Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
Sekitar dua langkah lagi, perawat tersebut dapat menggapai pintu mobil, tapi langkahnya terhenti karena tepuk tangan dari tetangganya. Dengan wajah haru, sedikit menunduk, kedua tangannya dirapatkan sebagai tanda memberi salam, hormat, dan membalas tepuk tangan dari tetangganya. Tetangganya memberi semangat kepada perawat yang berangkat bertugas, tentu merawat korban Covid-19. Itu adalah sebuah video pendek yang dibagikan di media sosial.
Sementara itu, berbagai media memberitakan, yang juga dibagikan di media sosial, penolakan jenazah perawat RSUP Kariadi Semarang oleh warga saat hendak dimakamkan di TPU (Taman Pemakaman Umum) Sewakul, Ungaran, Jawa Tengah. Alhasil makam yang sudah digali tidak jadi digunakan. Jenazah perawat tersebut akhirnya dimakamkan di kompleks makam keluarga Dr Kariadi Semarang.
Berita mengenai penolakan warga terhadap penguburan korban Covid-19 di TPU Sewakul, bukanlah yang pertama. Sebelumnya terjadi beberapa kali penolakan terhadap pemakaman korban Covid-19, seperti di Gowa, Makassar, dan Banyumas. Namun, penolakan jenazah perawat RSUP Kariadi mendapat perhatian luas, pasalnya perawat tersebut dinyatakan positif Covid-19 dan meninggal, sebelumnya merawat penderita Covid-19. Dia menjadi korban Covid-19 karena ditularkan oleh pasien yang dirawatnya.
Tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan lainnya) sangat rentan terinfeksi Covid-19, karena kontak langsung dengan korban. Belum lagi sebagian orang yang berasal dari daerah terinfeksi tidak jujur, sehingga membahayakan tenaga kesehatan. Atau ada juga pasien yang mengamuk dan mengancam tenaga kesehatan.
Di tengah kekurangan fasilitas kesehatan dan perlengkapan, serta keterlambatan antisipasi pemerintah, tenaga kesehatan telah bekerja keras untuk menangani korban. Tenaga kesehatan yang menjadi korban sampai mengorbankan nyawanya sudah puluhan. Banyaknya resiko yang dihadapi tenaga kesehatan adalah bagian dari resiko karena pekerjaannya. Tapi sebagai profesi, semua pihak harus berupaya untuk meminimalkan resiko.
Demikian juga sebagai profesi kemanusiaan, maka semua pihak harus mendukung dan menguatkan mereka yang berada di garda terdepan. Dalam kondisi sekarang, tenaga kesehatan adalah pahlawan sebenarnya untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Stop Stigma
Seperti ditayangkan dan diberitakan oleh media, warga menghalangi petugas yang membawa jenazah dengan menutup jalan, menghalangi mobil jenazah, hingga melempar petugas. Warga menjadi beringas dan melakukan tindakan di luar nalar, di tengah seruan untuk menjaga jarak, berdiam di rumah, dan menggunakan masker.
Penolakan warga terhadap pemakaman korban Covid-19 terjadi karena dua hal. Pertama, informasi atau pemahaman yang salah dari warga mengenai penyebaran Covid-19, termasuk virus yang berada di dalam tubuh jika korban telah meninggal. Mereka mendapat informasi yang keliru atau salah mengenai penyebaran Covid-19, termasuk prosedur penanganan jenazah korban Covid-19.
Ini menjadi tugas semua pihak untuk menyebarkan informasi secara benar melalui berbagai media yang ada. Informasi yang praktis dan mudah dicerna oleh warga sangat penting. Dalam situasi pembatasan sosial dan menjaga jarak (social distancing, physical distancing) media massa dan media sosial harus menyampaikan informasi yang benar, praktis, dan terus-menerus.
