Anak Muda Krisis Lokalitas

Ariyadi Rusdi

         Oleh: Ariyadi Rusdi
(Sekum PMII Komisariat Universitas Islam Makassar Cabang Metro  Makassar) 

Berbicara tentang anak
muda memang suatu wilayah
yang sangat sakral. Kerap ia adalah manusia yang berpikir kritis yang pada hidupnya
tidak pernah mapan dalam segala hal, kecuali mapan berpikir.  Anak
muda adalah tunas bangsa yang produktif dalam melihat sebuah gejala sosial
tidak hanya bersifat naif, namun ia selalu bertanya dan ingin bertindak demi
sebuah perubahan yang keberpihakannya adalah masyarakat yang didominasi oleh
struktur kuasa. Anak muda
adalah yang mempertahankan kearifan lokal sebagai pemersatu nusa dan bangsa. Mampu beradaptasi dengan
sebutan globalisasi yang penuh hiruk pikuk dan kesenjangan sosial yang tercipta
akibat keserakaan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Itulah sederet
definisi anak muda dalam kaca mata saya. Mari kita masuk pada persoalan anak
muda diera globalisasi dan bagaimana peran anak muda dalam menjaga nawa cita
kearifan lokal”.

Arus
globalisasi tak bisa di benteng dengan sikap yang apatis. Wacana tentang
globalisasi membawa kita pada arah gelap, segala sesuatu menjadi seragam, akal
dan cara kita makan, berpakaian bahkan ingin bermimpi pun direbut olehnya.
Globalisasi pada artian lain dipersempit hanya pada persoalan sistem ekonomi transnasional.
Tentu tergantung dari perspektif apa yang digunakan untuk mendefinisikan
global sebab globalisasi sampai saat ini belum memiliki satu definisi yang mapan.

Sederhananya,
globalisasi menjadi
apa yang kita lihat semisalnya, hendphone,
pakaian selalu berubah wujud yang terbaru. Sebuah hendphone yang pada hakikatnya
hanya digunakan sebagai alat komunikasi,
ternyata sekarang
juga bisa digunakan membuka youtube, facebook whatshap dan barangkali seterusnya
robot yang akan mengatur manusia. Pertanyaannya, bagaimanakah pengaruh
globalisasi terhadap kearifan lokal kita ? sebelum sampai disitu, lebih baik
kita mengenal dahulu apa sebenarnya kearifan lokal itu.

Suka
cita leluhur kita,
dengan darah memperjuangkan hak untuk merdeka agar sebagai generasi dapat
menikmati manisnya pasca merdeka. Tentunya perjuangan mereka tidak berakhir
dengan kekosongan,
melainkan nilai dan semangat juang itu telah diwariskan kepada kita agar tetap
menjadi identitas bangsa indonesia.

Berbicara
tentang kearifan lokal,
barangkali tidak lagi asing bagi kita. Sebab kearifan lokal adalah aku, kamu dan meraka yang kemudian menjadi
sebuah kesepakan kita bersama untuk hidup di dalam dan menjaganya. Kearifan lokal menjadi sebuah penentu kebhinnekaan antara budaya yang satu dengan yang lain, dimana budaya dan tradisi tersebut telah di jaga dengan juang oleh kita
bersama.

Bumi
nusantara sangat kaya akan lokalitas budaya, tradisi, bahasa, ras dan suku. Tentunya, perbedaan karakteristik budaya
setempat mililik ciri khas yang koletkif. Kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, tentu lokalitas budaya
indonesia berbeda dengan lokalitas yang ada di Eropa dan Amerika.

Perlu kita
bernostalgia terhadap nilai kearifan lokal kita. Pada budaya dan tradisi yang telah
di warisi secara turun temurun oleh leluhur. Jangan sampai kita lupa bahwa
kearifan lokal lah yang kemudian membuat kita bersatu damai dalam keberagaman
suku, budaya, tradisi, ras dan bahasa.Namun realitasnya, kearifan lokal . Namun
sesuai dengan realita yang ada lokalitas hanya dipandang sebagai sesuatu yang
klise. Bahkan lokalitas sudah dimasukkan dalam zona abu-abu yang bisa
menyebabkan disintegrasi budaya.

