PADA mulanya berawal dari ketidakcapakan pemerintah melindungi rakyat dari bahaya Covid-19. Banyak negara berusaha menutup arus manusia masuk dari negara-negara yang telah diharu-biru Corona. Pemerintah Indonesia malahan membuka pintu toris masuk. Tiket pesawat justru disubsidi demi dunia parawisata tidak bangrut.
Setelah kasus Corona positif hadir di Indonesia, barulah pemerintah panik menanggulangi Covid-19. Keangkuhan yang diperagakan melalui serangkai pernyataan tidak masuk akal, seperti “Orang Melayu memiliki kekebalan tubuh yang ‘aneh” sehingga tidak mungkin di jangkiti virus corona”, runtuh tiba-tiba. Tetapi, mereka yang sombong itu tidak merasa keki, setelah dipermalukan Corona.
Seturut itu, semua orang diajak untuk lebih sadar agama. Tokoh agama dimobilisasi untuk mengimbau umatnya ikut mencegah penyebaran Corona. Para kiai dan ustad sibuk membuat pembenaran, mengutip kisah yang dipraktekan Nabi dan para sahabat. Fatwa Umar bin Khattab diresitasi, dan menjadi populer. “Menghindari daerah telah diserang wabah adalah mengindari satu takdir untuk mengambil takdir lainnya”. Takdir, menurut Umar, adalah hasil dari sebuah pilihan. Apa faedanya mengutip kisah Umar jika orang-orang tetapi bebas keluar-masuk antardaerah yang belum dan telah dinyatakan prositif Covid-19.
Mengutip Umar mengingatkan saya pada kelas-kelas ilmu kalam, terutama terhadap diskusi-diskusi rasionalisme kaum mu’tazilah. Bagi kaum mu’tazila, takdir adalah kejadian yang diterima manusia dari Tuhan setelah manusia berikhtiar. Berangkat dari prinsip al-adl, kaum mu’tazila berpandangan bahwa “Tuhan Yang Maha Adil, mustahil memberikan sesuatu kepeda manusia sesuai keinginan-Nya sendiri. Tuhan memberikan sesuatu kepada manusia berdasarkan ikhtiar mereka. Sebab, sejak awal Tuhan telah memberi kehendak bebas (free will) kepada manusia. Satu pandangan yang berselaras dengan cara Umat “menghindari satu takdir untuk mengambil takdir lain”.
Itulah sebabnya, ketika membaca fatwa kiai dan ustadz yang disandarkan kepada Umar, saya merasa geli. Bukan apa-apa, selama ini mereka mengaku sebagai Ahli Sunnah, yang sangat sering menganggap Mu’taziala, selain Syiah, adalah sesat. Kita tahui, Ahli Sunnah sebagai salah satu aliran pemikiran dalam Islam menganggap takdir mutlak menjadi ketentuan Allah. Dalam soal takdir, tidak ada free will bagi manusia. Sedangkan Umar yang mereka kutip mengakui kehendak bebas manusia.
Itu pula mengapa, banyak orang Islam seakan tidak hirau pada anjuran pemerintah untuk memutus rantai Covid-19 dengan cara men-“di rumah saja”-kan tubuh. Ajakan ulama agar shalat “di rumah saja” pun seperti membentur tembok. Orang-orang tetap shalat di masjid seakan tidak ada apa-apa terjadi di sekeliling mereka. Hal itu terjadi karena mereka sudah terlalu terpapar dengan konsepsi takdir ala Ahlu Sunnah, yang menggap takdir adalah hak prerogatif Allah.
Jadi, apakah djama’ah masjid adalah warga negara yang bandel; warga negera yang tidak mengamalkan ayat al-Qur’an yang memerintah “taat pada pemimpin”? Terlepas dari perdebatan “hrf waw” pada “wa ulil amr” – “waw ma’iyah”, wa (dan) yang memberi syarat tertentu untuk taat pada pemimpin, kegairahan berjamaah di masjid di tengah teror Corona harus dianggap pilihan sulit — antara mempertahankan iman atau memilih maut.
Asumsinya. Covid-19 sudah menempel di mana-mana, bisa disebarkan siapa saja, Maka, ke mana pun Anda pergi akan berpapasan dengan Corona. Selain mereka yang bersin dan yang batuk, gagang kunci pitu rumah saja, mesti dicurigai menjadi media penyebaran Corona. Apalagi gagang pintu, lantai, dan dinding madjid, harus dipercaya tempat persembunyian Covid-19.
Jadi, bayangkanlah, betapa repotnya menghidari kematian akibat Corona. Maka, dari pada repot-repot menghidari Corona yang belum tentu mematikan, pilihan tersisa adalah pepmerjuangkan iman di masjid. Dengan kata lain, karena di mana pun dan kapan pun kita bisa terinvesi oleh Covid-19, adalah lebih baik memperjuangkan iman di masjid. Dalam konteks ini, sikap Nabi Ayub yang bersabar dengan penyakit memang harus ditiru. Sayangnya, para pengkhotbah lupa substansi do’a Nabi Ayub. [Setidaknya dua kali saya temukan khotbah yang meresitas kisah sakit Nabi Ayub pada dua jumat di dua mesjid berbeda]. Nabi Ayub berdoa bukan karena penyakit yang sudah terlalu menyiksanya. Do’a-nya adalah keluhan bahwa penyakit yang dialami telah mengganggu ibadahnya. Nabi Ayub berdo’a diberi kesehatan bukan untuk menyamanan hidup; melainkan doa itu adalah ungkapan rasa rindu terhadap kenyamanan ibadah yang khusuk.
Adakah do’a kita, yang merupakan upaya menersukan ajakan para kiai, ustadz, dan pemerintah, agar bencana Corona-19 segera diselesaikan oleh Allah, dikaitkan dengan rasa rindu pada kegembiraan shalat berjama’ah? Jika do’a kita dimaksudkan semata-semata kebebasan bergerak di ruang-ruang publik kembali ramai; dan apalagi jika dalam do’a itu diselibkan juga hasrat ekonomi nasional segera pulih, saya cukup nyaman mengatakan: Adalah absurd mengutip kisah Nabi Ayub menjadi batu tumpu berdo’a, sambil mengajak orang-orang sabar. Atau, ajakan itu punya manfaat, tetapi tidak membuat batin kita empuk.
Tinggalkan Balasan