Oleh: Dr. Soleman Saidi, M.Si, (Dosen Matematika Unkhair & Sekum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah MAluku Utara)

Istilah populer yang sering muncul di publik pada saat pemilukada dan actionnya sangat ditunggu-tunggu oleh sebagaian masyarakat adalah “SERANGAN FAJAR”. Dalam istilah undang-undang disebut politik uang. Larangan politik uang dalam pilkada di Indonesia diatur dengan tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk menjaga integritas, keadilan dan kelancaran proses demokrasi. Politik uang adalah praktik pemberian atau menjanjikan uang atau barang dengan tujuan memengaruhi pilihan pemilih secara tidak sah.

Dalam konteks pilkada, larangan ini penting untuk memastikan pemilu berlangsung secara jujur dan adil tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang berusaha merusak hasil pemilu dengan cara membeli suara. Aturan terkait larangan politik uang dalam pemilu kada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada, dalam pasal-pasalnya dengan jelas melarang praktik politik uang dalam pilkada. Larangan ini mencakup memberikan/menjanjikan uang atau barang dengan tujuan memengaruhi pemilih atau penyelenggara pemilu untuk berpihak pada calon tertentu, bahkan sanksinya juga sangat tegas dan jelas terang benderang. Begitu juga dengan peraturan KPU yang begitu gamblang memberikan rambu-rambu pilkada, baik proses sampai sanksi bagi yang melanggar, berupa sanksi pidana atau diskualifikasi calon kepala daerah.

Dengan aturan yang ketat ini, tujuan utama untuk menciptakan pilkada yang bersih dan demokratis, dimana hasilnya benar-benar mencerminkan pilihan rakyat dan bukan hasil dari manipulasi uang.

Namun, jika kita melihat dengan mata kepala kita sekarang ini, terkhusus di pilkada Maluku Utara baik provinsi maupun kabupaten/kota selalu muncul fenomena menjengkelkan ini. Kerap kali jika menjelang hari-H bertebaranlah penyakit “Serangan Fajar” yang konon katanya membuat sumringah para pemilih tertentu karena mendapat amplop yang isinya berupa uang atau bisa jadi dalam bentuk sembako maupun bentuk lainnya yang sebenarnya tidak terlalu seberapa. Bahkan, slogan yang kerap kali muncul dari masyakat pemilih tertentu adalah “tidak ada uang tidak ada suara” atau “5 tahun sekali baru dapat amplop dari calon”maupun slogan-slogan lainnya yang kalau kita masih waras dan punya integritas, sangat miris mendengarnya apalagi melihatnya.

Lalu kita bertanya sebenarnya ini dibolehkan atau dilarang? Jika dibolehkan, lalu siapa yang selalu mengampanyekan membolehkan dilakukannya “serangan fajar”? Jikalau dilarang, lalu siapa yang melarang? Ini adalah pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab dan bisa berargumen dengan benar. Ada undang-undang dan peraturan KPU yang melarang atau tidak membolehkan hal itu terjadi, begitu juga ada fungsi pengawasan dari bawaslu dan masyarakat umum.

Namun, fakta di lapangan selalu saja bertebaran penyakit “Serangan Fajar”dan tidak ada tindak lanjutnya seperti apa, lalu hilang ditelan bumi Maluku Kie Raha,,,Nauzubillah.
Semacam ada isyarat dalam tanda kutip bahwa ada makhluk terselubung yang“membiarkan atau membenarkan” hal itu terjadi seluruh lapisan pemilih. Bahkan, ketika muncul isu atau kasus “serangan fajar” maka makhluk terselubung tersebut selalu berusaha untuk membunuh, melenyapkan dan memporak-porandakan fakta tersebut sekaligus menutup mata hati dan eksistensi manusia sebagai makhluk terbaik pilihan Tuhan untuk bersuara lantang. Mengapa? karena semua orang trauma dengan fakta hukum di ibdonesia yaitu: “siapa yang bersuara lantang maka dialah sebagai tersangkanya”…Siokoooooo…Negeriku…kapan kau harus berlaku adil untuk hati yang gundah gulana ini?

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya berpesan pada kita semua bahwa baik “pembenaran atau pembiaran” keduanya adalah petaka bagi “Negeri Irahai”ini. Dalam pandangan Anies Baswedan, kalau hal seperti ini terus menerus dibiarkan akan menjadi budaya dan selanjutnya menjadi karakter masyarakat. Miris bukan?. Jangan mengaku ber-Tuhan dan memiliki integritas tinggi kalau masih melakukan atau mendiamkan “pembenaran atau Pembiaran”terhadap fakta “Serangan Fajar”di setiap momen pilkada. Paling tidak, masih ada kita sebagai tameng untuk mencegah terjadinya praktik jahat yang setiap momen dipertontonkan di khalayak. Mari kita jaga generasi kita kini dan kedepan agar tidak menjadi generasi “Penadah Tangan” atau “Peminta-Minta”dalam setiap momentum pilkada. Setidaknya, kita mengingat teguran Allah dan Al-Quran bahwa baik pemberi maupun penerima sogokan uang “serangan Fajar”maka tempat keduanya adalah “NERAKA JAHANNAM”.**