Oleh : Rusly Saraha

Istana bergetar. Protes itu menggelegar. Pangeran Muhammad Amiruddin alias Nuku bersama saudaranya Badiuzaman Garomohongi tampil didepan. Keduanya menenteng nyali, menuntun jalan perlawanan. Sebabnya adalah penetapan traktat sepihak yang dilakukan oleh Pemerintah VOC Ternate dibawah komando Gubernur Hermanus Munnik. Sultan Jamaluddin dibikin terpojok, ia dipaksa membayar utang kepada VOC akibat serangan penjarahan yang dituduhkan kepada bala kesultanan Tidore.

Jamaluddin tak terima, lalu pada 12 Juni 1768, Gubernur Munnik benar-benar mempertontonkan watak asli kolonialisme yang ekspansionis eksploitatif. Ia dengan kekejiannya meminta hak Seram Timur yang menjadi wilayah kedaulatan Tidore untuk diserahkan kepada VOC. Kali ini Nuku yang bernyali makin tak berhenti melawan. Perdebatan itu terus mengalir, perseteruan menjadi tak terkendali. Hingga di era Gubernur Jacob R. Thomaszen, petaka itu menimpa. Jamaluddin diseret keluar istana, mahkotanya jatuh di pinggir tahta. Sultan yang merupakan ayah dari Nuku itu dibuang ke Batavia bersama dua saudara Nuku yaitu Kaicil Garomahongi dan Kaicil Zainal Abidin. Didalam rombongan orang-orang terbuang itu juga terdapat Sultan Bacan. Mereka dituduh berkonspirasi dalam upaya makar memerangi Ternate dan mengusir VOC di tanah Maluku.

Petaka diatas membuat rakyat tak tinggal diam. Mereka makin geram. Nuku berdiri mengatur langkah. Ia menghitung cara  melawan kebiadaban itu.Tapi kompeni yang penuh tipu-tipu menghasut  Patra Alam dengan iming-iming kekuasaan. Mereka menyiapkan armada besar untuk bersiaga menyerang. Pada 14 Juli 1780, Markas pemberontak di Toloa dibumihanguskan oleh pasukan gabungan Eropa dan milisi pribumi Alifuru. Gubernur Cornabe akhirnya tersenyum renyah setelah Kaicil Kamaluddin, Prins Mossel dan Pangeran Van Der Parra ditangkap. Ia menduga bahwa api pemberontakan itu telah dapat dengan mudah dipadamkan. Tetapi Cornabe benar-benar keliru.

Sosok yang menjadi aktor utama itu lolos dari upaya jahat penyerangan Toloa. Nuku selamat, ia dengan segala kelihaian keluar dari situasi penyerbuan aliansi yang membabi buta. Nuku bergegas bersama beberapa kompatriot menyelamatkan diri, dari Toloa menuju Payahe, lalu ke wilayah Gamrange hingga akhirnya perahu kora-kora yang ditumpanginya lego jangkar di Seram Timur. Disana orang-orang Papua dan Seram Timur berdiri berjejer melupakan jarak. Mereka dengan segala kesadaran mendaulat Nuku sebagai Raja Seram dan Papua.

Sejenak ada tanya tertumpah. Bagaimana bisa seseorang yang baru datang dari pelarian di Tidore begitu cepatnya diterima, bahkan didaulat menjadi Raja di negeri jauh, yakni Raja Seram dan Papua. Tetapi sejarah telah menulis bahwa Nuku memperoleh amanat itu. Bisa kita bayangkan apa yang dilakukan oleh Nuku semenjak kakinya yang tak lagi mulus itu menancapkan kaki di pasir halus Pantai Waru di wilayah Timur Seram. Saya menduga daulat paduka Raja Seram dan Papua itu karena sosok Nuku yang terlekat didalamnya karakter seorang intelektual bernyali dan punya integritas mumpuni.

Nuku mewarisi karakter yang tak hanya disukai di zaman itu, tapi sangat dibutuhkan. Betapa setelah ia didaulat menjadi Raja, hidupnya jarang di istana, apalagi menikmati segala kemewahan atas jabatan yang diembannya. Ia memimpin langsung jejak perlawanan, bertempur dimana-mana demi menumpas kolonialisme yang bercokol di jazirah Maluku dan Papua. Nuku benar-benar menyadari bahwa lawan yang dia hadapi tak sedikit, ia tahu bahwa Pemerintah VOC di Ternate, Ambon dan Banda yang bersekongkol dengan Kesultanan Tidore dan Ternate saat itu sedang memburunya.

