King Faisal Sulaiman

Direktur Legal Empowerment and Democracy Indonesia

(LEAD Indonesia)

Ungkapan eufamisme yang terpatri pada judul artikel ini tidak sama sekali mewakili makna yang sebenarnya, juga tidak bermaksud menghakimi apalagi sampai memvonis seseorang. Hanya saja, penulis ingin sedikit mentasbihkan makna “Uge Ake Capu Kapaya Mabunga” terutama bagi masyarakat Tidore, sebagai jenis kuliner tradisional yang kaya akan nutrisi, amat mudah dijumpai dan dibuat oleh siapa saja. Namun demikian, oleh beberapa lapisan masyarakat, karakter kuliner ini seringkali diplesetkan maknanya secara antitesa sebagai kuliner kelas murahan dan tidak bergizi, kendati faktanya justru sebaliknya.

Efek Pilkada tentu berbeda dengan Pil-KB juga tidak sama dengan Pil-Koplo yang sekali dikonsumsi langsung terasa dampaknya. Pilkada bisa menjadi mesin pembunuh bagi nasib ratusan atau bahkan jutaan rakyat,  atau predator demokrasi lokal jika penuh dengan aksi tipu-tipu atau praktek curang.

Pilkada, betatapun banyak yang elergi, namun tetap menjadi instrumen konstitusional untuk menjaring dan memilih seorang kepala daerah. Ada dua saluran yang diatur dalam UU Pilkada. Siapa saja yang mau mencalonkan diri, bisa menggunakan jalur perseorangan atau lewat Parpol. Namun demikian, Partai masih memiliki power dan andil besar serta menjadi penguasa utama.

Mirisnya, dalam banyak kasus Pilkada, prilaku masyarakat pemilih hak suara masih banyak yang terjebak pada permainan “politik uang” Sang calon dan partai pengusung. Rakyat masih mudah dipengaruhi dengan rupiah recehan 100 ribu atau modus karpet dan lain sebagainya.

Budaya politik uang ini lebih mematikan dari “Virus Corona” karena dapat membunuh masa depan daerah dan anak cucu. Daerah yang kaya akan sumber daya alam, tambang emas, nikel atau hasil perikanan melimpah hanya bisa dijadikan lahan investasi swasta atau lapangan kerja bagi tenaga kerja asing. Selebihnya, rakyat pribumi makin tenggelam dalam lumpur ketertinggalan dan hanya jadi “Penonton” belaka.

Masyarakat terdampak investasi tambang, kebanyakan masih hidup dalam garis kemiskinan akibat kurangnya keberpihakan penguasa. Terlebih, korupsi perizinan tambang kian marak apalagi jauh dari hukum dan pengawasan wakil rakyat. Tengoklah kasus-kasus di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan mungkin juga Maluku Utara.Yang perlu dikhawatirkan, jika wakil rakyat juga tertular virus “politik transaksional” maka lengkaplah sudah penderitaan rakyat. 

Baca Juga:RECULER

Tak bisa diabaikan fakta emperik, amat sedikit hasil SDA yang bisa dinikmati rakyatnya sendiri. Bentuk-bentuk pengeolaan dana CSR masyarakat lingkar tambang selama ini belum tergarap maksimal akibat lemahnya posisi tawar Pemda. Pemda yang miskin program penguatan dan pemberdayaan masyarakat akan semakin ter-lock down dari kemajuan dan kesejahtraaan sekalipun terdapat 1000 tambang emas,  sekelas NHM atau Freeport.

Ini semuanya, rentan terjadi sebagai akibat dari “salah urus dan salah kelola” oleh Sang Pemimpin yang tidak visioner dan kapabel dalam membangun daerah. Praktek tata kelola pemerintahan yang buruk, dan tidak solid dalam pengambilan keputusan pengisian jabatan. Belum lagi, kultur birokrasi yang jauh dari etika, integritas, dan prinsip good governance biasanya juga menjadi daftar tambahan berikutnya.

Marakanya fenomena pecah kongsi antara Kepala Daerah dengan Wakil di sejumlah Daerah, harus mampu menggugah kesadaran kita bahwa, kealpaan dalam memilih,  justru hanya menghadirkan pemimpin lemah (UGE AKE), yang sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa diri untuk mengurus ummat yang masih banyak hidup dibawah  kemiskinan dan jauh dari kehidupan yang layak.

Demokrasi kita hari ini masih banyak sarat dengan praktek “demokrasi transaksional” yang berorientasi dan dikendalikan pasar. Semua jalur pencalonan butuh “Fulus jika ingin Mulus melangkah”, tanpa hambatan dalam pencalonan. Walhasail, Pilkada cenderung beraroma kapitalis, serta jauh dalam falsaafah Pancasila. Investor politik atau bandar politik adalah bagian dari faktor determinan yang bisa menentukan “who is the winner dan the looser”. Karena itu, biasanya dalam pencalonan, ada paket hemat (PAHE) adapula paket nyaman tapi kurang efektif (PANYAKE) sehingga justru membawa petaka dikemudian hari. 

Semoga event Pilkada serentak 2020 terutama di Bumi Moloku Kie Raha, mampu  melahirkan pemimpin yang visioner, berintegritas dan penuh dedikasi untuk rakyat. Satu hal yang pasti, jika pemimpin dipilih bukan karena “Kapasitas” tetapi karena “Isi Tas” maka cenderung menyisakan bom waktu dan nestapa bagi rakyatnya sendiri. (*)