Era
globalisasi tak hanya datang untuk merubah sistem perekonomian yang berskala
ragional, lokal, nasional dan bahkan internasional tetapi juga pada aspek
kebudayaan dan tradisi dapat berpengaruh. Sisitem globalisasi lebih hangatnya,
atau proses hegomoninya dan dalam untuk mempengaruhi cara berpikir kita maka ia
mencoba mendesain tentang hidup manusia yang penuh ketergantungan sebagai contoh,
aman, nyaman dan bergaya yang sebenarnya bersifat ideologis.

Sebuah
realitas yang barangkali terjadinya bersifat kesadaran palsu. kesadaran yang
sengaja didekonstruksi dan dibungkus soal citra yang mengakibatkan anak muda
berkompetisi untuk menjadi manusia konsumerisme yang, kemauannya sebenarnya
tidak berasal dari asumsi sadarnya. Sebagai misalnya, budaya populer yang kini
menjadi tuhan atas segala dosa-dosa sejarah kaum penjajah yang sampai saat masih di langgengkan oleh kaum berjuis. Budaya populer
adalah budaya yang tumbuh berkembang di Amerika.
Budaya yang kini kita kenal sebagai budaya rendah yang tidak memiliki nilai di dalam masyarakat lokal. Sederhananya, budaya populer yang disukai oleh banyak orang, seperti mal, pantai, rumah,
makan, berpakaian dan seterusnya adalah
budaya populer yang di lekatkan
pada sistem ekonom kapitalisme global.

Namun dalam
sudut pandang kebanyakan orang, hal serupa
tidak menjadi masalah yang besar. Sebab di dalam kebanyakan orang itu justru sudah dibentuk dengan tanda-tanda. Kau
keren, kau harus bergaya sama persisnya dengan orang Amerika. Kalau kau belum bisa memiliki handphone tipe iphone berarti kau
adalah manusia yang paling buruk. Disinilah sebenarnya kita mulai kehilangan
identitas lokalnya kita.

Pengaruh
budaya populer sudah masuk dalam penjuru bumi nusantara. Negara tidak bisa
membloknya karena dia punya kepentingan yang sama persisnya, akibat dari
keserakaan itu, kaum-kaum kapitalis kembali mengontrolnya dengan baik hingga negara
menjadi identitas global hasil cipta dari hibriditas subyek pasca kolonial.

Budaya
populer adalah gaya penjajahan baru (neokolonialisme),
terhadap bangsa indonesia. Mereka menjajah kita tidak hanya bagaimana cara kita
berpakaian tetapi pada, lokalitas musik kita, misalnya, musik tradisional kita
seperti TOGAL sebuah musik tradisional yang berasal dari Maluku Utara pun di
lupakan oleh anak muda seperti kita karena kelelaian kita menkonsumsi produk
musik barat dari pada hasil karya adiluhung atau nenek moyang kita.

Globalisasi
mengubah kita menjadi manusia global, manusia yang tidak memiliki nilai tawaduh
kepada orang-orang yang lahir lebih dulu. Membuat kita lupa akan adat istiadat
seperti saling menghargai antara yang tua dan yang muda. Ini lah adalah krisis
kearifan lokal jangan sampai membudaya.

Jadi
singkatnya, peran anak muda adalah untuk menjaga kewarasan berpikir lokalnya
biar tidak muda dijajah kembali oleh bangsa kapitalis. anak mudah harus
membudayakan kembali budaya dan tradisi yang sudah diwariskan kepada kita.
Budaya dan tradisi kita memiliki nilai
estetika, sastra dan juga tauhid. Sebagai contoh, dalam bahasa lokal Maluku
Utara Halmahera Selatan lebih tepatnya Kayoa
Orimakurunga yang memiliki nilai yang sangat tinggi (kalau tong hidup kong so tarada sareat tu lebih baik bajalan jang pake
baju).
Silahkan kembali membaca bahasa itu dari petua kita. []

Komentar

Loading...