Niat membangun Maluku Utara dengan beragam perspektif menjadi potensi kekuatan yang menggeneralisasi pola pembangunan dalam kacamata bidang keilmuan yang berbeda-beda. Jika pembangunan dinilai yang hanya pada sisi terbangun, maka kita akan diperhadapkan dengan efek tercipta daya bangun secara fisik. Namun, jika kita melihat pembangunan dalam konteks kesejahteraan maka akan bermuara pada kebijakan. Hal-hal semacam ini pastinya mengarah pada kinerja dan ketepatan untuk memperoleh hasil dari sebuah pembangunan. Kesibukan kita hanya melihat pada proses yang menyebabkan dampak, bukan visi besar sebagai cita-cita.
Mungkin saja, masalah pertambangan yang menuai efek dilematis antara pendapatan dan kerusakan lingkungan menjadi konkrit dari benang merah yang mengharuskan kita memliki alternatif untuk mencoba mengakali cross sector atau menyebrang pada sektor unggul lainnya dan menekan birokrasi agar tidak tunduk pada sebuah sistem besar. Tapi apalah daya, sentralisasi pembangunan masih dalam “intruksi satu tombol” yakni masih seputar selera pemerintah pusat.
Sejatinya, saat ini jika kita mengabaikan persoalan pertambangan dan lingkungan, kita pun akan kehilangan roh dari pembangunan Maluku Utara. Maka terlepas dari itu, upaya kita adalah menggeser arah peruntukan pembangunan kita untuk membangun pada sektor terbangun lainnya. Adapun teori yang mendukung dari M. L. Dantwala dan K. N. Raj, 1970. Mereka bersepakat bahwa “self-reliant development,” menekankan pada pembangunan yang berfokus pada kemampuan dan sumber daya internal suatu negara atau komunitas, daripada bergantung pada bantuan luar atau investasi asing. Beberapa aspek kunci dari teori ini meliputi:
1. Penguatan Kapasitas Lokal: Mendorong pembangunan melalui penguatan kapasitas dan sumber daya lokal. Ini termasuk peningkatan keterampilan, teknologi, dan infrastruktur yang ada di dalam negeri.
2. Kemandirian Ekonomi: Meningkatkan produksi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor serta investasi asing. Ini bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang lebih resilien dan mandiri.
3. Pemberdayaan Masyarakat: Fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal agar dapat terlibat aktif dalam proses pembangunan. Ini melibatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan proyek pembangunan.
4. Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Budaya Lokal: Memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan dan menghargai budaya serta tradisi lokal dalam proses pembangunan.
5. Desentralisasi: Mendorong desentralisasi kekuasaan dan tanggung jawab kepada pemerintah lokal untuk memastikan bahwa keputusan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas lokal.
Teori ini sering dikaitkan dengan pendekatan yang lebih otonom dan berkelanjutan dalam pembangunan, serta berusaha mengurangi ketergantungan pada bantuan luar dan mempromosikan ketahanan ekonomi dan sosial jangka panjang. Akan tetapi, sebuah teori akan lebih renyah dibaca dan dirumuskan, tapi kenyataannya kita belum tentu mampu mengaplikasikannya.
Sejak awal, para ilmuwan dan para aktivis Maluku Utara sudah banyak mengulas dan membuat spesifikasi problematika yang ada, mendefinisikan dengan berani ke hadapan para pemangku kepentingan, tapi apalah daya masih behenti pada kebijakan-kebijakan birokrasi yang terbatas. Lagipula, kebobrokan perencanaan visi besar masih terlihat dalam pelbagai sektor. Kita hampir tidak memiliki arah dalam merencanakan pembangunan Maluku Utara yang lebih adil. Walaupun dokumen perencanaan yang telah dirumuskan, hanya terpampang di rak atau meja kantor para birokrat. Disisi lain, kabupaten/kota pun masih menyimpan ego-sektoral untuk membangun batas wilayahnya masing-masing. Sebenarnya, itu langkah yang tepat, namun sayangnya disatu sisi, ini adalah “dilematis” dalam konteks kordinasi pembangunan. Jika kita merujuk pada Gery Marks, politisi di era 1990-an, teori yang dia ungkapkan yakni Multi-Level Governance, yang menekankan pada daya relevan dalam pembangunan daerah karena menekankan kolaborasi antara tingkat pemerintahan yang berbeda, termasuk antar kabupaten/kota, untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih efektif dan inklusif. Akan tetapi, teori itupun dikritik oleh Guy Peters dan Jon Pierre yang menulis buku terbitannya tentang Governance, Politics and the State, 1990. Mereka mengungkapkan kritik terhadap Gery Marks dengan menyebutkan harusnya dipakai ialah teori kompleksitas dan fragmentasi, bukan teori tentang Multi Level Governance yang dapat memperumit proses pemerintahan. Dengan adanya berbagai level pemerintahan, kebijakan dapat menjadi lebih kompleks dan terfragmentasi, karena akan menyebabkan kebingungan tentang siapa yang bertanggung jawab.
