Sungguh, tak ada yang bisa menolak daya pikat nostalgia, bukan? Terutama ketika ingatan menari-nari kembali pada masa-masa merangkai asa di bangku magister Ilmu Politik di UGM tahun 2005, lalu melompat ke doktoral Politik Islam-Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2016. Sebuah lintasan waktu yang tak hanya merekam jejak intelektual, tapi juga ukiran pengalaman hidup yang sarat makna. Yogyakarta, kota yang selalu punya cara untuk memeluk sekaligus menguji, menjadi saksi nafas setiap tarikan aliran intelektual itu. Di sana, di tengah gelora akademis yang begitu hidup, di bawah bimbingan para guru besar yang kadang mencerahkan, kadang menguji kesabaran, dalam pusaran interaksi yang mencerahkan—atau sesekali menjebak—adalah sebuah anugerah, walau mungkin ada pula harga yang harus dibayar.
Elegi Manis di Gadjah Mada (2005-2007)
Masa-masa di Universitas Gadjah Mada, dari tahun 2005 hingga 2007, adalah sebuah balada. Sebuah fase di mana fondasi keilmuan politik diperkuat, atau setidaknya dicoba untuk diperkuat, di bawah bimbingan para dosen yang tak hanya cerdas tapi juga, entah disadari atau tidak, ikut membentuk jalan pikiran. Berinteraksi mendalam dengan Prof. Dr. Riswanda Imawan dan Dr. Pratikno—yang kemudian menjelma menjadi Rektor UGM dan Menteri di dua era Jokowi, bahkan kini di panggung kekuasaan Prabowo—adalah seperti membuka jendela ke cakrawala pemikiran yang begitu luas. Diskusi-diskusi di kelas dan di selasar kampus selalu memantik semangat untuk menggali lebih dalam, memperkaya pemahaman tentang dinamika politik yang, sejujurnya, seringkali lebih rumit dari yang terlihat di permukaan.
Tak usah bicara muluk tentang lingkungan akademis yang konon kompetitif namun kolaboratif. Cukuplah katakan bahwa di sana, di antara para pemikir muda yang haus akan ilmu—atau haus akan gelar, siapa tahu?—dan para dosen yang berdedikasi—atau sekadar menjalankan tugas?—tercipta atmosfer yang, mau tak mau, mendukung pertumbuhan intelektual. Proses pembelajaran tidak hanya terpaku pada teori belaka, yang seringkali terasa kering, melainkan juga didorong untuk mengaplikasikan ilmu dalam konteks nyata. Semangat ini, atau mungkin desakan situasi, berbuah manis: kelulusan dengan predikat cum laude dan penerbitan karya buku “KONSOLIDASI DEMOKRASI” setahun sebelum studi S2 di UGM rampung. Sebuah tanda, mungkin, bahwa ada sedikit cahaya yang berhasil menembus kegelapan dan menghasilkan sesuatu yang patut dikenang.
UGM, pada tahun-tahun itu, bukanlah sekadar institusi pendidikan. Ia adalah semacam kawah candradimuka, tempat karakter dan kapasitas intelektual diasah, ditempa, dan kadang-kadang juga dibakar habis. Setiap tantangan akademis dihadapi dengan optimisme—atau keputusasaan yang disembunyikan—dan setiap keberhasilan dirayakan sebagai buah dari kerja keras dan, tentu saja, sedikit keberuntungan. Kenangan akan hiruk pikuk perpustakaan yang pengap, diskusi kelompok yang tak pernah usai—atau tak pernah menemukan titik temu—dan bimbingan dosen yang sabar—atau sekadar lelah dengan pertanyaan mendalam dan menjebak—tetap terukir jelas dalam ingatan.
Pencapaian di UGM bukan hanya sebatas selembar ijazah. Lebih dari itu, ia adalah pengalaman berharga yang membentuk cara pandang dan pendekatan terhadap ilmu politik. Kualitas pendidikan yang tinggi, didukung oleh para pengajar yang visioner—atau setidaknya punya visi—menjadi bekal tak ternilai dalam menapaki jenjang keilmuan selanjutnya. UGM telah menanamkan benih-benih kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan semangat untuk terus berkarya, sebuah warisan yang terus relevan, atau setidaknya terus dikenang, hingga hari ini.