Pada Oktober dan Desember 1780, VOC Ternate dan Ambon telah melakukan upaya bombardir terhadap daerah-daerah yang menjadi basis perlawanan Nuku, yakni Gamrange dan Seram Timur. Armada ini datang dari berbagai latar koalisi, kora-kora Tidore dan Ternate, kapal Bali dan Makassar, ditambah pasukan Alifuru dari Tobelo dan Gorahe ikut terlibat dalam ekspedisi yang dikomandoi Kapten Heinrich dan Letnan Maffa Mira. Gubernur VOC Ambon, Van Pleuren menyusupkan api kedalam kepala para pemburu, ia menjanjikan memberi hadiah 1000 rix-dollar bagi yang berhasil menangkap Nuku. Di tahun 1782, Gubernur Ternate, Cornabe melalukan upaya yang seirama. Ia memberi iming-iming 100 ducaton dari dana pribadinya ditambah tongkat berkepala emas maupun perak.

Disaat yang sama Nuku tak berhenti menggalang kekuatan, ia bergerak dari berbagai penjuru untuk menambal semangat perlawanan pada daerah-daerah di wilayah kuasanya. Saban hari ia terus melakukan gerilya laut, menerobos satu pulau ke pulau lainnya. Nuku teguh menantang badai, bergulung-gulung gelombang ia lewati. Ia meracik taktik dan strategi, menyusun rencana psywar ke markas lawan bahkan berdiri di garda paling muka dalam memimpin perjuangan.

Setelah Kamaluddin naik tahta pada tahun 1784, posisi Kesultanan Tidore sebagai vassal VOC Belanda tetap tak berubah. Kamaluddin menerima nasib ketidakberdayaan kuasa dari pendahulunya Sultan Patra Alam. Pria yang dahulunya menjadi kekuatan inti pemberontakan bersama Nuku pada 1780 ini terpaksa menjadi budak kompeni. Kamaluddin tak punya pilihan lain selain menunjukkan kesetiaannya pada VOC. Beberapa kali ia menyusun rencana pertempuran melawan Nuku bersama VOC. Beberapa penyerangan semenjak Kamaluddin bertahta telah terjadi, Pada 1789, armada Tidore dan Gamrange menghantam markas Nuku di Salawati, beberapa bulan kemudian diikuti oleh penyerangan Ambon terhadap Seram Timur. Dua penyerangan itu tak berhasil menangkap Nuku sebab Prins Rebel itu sedang berada di Misool.

Dalam buku Pemberontakan Nuku, Muridan Widjojo mengulas tahun 1790 – 1791 sebagai masa-masa kritis dan sulit bagi pasukan Nuku. Di masa ini, armada gabungan empat kekuatan (Tidore, Ternate, Ambon dan Banda) terus menggempur dengan serangan-serangan sistematis ke markas utama Nuku di Gamrange, Seram Timur dan Raja Ampat. Komandan-komandan utama yang menjadi pilar kekuatan Nuku bahkan terbunuh dan ditangkap, sebagiannya memilih tunduk pada VOC. Disaat yang sama Nuku juga kehilangan dua saudaranya yang setia pada garis perjuangan yakni Kaicil Malikuddin yang “terpaksa menyerah” dan Kaicil Manoffa yang wafat pada pertempuran Aru. Kekuatan Nuku tiap saat makin menyusut, ia hampir saja terkapar dalam kekalahan.

Meski begitu jalan juang Nuku belum usai. Ia berhasil keluar dari situasi tersulit yang menimpanya. Pada 1791, Nuku berhasil meyakinkan ksatria-ksatria Canga untuk bergabung dalam pasukan pemberontak. Sekitar 400 orang Galela, Tobelo dan Tobaru yang sebenarnya menjadi subjek Kesultanan Ternate memutar haluan. Mereka yang sepuluh tahun lalu terlibat dalam penyerangan terhadap Nuku berbalik mendukung putra kedua dari Sultan Jamaluddin itu. Inilah yang menjadi salah satu bukti yang menunjukkan sosok Nuku sebagai seorang negosiator yang ulung. Ia berhasil meyakinkan lawan yang dahulunya memusuhinya untuk menjadi kawan seperjuangan. Itu pula yang dilakukan Nuku terhadap Perdana Menteri Kesultanan Tidore Muhammad Arif Billa. Jojau yang menjadi anak buah Kamaluddin ini memilih “membantu” Nuku melawan kolonialisme dari beberapa surat yang dilayangkan oleh keduanya. Dan bisa dimungkinkan, Arif Billa merupakan sosok yang membocorkan rencana rahasia Tidore dan VOC  termasuk serangan-serangan terhadap Nuku yang selalu tak berhasil menangkap jejak sang pemberontak.