Kita kembali lagi untuk membangun Maluku Utara. Sama halnya membangkitkan roh perjuangan kembali. Menerusukan tetesan keringat para pendahulu dalam memekarkan daerah ini. Namun, sulit mencari definisi yang tepat untuk kita dapat menentukan arah pembangunan. Misalnya saja, pembangunan DOB Ibu Kota Sofifi sampai hari ini masih belum jelas arahnya. Kita masih berkutat pada defenisi-definisi pembangunan yang multi dimensional. Tidak ada kofukusan yang mendasari keuntungan bagi pembangunan. Birokrasi Provinsi Malut dengan dekadensinya masih belum bisa menjawab tantangan ini.
Pertanyaannya sederhana, jika pertambangan menjadi isu untuk keuntungan negara dan daerah, kenapa kita tidak bisa ambil bagian dan menyepakatinya untuk membangun Kota Sofifi? Apakah bisa kita menyepakati bersama dari kabupaten/kota yang masuk dalam deliniasi itu bersepakat bahwa Sofifi harus menjadi sentral the new capital city untuk Maluku Utara, agar roda ekonomi dan pembangunan bisa berputar di kepulauan Halmahera, dan tidak tertumpuk lagi di Kota Ternate semata. Saya kira, ini yang dinamakan sebagai cross sector yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maupun cross interest yang nantinya punya keseimbangan keuntungan dari masa eksplorasi tambang hingga keuntungan untuk pembangunan Kota Sofifi, tanpa mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Misalnya saja, jika kita mengalihkan pandangan sedikit saja pada perencanaan dan mega proyek negara untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan. Negara harus bersusah payah menarik semua kepentingan untuk fokus membangun IKN. Lalu kenapa daerah kita tidak bisa, memakai formulasi semacam ini, padahal kita punya sumber daya alam yang sangat mampu untuk merealisasikannya, tanpa mengabaikan sektor lainnya.
Masih ada sebuah keyakinan, ini bisa terlaksana jika birokrasi dan pemimpin kita punya nyali besar dan berdiri atas dasar otonom. Begitu pula keyakinan yang ada, bahwa kita belum mampu untuk mempertagaskan hal itu. Kita masih dikontrol. Mudah-mudahan refleksi pertanyaan di atas mengenai pembangunan masa depan pertambangan di Maluku Utara dan pembangunan Kota Sofifi sebagai Ibu Kota, dapat mampu menjadi pemantik bagi pemimpin ke depan. Janganlah menghabiskan energi kita untuk membahas konteks pembangunan yang bisa menjadi bias kemana-mana, kita fokus pada tujuan demi cita-cita kesejahteraan di Maluku Utara.
Dalam momentum politik yang tinggal beberapa minggu lagi, kami punya harapan baik agar tidak ada lagi terminologi pembangunan yang membingungkan, tapi seharusnya mempunyai ketepatan perencanaan dalam jangka pendek untuk mempertagas kekuatan yang kita punya, mengambil hak dari pertambangan untuk membangun Ibu Kota Sofifi sebagai sentrifugal dan sentripetal ekonomi Maluku Utara, dan lagipula ini sebagai harga diri provinsi seutuhnya. Terkahir, Saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Jhon F Kennedy dalam quotes populernya untuk para pemimpin Maluku Utara berikutnya, “We campign with poetry, but we govern with prosa”. (Kita berkampanye dengan puisi, tapi kita berpemerintah dengan prosa).
Semoga kita lebih adil untuk memilih penerus pemimpin berikutnya atas dasar niat untuk membangun Maluku Utara tanpa banyak defenisi, dan yang paling terpenting bukan mencari sosok pemimpin yang menambah niat investasi yang hanya berdampak pada keuntungan pribadi semata.
Tinggalkan Balasan