Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K
Ilmuwan besar muslim Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun (1332-1406) yang terkenal dengan nama Ibnu Khaldun, di dalam karyanya yang sangat terkenal Mukaddimah menulis, “begitu kita temukan orang-orang yang terbiasa dengan kemakmuran, baik dari masyarakat pedalaman maupun perkotaan, lebih cepat binasa daripada lainnya ketika mereka menemui masa paceklik dan kelaparan.”
Ilmuwan yang berkontribusi besar dalam ilmu sejarah dan sosiologi ini mengamati jatuh bangunnya bangsa-bangsa di dunia, termasuk runtuhnya negeri-negeri muslim, tidak hanya karena perebutan kekuasan dan serangan bangsa lain, tetapi karena kemakmuran.
Kebinasaan dan kemusnahan orang-orang yang terbiasa dengan kemakmuran bukan hanya karena paceklik dan kelaparan, tetapi kekenyangan dan penyakit. Menurut Badan Pangan dan Pertanian/Food and Agricultural Organization (FAO), saat ini ada sekitar 800 juta orang menderita gizi buruk dan kelaparan di muka bumi.
Tapi jumlah orang yang kelaparan lebih sedikit daripada jumlah orang kekenyangan. Pada tahun 2014 diperkirakan lebih dari 2,1 milyar orang kelebihan berat badan karena kekenyangan. Diperkirakan pada tahun 2030, setengah dari populasi manusia (sekitar 3,5 milyar) kelebihan berat badan. Artinya orang yang mati karena kekenyangan lebih banyak dari yang kelaparan. Pada tahun 2010, kelaparan dan gizi buruk menyebabkan sekitar 1 juta orang meninggal dunia, sedangkan obesitas menyebabkan 3 juta orang meninggal dunia.
Selain obesitas, penyakit tidak menular dan paling mematikan di dunia adalah diabetes. Penyakit ini membunuh manusia karena pola makan juga, alias kekenyangan, obesitas, dan kurang gerak. WHO (World Health Organization) mencatat terdapat 1,5 juta kematian akibat diabetes di seluruh dunia pada 2012. Federasi Diabetes Internasional memperkirakan pada 2035 penderita diabetes di dunia menjadi 592 juta dari semula 382 juta pada tahun 2012. Sementara Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan prevalensi diabetes terdiagnosis dokter sebesar 1,5%. Artinya jika penduduk Indonesia 249,9 juta jiwa saat itu, maka penderita diabetes mencapai 3,7 juta orang.
Makhluk Domestik yang Rentan
Obesitas dan diabetes adalah “penyakit domestikasi”, penyakit yang diderita manusia karena pola makan dan kekenyangan, serta berdiam di dalam rumah. Menurut Yuval Noah Harari (2019) bukan manusia yang mendomestikasi tanaman pokok seperti gandum, tetapi gandum yang mendomestikasi manusia. Kata “domestikasi” berasal dari kata Latin domus yang berarti “rumah”, siapa yang hidup dalam rumah, manusia.
Awalnya manusia adalah pemburu-pengumpul, karena itu manusia adalah makhluk omnivora yang memakan berbagai macam makanan. Ketika berubah menjadi makhluk domestik, manusia berubah menjadi makhluk yang memakan makanan yang terbatas, atau mengubah pola makan menjadi pemakan makanan pokok, jadilah manusia menumpukkan penyakit di dalam tubuhnya.
Ketika kekenyangan dan menjadi makhluk rumahan alias kurang bergerak, tubuh manusia menjadi rentan sakit dan mudah terinfeksi penyakit. Segala penyakit bersarang di dalam perut, memang tidak menular tetapi menjadikan manusia rumahan berumur pendek.
Manusia yang hidup di kota-kota besar adalah manusia yang hidup di dalam rumah yang sebenarnya. Semua aktivitas dilakukan di dalam ruangan, sehingga sangat sedikit bergerak. Di daerah tropis yang panas dan lembap, manusia bahkan mengubah cara hidup dengan mengurung diri di dalam ruangan berpendingin atau ber-AC (air conditioner), yang tidak hanya mengubah suhu tubuh, tetapi juga merusak lingkungan.
Jadilah manusia sebagai makhluk yang sangat rentan sakit dan terinfeksi penyakit. Lihatlah jumlah orang-orang yang terinfeksi Covid (Coronavirus disease)-19, adalah orang-orang kota. Memang penyakit ini menginfeksi siapa saja, tapi orang-orang kota dan kelas menengah mempunyai tubuh telah terkondisi sebagai sarang penyakit.
Panik dan Takut, Tidak Berlebihan.
Jika kita melihat data-data di atas, maka Covid-19 yang mewabah di seluruh dunia saat ini, bukanlah ancaman baru terhadap manusia. Memang penyebaran Covid-19 sangat cepat, tetapi mereka yang sembuh dari penyakit ini pun lebih banyak. Beberapa negara telah berhasil mengatasi Covid-19 dengan jumlah kematian yang sangat sedikit.
