Belajar Pada Cak Nur, Membaca Kembali Islam Yes Partai Islam No, Jelang Pemilu 2024

Rusmin Hasan, Direktur Lingkar Cita Institute.

Pemilihan legislatif 2024 semakin dekat. Mesin-mesin politik sudah mulai bergerak. Sebagian partai politik telah mengkampanyekan figur jagoaannya. Sebagian lagi, sibuk membentuk kekuatan simpul alternatif. Dengan munculnya kuala muda dalam kontestasi legislatif 2024.

Untuk menjadikan pemilu 2024 bermutu?

Demokrasi sudah seharusnya dijadikan alat pasar distribusi ide, gagasan. Biarkanlah, yang dibicarakan rakyat ide atau gagasan program membangun desa, daerah, provinsi bahkan negara. Agar, politisi kita sadar bahwa rakyat telah menyuplai pikiran masa depan demokrasi kita. Ia, demokrasi sejatinya harus dibangun dengan pertenggarakan pikiran diruang publik bukan sentimen.

Ide yang dimaksud ialah ide yang konstruktif, transformatif dan berkemajuan. Agar, arena kontestasi politik 2024 bergeser dari praktek money politik atau politik uang, menjadi ruang pertengkaran ruang pikiran bukan sentimen apalagi saling hujat antar sesama. Agar, ruang publik tumbuh diskursus edukatif, rasional dan ilmiah.

Kita tentuh, berharap ada proses perubahan kepemimpinan politik kita hari ini, tumbuh demikian. Kita butuh kolaborasi semua elemen terlebih khusus para petinggi politik. Kondisi seperti memerlukan briefing politik dan ruang dialogis yang lebih terbuka, demokratis dan berlandas nilai humanis bagi semua konstestan politik yang tentuh menghendaki perbaikan masa depan demokrasi kita untuk kemaslahan dan keselamatan bersama rakyat. Karena realitasnya, kita jumpai tidak semua elit politik kita menghendaki kemajuan dan berfikir seperti ini. Sebagianya, mala nyaman dengan interaksi dan praktek oligarki dengan menghalalkan segala cara.

Anak muda penting belajar pada nurcholish Madjid atau Cak Nur.

Jauh-jauh hari, Nurcholish Madjid telah mengumandangkan slogan yang begitu dahsyat yang berbunyi “Islam Yes Partai Islam No”. Menurut Yudi Latief, maksud slogan tersebut adalah loyalitas umat Islam dan juga agama-agama lain tidak diarahkan terhadap partainya, tapi diarahkan pada substansi nilai-nilai Islam.

Partai, menurut Yudi Latief, hanya sarana, bukan tujuan. Sarana bisa salah. Sehingga, mensucikan partai berarti menuhankan kesalahan. Karena ada kalanya partai melakukan kesalahan.

“Sekalipun partai Islam bukan berarti tidak bisa salah. Oleh karena itu, loyalitas kita bukan pada partai Islam, tapi pada substansi nilai Islam,” ujarnya dalam Haul Cak Nur tahun 2018 kala itu. Hemat saya pikiran cak nur sangatlah relevan untuk membaca siklus politik kita hari ini.

Substansi Islam itu, imbuhnya, terkristalisasi dalam nilai-nilai Pancasila. Pancasila membantu umat beragama, termasuk umat Islam, untuk menjadi ukuran apakah keberagamaan kita dalam kehidupan publik sudah dijalankan dengan benar atau belum. Hal itu tergantung pada apakah nilai-nilai Pancasila sudah dijalankan dengan benar atau belum.

“Sejauh umat Islam merealisasikan ide-ide Pancasila di ruang publik, selama itu pula substansi nilai Islam tidak pernah dijalankan dalam kehidupan publik,” imbuh salah satu murid Cak Nur tersebut.

Sebaliknya, kalau Pancasila membantu umat Islam untuk merealisasikan gagasan-gagasan etis Islam dalam ruang publik, maka substansi ajaran Islam telah dilaksanakan dengan baik. Pancasila merupakan perasan dari gagasan-gagasan universal agama.

Kang Yudi Latif menyebut bahwa negara perlu memiliki landasan spiritual. Tidak ada peradaban yang bisa bertahan dalam waktu yang panjang jika tidak memiliki landasan spiritualitas. Arnold Toynbee melakukan penelitian terhadap banyak peradaban. Kesimpulannya adalah peradaban yang dapat bertahan dalam waktu yang panjang adalah peradaban yang memiliki landasan spiritualitas di jantung kehidupan publik.

Di Indonesia, Bung Karno dalam sebuah pidato menyebut bahwa setiap warga negara hendaknya bertuhan menurut keyakinan agama masing-masing. Bertuhan dengan cara yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran.

“Islam Yes Partai Islam No” berangkat dari keresahan Cak Nur melihat kondisi politik saat itu. Menariknya, di tengah menguatnya polarisasi politik di Indonesia belakangan, slogan tersebut menjadi semakin relevan. Slogan tersebut harus dipahami dengan baik oleh masyarakat Indonesia agar tidak jatuh pada lubang yang sama di Pemilu 2024 nanti.

Pemilu 2019 seharusnya menjadi pembelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia. Betapa polarisasi politik yang salah satunya disebabkan oleh politisasi agama begitu merusak sendi-sendi kebangsaan kita. Diakhirnya tulisan sederhana saya ini, pikiran-pikiran Cak Nur sangatlah kontekstual dam relevan. Cak Nur telah menjadi pelita atau cahaya saya untuk melihat keluasan dunia. Mengajarkan makna keragaman khazanah pemikir keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan sebagai satu tarikan nafas.

Membawah saya, dari kesempitan doktrin yang kaku kepada kelana gagasa yang amat menantang dan bercesuar. Cak Nur telah menjadi "renewal of thinking patterns to understand Islam" untuk saya sekaligus membaca spirit kebangsaan kita.

"Sejatinya politik ialah upaya mewujudkan cita-cita luhur kemanusiaan dan keadilan". ( Rusmin Hasan).

Komentar

Loading...