Oleh: SUDARMAN M.N. TINAMBA (CAMERAD SAMURAI)
Apa yang ditulis oleh Dede Mulyanto (2011:129) dalam politik pengetahuan bahwa
“semua tatanan sosial masyarakat berkelas berlandaskan pada penindasan dan penghisapan. Supaya landasan ini tetap utuh, orang dibuat ‘sadar’ untuk tidak menyadari landasan masyarakat tersebut bila kelas berkuasa hendak melanggengkannya”.
Melihat belakangan konflik politik yang berlatar belakang perebutan kekuasaan dan
sumber daya manusia sudah sejak dahulu mewarnai sejarah peradaban. Faktanya, kita sudah menyaksikan atau mendengar betapa konflik politik telah memicu institusi reformasi pada tahun 1999-2000, khusus di Maluku Utara. Dan konflik itu berakhir dengan kemenangan para elite politik yang kian kuat cengkraman kekuasaan hadir sebagai pewaris proyeksi politik colonial devide et impera (politik pecah belah) telah membawa isu sara yang kian kuat dipakai.
Memahami bahasa politik yang sering didiskusi bahwa politik itu ‘seni’ bukan seni
Menipu, tetapi seni dalam memahami citra sosial. Sejatinya para elite mampu menyikapi politik yang akan membawa visi dan misi rakyat. Namun, kebebasan dalam berpolitik tanpa memfilterkan realitas sosial dengan akal sehat akan mendoktinkan lapisan masyarakat memahami politik itu tak lain adalah konflik demokrasi yang pada ujungnya finansial cenderung sebagai jaminan dalam jual beli suara yang sudah membudayakan.
Ingatan sejarah konflik politik secara vertikal diatas bahwa pertarungan elite politik
pragmatis dalam kekuasaan parpol memainkan strategi dengan kehendak untuk mencapai sebuah kekuasaan pemerintahan. Mulai dari pemerintahan secara luas maupun pemerintahan secara sempit. Ironisnya, membuat masyarakat kolaps dalam nuansa politik yang kemudian itu memicu kekuatan modal yang mengendalikan cara berfikir. Selain modal, wacana para aktor politik dari satu kelompok dan kelompok lainnya saling kontradiksi.
Ruang Kuasa Para Elite
Hoogewerf dalam bukunya sosiologi dan politik yang ditulis oleh Philipus dan Nurul Aini (2004;90), mendefinisikan politik sebagai pertarungan kekuasaan. Seperti hal biasa yang mengharuskan dalam ruang demokrasi. Selabaran baliho bertebaran disudut kota dan kabupaten yang kemudian muncul elite politik berwajah baru maupun wajah lama yang tidak asing lagi di mata masyarakat. Hadir dengan gaya bahasa yang laris di tiap-
tiap baliho yang berbeda. Memperkenalkan diri yang searah menyambut pesta demokrasi
Pemilihan kepala daerah (pilkada) berjalan pada tahun 2020 yang tinggal menunggu hitungan bulan. Kerapkali kebiasaan yang dipakai yakni, politik uang (money politicial) yang sudah menjadi budaya. Sejalan tingkat apatisme pemuda dalam berpolitik pragmatis, keterlibatan aparatur sipil negeri (ASN) dalam politik, maupun nuansa politik yang paling tegang ketika strategi yang dimainkan dengan isu-isu provokator dalam media sosial. Saling mengklaim kepentingan antara kelompok satu dengan lainnya maka, praktek politik ini terlihat seperti momok yang menakutkan.
Koresnpondensi demokrasi masi terus berjalan lantas, uang dan basis suara menjadi donatur dalam kesepakatan politik. Mentanda tangani surat pernyataan materai 6000 sebagai kontrak tawar menawar proyek pembangunan yang dipakai antara elit politik dan pengusaha besar. Begitupun inisiatif tim sukses, birokrasi pemerintah, politisi, dan parpol, menjadi kekuatan untuk mendapatkan kemenangan demokrasi. Acuan realitas politik berjalan benar-benar memengaruhi rakyat kelas bawa sebagai basis suara dan politik dijadikan instrument kekuasaan hingga rakyat diajak tertib pada negara.
Memaknai perubahan kekuasaan ketika geriap aktor politik kita tetap yang sama, praktek institusi yang korup yang memang cenderung tinggal menunggu waktu saja untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan sehingga melahirkan kekuasaan yang salah arah dan salah kapra dalam memotori kebijakan. Memahami institusi politik ektraktif sangat berbeda dengan institusi politik inklusif seperti yang dipakai oleh megara maju. Sederhana ini yang bagi elit politik harus meletakan gelombang institusi politik sehingga kekuasaan bisa dimengerti oleh rakyat.
Institusi politik mengikat dengan kebijakan yang akan dijalankan oleh penguasa dalam
membuka keran peradaban sosial. Melihat jika pendapatan daerah dilihat dari kekayaan alam, secara hukum mentandatangani Ijin Usaha Pertambangan (IUP), mengahdirkan perusahan sawit, PT. Ilegal Loging (Kayu Bulat) maupun Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang bekerja sama dengan kaum modal secara intens akan membuka ruang kapitalis sebagai proses reproduksi ekonomi. Tanpa meluruskan kebijakan secara regulasi maka, perampasan ruang ekonomi mulai merusak tatanan sosial dan geografis. Ketika lambat laun investasi yang sedang membabat habis sumber daya lokal karena kerakusan investor asing tanpa meninggalkan yang tersisa untuk kepemilikan generasi kedepan.
Sementara orientasi pemerintah hadir sebagai penarik pajak dan sumber pengelolaan kekuangan untuk kepentingan rumpun tanpa pemberdayaan rakyat secara kolektif. Jika tidak sadar negara dikendalikan oleh kekuatan modal bangsa asing dan pada akhirnya negara terputar-putar dengan hutang yang berkepanjangan. Politik dalam instrument kekuasaan penulis mencoba memahami secara inklusif yang memang dibangun pada dasarnya pertama, membuka kebebasan literasi politik pada rakyat untuk memahami bahwa politik itu seni yang sedari selama ini cenderung melihat tetek bengek elit birokrasi dan kerakusan modal terus berjalan. Kedua, kebebasan politik yang diberikan kepada rakyat untuk memilih dan memakai akal sehat dalam melihat visi elit politik sebagai penyambung aspirasi rakyat ataupun bersaing secara kompetitif. Pasalnya, pemilahan masyarakat tani, nelayan, kaum buru, dan pengangguran agar menjadi prioritas kekuasaan untuk mengatur hak-hak kesejahteraan dari belenggu kemiskinan ekonomi. Kehadiran politik terhadap indikasi pemerintah itulah yang mempunyai kewenangan dan kemampuan meletakan etika praktis. Sebagaimana etika intelektual itu yang mengubah kebobrokan kekuasaan agar menjadi motor penggerak untuk meluruskan kebijakan ditengah fenomena sosial. Dengan kata lain, kekayaan alam yang berlimpah dan peningkatan sumber daya manusia terus berlangsung. Maka, kekuasaan pemerintah dan pihak swasta harus berjalan searah dalam sistem tanpa saling mendominasi yang dikontrol lembaga hukum secara ketat.[]
Tinggalkan Balasan