Penyakit Covid-19 membuat panik dan menakutkan. Apalagi setiap hari kita disodori angka-angka jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal. Tapi kepanikan dan ketakutan yang berlebihan harusnya tidak perlu terjadi, karena Covid-19 adalah penyakit yang dengan cepat diketahui, sehingga dengan cepat dikeluarkan protokol untuk pencegahan.
Tinggal manusia sendiri, mau atau tidak mematuhi protokol, seruan, dan himbauan yang dikeluarkan itu. Negara-negara yang mampu mengatasi Covid-19 adalah negara yang warga negaranya lebih “mudah” diatur, sementara pemerintahnya bergerak cepat dan tegas. Negara-negara itu sering dicap sebagai otoriter dan tidak demokratis. Sebutlah, Tiongkok,/China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, dan negara-negara Arab di Teluk.
Sementara negara-negara demokratis, maju, dan makmur justru kewalahan menghadapi Covid-19, sebutlah Italia, Spanyol, Perancis, dan Amerika Serikat (AS). Negara-negara tersebut dikenal mempunyai sistem kesehatan dan kedokteran sangat maju, di samping mempunyai sistem birokrasi moderen yang dapat diandalkan.
Belajar & Optimis
Sebagai negara maju dan makmur, seharusnya negara-negara tersebut dapat diandalkan dalam menghadapi Covid-19. Fasilitas kesehatan, tenaga medis, hingga berbagai dukungan lainnya dengan mudah disediakan. Tetapi ketika menghadapi jumlah korban yang tinggi, negara-negara tersebut terlihat kewalahan, tidak berbeda dengan negara-negara berkembang.
Apa yang perlu dijadikan pelajaran dan renungan dari Covid-19 dan kegagapan negara-negara maju menghadapi penyebaran penyakit tersebut. Pertama, Covid-19 muncul di tengah kemakmuran berbagai negara dan bangsa di dunia. Kemakmuran, sebagaimana diingatkan Ibnu Khaldun, tidak selalu merupakan pencapaian peradaban, tetapi boleh jadi merupakan puncak menuju kebinasaan dan kemusnahan. Pasalnya, kemakmuran tidak selalu dicapai dengan kerja keras, tetapi karena eksploitasi terhadap manusia dan alam.
Kedua, Covid-19 adalah penyakit yang muncul di tengah puncak pencapaian ilmu kedokteran dan kesehatan. Akan tetapi, vaksin atau obat untuk penyakit Covid-19 tidak mudah dihasilkan di tengah kemajuan sains dan teknologi yang dianggap spektakuler saat ini. Justru, keberhasilan pencegahan dianggap sebagai cara efektif penanggulangan Covid-19. Di samping itu, orang-orang yang mempunyai kekebalan tubuh yang baik, akan sembuh dengan sendirinya. Orang-orang yang berpikir positif juga akan sembuh, termasuk anak-anak yang tidak stress dengan Covid-19 juga tidak mudah terinfeksi.
Pelajaran penting yang perlu diambil adalah, peningkatan kesehatan warga berbasis peningkatan kekebalan dan hidup sehat tetap terdepan. Pola makan masyarakat yang tidak sehat, yang memakan makanan instan, harus diubah untuk mengonsumsi makanan yang sehat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bisnis raksasa kesehatan dan kedokteran yang dikuasai oleh negara-negara makmur dan kaya. Sebagai negara, Indonesia tidak boleh bergantung pada bisnis tersebut, tetapi harus mengembangkan kemampuan sendiri. Pemerintah juga harus mengubah pendidikan kedokteran, yang makin lama menjadi pendidikan eksklusif, yang hanya menampung orang-orang kaya. Jangan heran kalau orang miskin tidak hanya takut ke rumah sakit, tetapi juga ditolak dan ditahan rumah sakit, karena tidak bisa membayar. Bagi orang beragama dan berakal, ini teguran dan peringatan keras.
Ketiga, Covid-19 adalah penyakit yang muncul di tengah kerusakan alam yang luar biasa, karena eksploitasi dan kerakusan manusia tanpa batas. Penyakit dan bencana alam adalah cara kerja atau mekanisme alam untuk menyeimbangkan alam, sekaligus memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Karena Covid-19 udara semakin bersih, polusi berkurang, air makin bersih dan jernih.
Keempat, penyakit bukan hanya soal medis, karena itu negara-negara maju pun kewalahan menghadapi Covid-19. Negara-negara maju hanya mengandalkan kemampuan sains kedokteran semata dalam menghadapi penyakit. Seruan pemerintah agar warganya tinggal di dalam rumah tidak efektif, karena mereka yakin dengan kemampuan negaranya. Tentu kita tidak ingin seperti negara-negara tersebut, apalagi negara kita mempunyai fasilitas kesehatan yang terbatas.
Kita harus selalu belajar dan membangun optimisme dalam menghadapi kondisi saat ini. Bangsa dan negara ini mempunyai budaya gotong royong, yang merupakan modal sosial besar, dan menjadi kekuatan bersama untuk selalu bangkit dalam menghadapi berbagai masalah.[]
Tinggalkan Balasan