Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K

Saya mengingat-ingat pada buku mana saya mendapatkan informasi bahwa, salah kontribusi besar umat Islam dalam Kedokteran adalah menyangkut kesehatan mata. Ternyata informasi itu ada di dalam buku ilmuwan besar yang mendunia mengenai Sejarah Arab, Philip K. Hitti. Ahli ketimuran atau orientalis ini menulis buku tebal berjudul History of The Arabs. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1937 dan sampai sekarang tetap menjadi buku penting dan terus dicetak ulang.

Menurut Hitti, dari karya Ibn Mâsawayh (777-857 M) kita mendapat sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua mengenai oftalmologi, ahli yang berhubungan dengan mata. Menurut Hitti, saat itu ilmu kedokteran yang berhubungan dengan mata sangat maju dibandingkan dengan ilmu kedokteran bedah. Ini tidak terlepas dari cuaca panas di Irak dan di wilayah Islam lainnya yang menyebabkan penyakit mata, maka fokus kedokteran paling awal diarahkan untuk menangani penyakit mata.

Hitti juga menuliskan, al-Râzi (Abu Bakar Muhammad ibn Zakariyya al-Razi, 865-925), seorang filosof, teolog, dan dokter terkenal dunia Islam yang menulis ratusan buku tebal, pada salah bukunya membahas bisul dan cacar (al-judari wa alhashbah). Buku ini merupakan karya pertama dalam bidang tersebut dan menjadi buku penting hingga abad ke-16.

Catatan penting mengenai cacar ditulis abad ke-9, artinya cacar menjadi penyakit serius saat itu. Tahun 1520 atau sekitar 700 tahun setelah al-Râzi membahas cacar, armada Spanyol membawa virus cacar (smallpox) ke Amerika, dan membunuh sekitar 8 juta jiwa penduduk Mexico dan sekitarnya.

Alam tidak Murka, Tuhan tidak Mengazab
Pelajaran penting yang dipetik adalah ilmu dan teknologi berkembang karena manusia menghadapi berbagai peristiwa. Umat Islam berkontribusi besar pada ilmu kedokteran dan kesehatan, karena dalam sejarah jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, juga tidak lepas dari wabah penyakit menular.

Saat ini Covid (Coronavirus disease)-19 yang disebabkan oleh virus korona (corona) mewabah di seluruh dunia. Dalam waktu singkat Covid-19 menginfeksi manusia dari berbagai semua ras, agama, bangsa, dan negara, termasuk di negara-negara muslim, negara berpenduduk mayoritas muslim. Seluruh negara muslim di Timur Tengah dan Afrika tidak ada yang bebas dari wabah ini. Dua negara muslim besar di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia pun sama.

Menghadapi Covid-19, negara-negara di dunia mengambil langkah cepat untuk mengendalikan penyakit ini, dengan menutup wilayah, melakukan pembatasan, pemberlakuan kondisi darurat, hingga lockdown wilayah dan negara. Ini bukanlah sesuatu yang asing bagi negara-negara muslim, karena Nabi Muhammad saw mengajarkan, kalau ada wabah penyakit di suatu daerah, jangan ke sana, orang yang ada di daerah itu juga keluar.

Di samping itu, dunia juga diributkan dengan riset untuk menghasilkan obat atau vaksin. Pasalnya sampai sekarang para ahli dan perusahaan farmasi belum berhasil membuat obat untuk menyembuhkan korban. Para ahli dan perusahaan farmasi di beberapa negara berlomba melakukan riset untuk menghasilkan vaksin, sebutlah Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Israel, Tiongkok/China, Korea Selatan, dan Jepang. Dari daftar itu, tidak ada negara muslim yang menyatakan sedang melakukan riset untuk menghasilkan vaksin Covid-19. Di Indonesia pun samar-samar.

Baca Juga:RECULER

Di Indonesia, sebagian umat Islam masih ribut tentang seruan untuk sementara tidak beribadah di masjid, padahal di negara-negara Timur Tengah, masjid sudah lama ditutup. Dua tempat paling suci bagi umat Islam di muka bumi ini, Masjidil Haram dan Masjid Nabi (Masjid Nabawi) pun ditutup untuk umum. Ajaran Islam sudah sangat antisipatif, sholatlah di rumahmu (shollu fii buyutikum).

Sebagian agamawan juga melihat Covid-19 sebagai azab dari Tuhan atau murka alam. Bahasa seperti ini selalu muncul ketika ada bencana alam, gunung meletus, gempa, tsunami, dan lainnya. Padahal Nabi Muhammad saw telah mengajarkan cara menghadapi wabah penyakit menular, seperti saat ini Covid-19. Sahabat nabi setelahnya juga menerapkan ajaran nabi, termasuk mengembangkan ilmu dan teknologi kedokteran dan kesehatan untuk menghadapi wabah penyakit.

Belajar Cuci Tangan di Negeri Air
Salah satu cara untuk mencegah Covid-19 adalah mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Anjuran mencuci tangan kelihatannya sederhana dan lucu. Apalagi bagi umat Islam yang memang harus selalu cuci tangan dan lainnya ketika berwudhu. Tapi ini penting karena setiap saat tangan kita digunakan untuk memegang dan selalu digunakan menyentuh wajah, apakah mengusap keringat, mengupil hidung, memasukkan makanan ke dalam mulut, dan sebagainya, sementara virus korona dapat menginfeksi melalui tetesan hidung dan mulut.

