netizens) yang rasis, menghubungkan Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, China, dengan situasi di Uyghur. Dengan yakin, warganet yang minim informasi ini menganggap Covid-19 adalah kiriman Tuhan yang hanya menginfeksi bangsa tertentu.

Baca Juga:RECULER

Saat ini Covid-19 menyebar ke berbagai bangsa di dunia. Semua tanah yang disucikan umat beragama tidak steril dari Covid-19. Tidak ada umat bergama yang kebal terhadap Covid-19, karena virus corona menginfeksi siapa pun, tidak memilih. Makhluk yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron itu tidak rasis dan tidak diskriminatif.

Tidak Mati Konyol

Sampai artikel ini ditulis, belum ada obat yang dapat menyembuhkan Covid-19. Karena itu, semua warga harus ikut mencegah penyebarannya. Warga diminta mengurangi kontak melalui pembatasan sosial (social distancing) untuk memutus rantai penyebaran, agar tidak perlu dilakukan penutupan (lockdown) wilayah.

Pembatasan-pembatasan di antaranya menjaga jarak, tidak berkumpul, tidak bersalaman, menghentikan sholat berjamaah, dan sebagainya. Cara ini dianggap efektif memutus penyebaran virus karena tidak menemukan inang (host). Cara lainnya adalah membunuh virus melalui penyemprotan desinfektan.

Sayangnya, seruan pembatasan sosial oleh sebagian pihak ditanggapi dengan kata-kata yang konyol. Misalnya, kenapa takut virus corona, yang ditakuti hanya Tuhan, virus itu ciptaan Tuhan yang paling kecil, ayo kita ke masjid dan gereja, tidak perlu takut mati, hidup mati di tangan Tuhan. Kata-kata seperti ini hanya keluar dari mulut orang-orang yang minim informasi dan minim pengetahuan.

Siapa pun pasti mati. Takut atau tidak takut, percaya Tuhan atau tidak. Tetapi yang namanya manusia tidak boleh mati konyol atau mati karena bego. Tuhan tidak menghendaki hamba-Nya mati konyol, makanya semua manusia diberi akal, supaya berbeda dengan makhluk yang lainnya. Dengan akal manusia bisa bertahan hidup, bukan karena takut mati, tapi kehidupan itu adalah pemberian Tuhan.

Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama adalah perintah membaca (iqra’). Membaca bermakna luas melalui penelaahan terhadap ayat-ayat tertulis (kitabiyah), ayat-ayat semesta, ayat-ayat sejarah, dan ayat-ayat di dalam diri (Latif, 2019), agar manusia bertahan hidup, mengenal Tuhan, dan mengenal ciptaan Tuhan. Virus corona adalah salah satu ciptaan Tuhan yang mempunyai kekuataan membunuh, karena itu manusia harus tahu, punyai strategi untuk menghadapinya supaya tidak terbunuh sia-sia.

Berkontribusi untuk Kemanusiaan

Jika covid-19 adalah salah satu musibah atau bencana, maka bagi orang berakal dan beragama harus melihatnya sebagai suatu momen untuk berbuat baik atau ladang beramal.  Dalam agama apa pun, menolong orang apalagi sampai menyelematkan nyawanya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh sang pemilik nyawa, Tuhan.

Karena itu, mereka di rumah sakit yang bekerja siang malam, bahkan sampai mengorbankan nyawanya adalah orang-orang yang beramal, dan orang yang bekerja untuk kemanusiaan. Ilmuwan yang memutar otak di laboratorium untuk menemukan obat atau cara untuk menyelamatkan nyawa manusia adalah orang-orang yang mencatatkan amal ibadah.

Mereka membuat pembersih tangan dan masker yang dijual murah atau dibagi-bagikan adalah manusia-manusia yang menumpuk kebaikan di depan Tuhan dan untuk kemanusiaan. Para pekerja dan sukarelawan di berbagai tempat yang bekerja siang malam untuk menghambat dan memastikan bahwa virus tidak menyebar ke mana-mena adalah orang-orang mulia di depan Tuhan.

Sementara kita yang tidak berbuat apa-apa, tidak berkontribusi apa-apa, mungkin hanya bisa berdoa, adalah baik jika kita menyebarkan informasi yang bermanfaat. Mengajak pada yang lain untuk sama-sama menjaga diri, keluarga, dan lingkungan untuk mencegah penyebaran virus. Kalau pun tidak bisa, maka tahanlah jari-jari tangan kita untuk tidak menyebar berita bohong, karena jari-jari kita tidak hanya membuat suasana makin kacau, tetapi akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.[**]