Kisah Antara Dua Kota: Maluku Utara dan Yogyakarta
Sekembalinya dari UGM, ada jeda. Sebuah intermezzo yang tak terduga, namun menarik. Seleksi KPU Provinsi Maluku Utara, dan kemudian terpilih. Lima tahun penuh pengabdian, plus satu tahun tambahan, dari 2008 hingga 2014. Sebuah pengalaman yang, mungkin, lebih banyak mengajarkan tentang realitas politik di lapangan ketimbang teori-teori dalam buku. Setelah itu, kembali ke Yogyakarta. Seperti mengenang kisah indah, bersama 26 orang teman seangkatan, termasuk seorang gadis cantik berpaspor Jepang, Seiko Namba, yang entah bagaimana berhasil membuat suasana kelas terasa sedikit lebih enjoyable, lebih manusiawi. Yogyakarta, dengan segala pesona dan ujiannya, kembali menjelma dalam rintik hujan di pelatran Merota Kampus, mengenal Becak dan pengayuhnya, jalan-jalan dengan Delman, menuju Pasar Terban, seberangnya ada buku murah dengan doscount 30 persen. Inilah perjalanan intelektual yang mengukir diri. Berada di tengah gelora akademis yang begitu hidup, di bawah bimbingan para guru besar yang kadang bijak, kadang nyentrik, dan dalam pusaran interaksi yang mencerahkan—atau kadang membingungkan—adalah anugerah, atau mungkin sebuah takdir.
Pengalaman Keilmuan di UMY: Pergulatan dalam Gairah
Pengalaman keilmuan di UMY bukanlah sekadar menelan teori mentah-mentah. Lebih dari itu, ia adalah kancah pergulatan pemikiran yang intens. Sebuah kehormatan besar, sungguh, bisa mencicipi ilmu dari sosok-sosok mumpuni seperti Prof. Dr. Ikhlasul Amal, mantan Rektor UGM yang wawasannya melampaui batas, atau Prof. Dr. Inu Kencana Syafiie, mantan Rektor IPDN Bandung, yang senantiasa menaburkan perspektif tajam dalam setiap kajian politik dan kocak mencairkan suasana menjadi ceria. Kelas-kelas bukan hanya ruang ceramah, melainkan arena yang kerap memantik percikan pemikiran baru, memperkaya cara pandang terhadap gelombang dinamika politik yang, di Indonesia ini, seringkali terasa seperti gelombang pasang yang tak pernah surut, utamanya dalam konteks Islam yang begitu dinamis.
Namun, perjalanan tak selalu mulus. Ada kalanya mendung kelabu menyelimuti. Ingat betul, bagaimana Prof. Nurmandi Achmad, setiap Jumat dini hari pukul 3 pagi, mengirimkan pesan ke grup mahasiswa S3. Isinya, “Bagi mahasiswa S3 yang tidak mau melanjutkan studinya, dipersilakan datang ke kampus mengambil surat pengunduran diri.” Saya meyakini, ini bukan sekadar gurauan yang lucu, melainkan teguran keras, bahkan mungkin sedikit menyakitkan, bagi mereka yang sudah dua tahun lebih belum juga menuntaskan ujian proposal. Yogyakarta, yang semula terasa hangat dan ramah, mendadak diliputi ketegangan sejak kubaca pesan singkat dari Promotor utamaku. Kehampaan itu kian terasa saat badai personal menerpa: sakit di akhir Desember 2016, yang memaksa saya pulang kampung Tolonuo di awal Ramadan 2017. Selama 2 minggu berobat, minum ramuan air rebusan batang brotowali, ternyata ampuh dan menyembuhkan sakit gula keringku. Sebuah ujian, dari sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur Semesta.