Kedua, stigma di masyarakat yang menganggap mereka yang menjadi korban Covid-19 sebagai penyakit kutukan, azab, karma, dan sebagainya. Ini tidak terlepas dari masyarakat kita yang masih percaya adanya penyakit kutukan. Ingatan kolektif mengenai penyakit kutukan ini tidak mudah dihapus di masyarakat tertentu. Ini juga sangat berbahaya jika mereka terinfeksi Covid-19 dan mendatangi dukun atau “orang-orang pintar” yang mengingatkan penyakit kutukan.
Mereka yang memercayai penyakit kutukan ini berhubungan juga dengan kalangan agamawan yang menganggap Covid-19 sebagai azab Tuhan atau tentara Tuhan. Pandangan ini sangat anti sains dan anti agama, karena agama mengajarkan umatnya untuk menghindari bahaya dan menyelamatkan jiwa.
Pandangan yang melihat Covid-19 sebagai penyakit kutukan atau azab Tuhan menyebabkan stigma terhadap dan hukuman terhadap korban. Padahal penyakit muncul karena perilaku manusia sendiri dalam hidup dan mengelola kehidupan. Sebagai pemiliki kehidupan, Tuhan juga menyampaikan kepada manusia bahwa, Dia adalah maha pengasih, penyayang, penyembuh. Tuhan bukan maha pengazab.
Sesuai Prosedur
Jika kita menyaksikan prosesi penguburan jenazah korban Covid-19 berbeda dengan penguburan jenazah yang lain, itu untuk mencegah penyebaran virus dari jenazah. Prosedur ketat sesuai dengan dengan protokol kesehatan tetap dilakukan bukan untuk membuat orang takut, tetapi untuk memastikan tidak ada virus pada jenazah yang dapat menyebar. Prosedur ketat dijalankan untuk melindungi pihak yang melakukan pemulasaran dan penguburan jenazah.
Ketika korban telah meninggal, dia tidak batuk dan bersin sehingga tidak ada lagi tetesan air (droplet) yang disebarkan. Jenazah juga didisinfeksi dan dibungkus dengan plastik, sehingga tidak mungkin virus bisa menyebar. Virus akan mati dengan sendirinya, karena virus hanya hidup pada sel yang hidup. Dengan demikian, jenazah yang telah dikuburkan tidak mungkin menyebarkan virus.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapa pun menolak penguburan jenazah Covid-19. Pasalnya, penguburan merupakan salah satu cara memutus penyebaran virus dari jenazah. Dan bagi agama tertentu, penguburan jenazah adalah salah satu kewajiban yang hidup terhadap yang meninggal, dalam Islam tergolong fardhu kifayah.
Jadilah Manusia
Kita semua pasti akan mati, dan kita tidak tahu kapan. Saat ini sebagian dari kita mati karena terinfeksi Covid-19. Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus korona yang juga merupakan ciptaan Tuhan. Jika pun kita yang masih selamat dari Covid-19. Kita tetap dan pasti akan mati: besok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau kapan. Kita mungkin bisa terhindar dari Covid-19, tapi bisa juga mati karena penyakit lain, baik penyakit infeksi maupun noninfeksi.
Mati datang kapan saja dan bermacam-macam rupa. Ada yang mati karena terinfeksi Covid-19. Ada juga yang mati di masa wabah Covid-19, padahal tidak terinfeksi. Tanpa ada wabah Covid-19, tetap saja orang mati, karena sakit, karena stress, kecelakaan, lanjut usia, dan sebagainya. Kita yang masih hidup hanya menunggu waktu untuk mati, karena itu marilah kita menghormati mereka yang wafat karena terinfeksi Covid-19 maupun tidak.
Mereka yang wafat sebagai korban Covid-19, tidak berbeda kematian-kematian lainnya. Ketika jenazah dan pemakaman mereka diperlakukan khusus, itu untuk mencegah virus pada jenazah tidak menyebar kepada orang lain. Bagi orang beragama yang percaya hari akhir dan pembalasan, maka orang-orang yang sudah mati itu bergantung pada amalnya selama di dunia, dan doa orang-orang yang masih hidup. Bukan soal bagaimana matinya, perlakuan terhadap jenazah, atau prosesi upacara penguburannya.[]
Tinggalkan Balasan