Tentu harus diakui bahwa kesuksesan sebuah kerja negosiasi sangat tergantung pada siapa negosiatornya. Dalam urusan ini Nuku adalah orang yang memiliki kepiawaian itu. Sekali lagi saya menduga keberhasilan itu terjadi karena Nuku menunjukkan karakternya yang santun dalam berkomunikasi, mampu menyentuh hati mereka-mereka yang diajak berkomunikasi dan benar-benar menjadi sosok yang dapat dipercaya karena integritasnya yang mumpuni. Nuku tak hanya berbicara, tetapi ia telah melakukan apa yang ia bicarakan. Ia benar-benar menempatkan dirinya sebagaimana ungkapan Da’i Zainuddin MZ sebagai sosok yang “tidak hanya memberi teladan, tetapi telah menjelma menjadi teladan”.

Karena itu pembelotan yang dilakukan oleh subjek-subjek Nuku tak berlangsung lama. Orang-orang Gamrange, Raja Ampat dan Seram Timur perlahan memilih jalan kembali ke pangkuan Nuku. Mereka seolah meyakini bahwa Nuku mampu membawa jejak kemaslahatan yang lebih luas bagi negeri mereka. Dalam urusan negosiasi ini, Nuku memang jagonya. Ia bahkan bisa membaca dinamika perseteruan global. The Lord of Fortune ini memilih beraliansi dengan Inggris untuk melawan Belanda dalam beberapa surat-surat yang dilayangkannya. Nuku dengan hebatnya mampu membawa Inggris kedalam jalan juang yang ia kehendaki. Pada September 1794, dua kapal Inggris (Resource dan Duke of Clarence) terlihat mengawal Nuku dalam perjalanan ke Waigama yang didampingi Pangeran Ternate yang berpengaruh Ibrahim Al Mukarram. 

Semenjak aliansi itu dan keberhasilan membangun kembali kekuatan-kekuatan yang hampir rapuh membuat kepercayaan Nuku dan pasukannya makin tinggi. Ia bahkan beberapa kali menerima tawaran amnesti dari VOC. Pada Februari 1795 Gubernur Jenderal dan Dewan VOC menawarinya tahta untuk memimpin Papua atau Seram Utara sesuai pilihannya. Nuku menolak bujuk rayu itu, matahatinya tak pernah silau. Pada Agustus 1795, Nuku dengan segala prinsip yang ia pegang bahkan menyurat kepada Sultan Kamaluddin agar kelak nanti bersama-sama Nuku memimpin Tidore dalam sinergi damai. Kompeni terus-menerus mencoba mencari cara, tetapi mereka tidak cukup piawai untuk meruntuhkan harga diri seorang Nuku. Hingga Pemerintahan tertinggi VOC di Batavia mengeluarkan instruksi melarang pemerintahan VOC Ternate, Ambon dan Banda untuk berunding dengan Nuku sebab ia benar-benar merupakan onverzoenlijke vijand (musuh yang tidak bisa diajak berdamai).

Dua tahun kemudian tepat pada tanggal 12 April 1797, jalan revolusi bermartabat itu terjadi. Nuku kembali ke Tidore dengan 70 kora-kora yang mengiringinya. Saat tiba, Sultan Kamaluddin telah melarikan diri ke Ternate. Kehadirannya Nuku dielu-elukan oleh para bobato dan bala yang berada di Tidore. Tak ada pertumpahan darah disana, apalagi tragedi pembakaran istana. Semuanya berlangsung begitu damai, hingga akhirnya Kamaluddin dengan sendirinya menyadari ketidakberdayaannya dan memaklumi Nuku sebagai Sultan Tidore pengganti dirinya.

Nuku akhirnya memimpin Kesultanan Tidore dan mewujudkan misinya menghidupkan kembali kejayaan Kie Raha sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh pendahulunya Jou Kota Sultan Saifuddin maupun Kolano Ternate Sida Arif Malamo kala menyusun kerjasama Moti Verbond. Nuku lalu berinsiatif membangkitkan Kesultanan Jailolo yang telah lama terkapar. Ia menunjuk Muhammad Arif Billa, Sangaji Tahane yang pernah menjadi Jojau Tidore sebagai Kolano Jailolo. Lelaki yang selalu dan hanya setia pada seorang istri bernama Boki Geboca ini terus-menerus menjaga kedaulatan dan martabat negeri dari pengaruh kolonialisme. Ia terus menggaungkan semangat kemerdekaan dari campur tangan asing, terus-menerus bekerja siang dan malam untuk melayani rakyatnya, memperlakukan setiap orang secara adil tanpa melihat latar orang yang kaya dan miskin hingga takdir menuntunnya pada jalan pulang sebagai pemenang di 14 November 1805.[]