Masa pemulihan adalah ujian kesabaran dan ketekunan yang sebenarnya. Sebuah periode yang menguji seberapa kuat jiwa bertahan di tengah badai. Namun, setelah pulih, semangat untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan membara lagi. Disiplin diri menjadi kompas yang memandu di tengah kegelapan: setiap malam, terbangun pukul 2 pagi, larut dalam lautan buku dan jurnal hingga Subuh, semata demi mengejar teori yang tertinggal. Jadwal kuliah yang padat, dari pukul 8 pagi hingga 6 sore, menjadi rutinitas harian yang tak pernah mengikis semangat, atau setidaknya, tak pernah dibiarkan mengikis.
Pilar-Pilar Ilmu di UMY: Deretan Nama yang Mengukir
Para dosen yang menjadi tulang punggung Program Doktor Ilmu Politik UMY turut memberikan kontribusi tak terkira dalam pembentukan intelektual. Mereka adalah Prof. Dr. Sunyoto Usman dengan kedalaman sosiologi politiknya, Dr. Hasse Jubba yang menggali agama dan etnik, Prof. Dr. Ulung Pribadi di bidang kebijakan pemerintahan, Prof. Dr. Zuly Qodir yang juga berfokus pada sosiologi politik, dan Prof. Faris Al-Fadhat yang mumpuni di hubungan internasional. Tak ketinggalan pula, Prof. Dr. Bambang Cipto yang menguasai politik luar negeri, Prof. Dr. Dyah Mutiarin dengan ilmu pemerintahannya, Prof. Dr. Haedar Nashir yang mendalami politik dan Islam, Prof. Dr. Muhammad Azhar yang fokus pada psikologi pendidikan Islam, Dr. Mega Hidayati dengan keahlian di politik identitas dan pluralisme, serta Prof. Dr. Tulus Warsito yang juga pakar hubungan internasional. Setiap nama tersebut adalah pilar-pilar pengetahuan, mungkin tak selalu sempurna, namun tak bisa dipungkiri, telah membangun fondasi keilmuan yang kokoh.
Setelah menuntaskan fase teori yang menuntut, rutinitas ke kampus menjadi lebih lapang, hanya setiap Jumat pagi. Sebuah kebebasan yang, ironisnya, datang setelah segala beban teori. Waktu yang lebih fleksibel ini dimanfaatkan untuk menyelami penelitian dan menelurkan disertasi. Perjalanan ini mencapai puncaknya pada tahun 2000—sebuah tahun yang menarik, mengingat konteks narasi ini— sebuah capaian yang bukan hanya kebanggaan pribadi, melainkan juga buah dari dukungan lingkungan akademis yang begitu kondusif, atau setidaknya, cukup kondusif untuk tidak menghambat. Saya berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Politik Islam-Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sebuah institusi yang memang memiliki tradisi riset dan publikasi terbaik di level SINTA dan Scopus. Sebuah pengakuan, mungkin, bahwa segala perjuangan itu tidak sia-sia. Kesan selama di Yogyakarta adalah tentang ketekunan, solidaritas, dan transformasi. Kota ini bukan hanya tempat menuntut ilmu, melainkan juga kawah candradimuka pembentukan karakter. Yogyakarta mengajarkan bagaimana menghadapi kesulitan dengan lapang dada—atau setidaknya, dengan senyum di tengah berbagai kekurangan yang kumiliki—bangkit dari keterpurukan, dan menghargai setiap proses belajar, walau kadang terasa seperti penyiksaan.
Sebuah Seruan untuk Dosen: Jangan Tunda Lagi Lanjut Studi S3!
Selagi kesehatan masih memihak, selagi kesempatan masih terbentang lebar, selagi pikiran masih segar—sebelum keriput pikiran muncul—dan selagi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) masih membuka pintu lebar untuk melanjutkan studi S3 sesuai bidang keilmuan, jangan tunda lagi! Ilmu adalah samudera tanpa tepi, dan perjalanan doktoral adalah layar yang membawamu mengarungi kedalamannya, entah sampai mana. Ini bukan sekadar mengejar gelar, tapi sebuah panggilan jiwa untuk terus tumbuh, mengukir kontribusi—yang semoga berguna—dan menjadi mercusuar bagi generasi mendatang. Raihlah kesempatan itu sebelum ia beranjak pergi, sebelum ia berubah menjadi penyesalan yang pahit. Atau, siapa tahu, sebelum Anda berubah pikiran.
Tinggalkan Balasan