Karena perkara anjuran cuci tangan, termasuk badan dunia sekelas WHO (World Health Organization), kita jadi tersadar betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. Penyemprotan dengan disinfektan dan pembersih tangan selalu harus ada air.

Adanya kehidupan di bumi ini karena ada air. Proporsi air pada tubuh manusia adalah 60-74 %. Di bumi, total volume air diperkirakan mencapai 1,385 milyar km3, sedangkan proporsi permukaan air laut di bumi adalah 71,11 %. Lautan juga merupakan persentase terbesar jumlah air di dunia dalam siklus hidrologi. Artinya, kehidupan di muka bumi ini bergantung pada air, baik air laut maupun air di darat.

Dalam Islam, air menempati posisi penting. Air bukan hanya medium pembersih secara fisik, misalnya untuk mandi atau mencuci pakaian. Lebih dari itu, air adalah medium untuk menyucikan diri dari kotoran nonfisik (hadas) yang menghalangi sahnya shalat. Air adalah media untuk berwudhu, padahal agama Islam diturunkan di sebuah tempat kering (gurun), di mana air sangat sulit dicari. Debu (pasir halus) yang tentu saja lebih mudah ditemukan di gurun justru hanya berfungsi sebagai pengganti jika air sama sekali tidak ada (tayamum) (Saidi, 2015).

Karena itu, menghadapi Covid-19 seharusnya umat Islam lebih positif, tidak panik. Pasalnya paling sedikit lima kali sehari dalam mencuci tangan ketika berwudhu. Apalagi umat Islam di Indonesia, bersyukurlan karena hidup di negeri air. Ajaran Islam turun di negeri gurun yang gersang, tapi mengajarkan umat untuk bersuci dengan air.

Selalu ada Hikmah
Kita selalu diajarkan untuk selalu positif menghadapi suatu peristiwa, sekalipun itu buruk, seperti Covid-19. Penyakit ini ternyata tidak banyak menginfeksi anak-anak, tetapi mayoritas menginfeksi orang dewasa, dan yang paling banyak meninggal adalah orangtua yang mempunyai penyakit bawaan.

Anak-anak mempunyai pikiran dan perasaan yang selalu positif, sehingga tubuh mereka mempunyai imunitas. Anak-anak juga tidak berpikir akan sakit dan mati karena Covid-19. Anak-anak juga selalu ikhlas, tulus, dan pemaaf, sehingga pikiran dan tubuh mereka selalu sehat dan imun.

Kita juga menyaksikan bagaimana polusi berkurang di seluruh dunia karena hampir semua kendaraan di dunia dikandangkan. Udara menjadi lebih segar dan sehat, sementara air di sungai, danau, waduk, dan sebagainya menjadi lebih jernih.

Eksploitasi terhadap alam dan manusia berhenti sebentar, karena sebagian besar manusia mengurung diri di dalam rumah. Pemerintah di seluruh dunia saat ini memikirkan rakyat kecil yang selama ini dieksploitasi. Di Indonesia, anggaran negara (APBN, APBD, APB Desa) yang biasa dirampok/dicuri dan dihambur-hamburkan untuk perjalanan dinas, sekarang direalokasi untuk penanganan Covid-19.

Harus diingat, rakyat kecil itu harus dilindungi, hak-haknya harus diberikan oleh negara, bukan dieksploitasi dan dimiskinkan. Nabi Muhammad saw tidak hanya mencela dan ketidakadilan sosial-ekonomi, tetapi juga aktif menghapus praktik lintah darat, riba, perjudian dan praktik-praktik ekonomi eksploitatif lainnya.

Al-Quran sebagai titik-tolak gerakan Nabi Muhammad saw menggempur ketidakadilan itu dengan ayat-ayat yang tegas dan “keras”. Dalam harta kekayaan yang dimilikinya itu ada hak bagi golongan fakir dan miskin” (QS. 51/Adz dzaariyat:19) atau ayat yang menyerukan distribusi kekayaan. “Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS.59/Al Hasyr: 7). Farid Esack (2000) menyatakan, Al-Quran ketika menyebut golongan lemah selalu menggunakan kata-kata yang menunjuk pada status sosial tertindas, seperti mustadh’afun (kaum lemah) atau aradzil (yang tersisih). Berlawanan dengan itu adalah kelas-kelas yang dominan dan berkuasa, dan Al-Quran menyebutnya sebagai mala’ (penguasa atau aristokrasi), mutrafun (yang hidup mewah) dan mustakbirun (yang takabur atau sombong).

Karena itu, Covid-19 harus membangunkan umat Islam di seluruh dunia untuk dua hal. Pertama, mengembangkan ilmu dan teknologi untuk kemajuan umat, termasuk ilmu kedokteran untuk menghadapi penyakit dan bencana apa pun. Kedua, mengubah anggaran di negara masing-masing untuk keadilan sosial-ekonomi, dan pemajuan ilmu dan teknologi.[]