Salam Suba Jou… (Cara Komunikasi Berbasis Kearifan Lokal di Masa Pandemi)

OLEH : H.Muhammad Sjarif,S.IP,M.Si
(Kabag Organisasi Setda Kota Tikep)

Pemkot Tidore mengeluarkan Peraturan Walikota Tidore Kepulauan Nomor : 19 Tahun 2020 tanggal 10 Juni 2020 tentang Pembukaan akses keluar masuk Kota Tidore Kepulauan dalam rangka pencegahan COVID-19 di Kota Tidore Kepulauan. Salah satu point dari ketentuan tersebut adalah masyarakat tidak lagi melakukan salam jabat tangan tetapi melakukan salam Suba Jou selama masa pandemic. Seperti diketahui bahwa, untuk mencegah penyebaran Covid-19, mulai diperkenalkan berbagai gaya salam tanpa menyentuh telapak tangan seperti yang digaungkan oleh tokoh-tokoh publik. Mantan Wapres JK pernah mempraktekkan “salam corona” atau bersalaman tanpa saling menyentuh telapak tangan ketika bertemu. Lalu muncu lagi istilah “salam siku” atau “salam kaki”sebagai bentuk komunikasi non verbal model baru.
Pergeseran gaya kebiasaan bersalaman di atas, menjadi menarik untuk dikaji dan disosialisasikan. Bukan karena semata aspek penerapan protocol kesehatan tetapi jauh lebih penting lagi adalah adanya refleksi nilai budaya yang terkonfirmasi pada muatan kebijakan pemkot tersebut.

Salam Jabat Tangan
Jabat tangan adalah bentuk komunikasi non verbal. Gestur ini dianggap sebagai cara komunikasi tertua yang berlaku dalam pergaulan global . Secara implisit, jabat tangan mengirimkan isyarat keterbukaan. Namun, tak semua orang merasa nyaman bersalaman tangan. Salah satu alasannya karena perkara kesehatan. Nicky Milner, dosen senior jurusan Biologi di Anglia Ruskin University, yang mengacu pada riset dari Universitas Colorado mengatakan bahwa tangan manusia punya 3.200 bakteri dari 150 spesies berbeda. Dan karena, menurut sebuah penilitian di Inggris, rata-rata manusia berjabat tangan sekitar 15.000 kali di sepanjang hayat, ada kemungkinan besar bakteri ini akan menyebar dengan cepat dan bisa menyebabkan berbagai penyakit.
Dewasa ini,di tengah pandemi Covid-19, menjaga jarak fisik dan tidak berjabat tangan menjadi cara untuk mencegah paparan virus corona tipe baru. Seorang pakar penyakit menular dari Amerika Serikat (AS) Anthony Fauci melontarkan gagasan baru agar masyarakat mengakhiri tradisi berjabat tangan, meskipun nanti pandemi telah berakhir. (republika.co.id, 11/4/2020). Menurut Fauci, mengakhiri kebiasaan jabat tangan tidak hanya mencegah penularan Covid-19. Tak bersalaman juga bisa memangkas risiko tertular virus influenza secara drastis.
Fauci menjelaskan, di kemudian hari, umat manusia berpotensi menghadapi virus yang sama mengerikannya, seperti Covid-19. Karena itulah, gagasan dia untuk tidak berjabat tangan setiap kali bertemu dan berpisah mesti dipertimbangkan.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia ( MUI) Anwar Abbas juga mengimbau umat Islam untuk tidak melakukan tradisi berjabat tangan atau bersalaman dalam rangka silaturahim . Sebab, menurut dia, saat ini bersalaman bisa meningkatkan penularan virus corona (Covid-19).karena satu cara penyebaran virus ini yang paling efektif adalah melalui salaman. Menurut Anwar dalam keterangan tertulisnya,Menjaga diri untuk tidak terjatuh ke dalam bencana dan malapetaka itu hukumnya adalah wajib, sementara bersalam-salaman itu hukumnya sunah,( Kompas.com , https://nasional.kompas.com/read/2020/05/15/11234401/cegah-covid-19-sekjen-mui-imbau-umat-islam-tak-bersalaman-silaturahim-saat.

Tradisi Suba Jou Sebagai Protocol Wajib.
Dalam khazanah kebudayaan bangsa-bangsa dunia terdapat banyak sekali ungkapan gerak tubuh unik yang digunakan sebagai simbol pemberian salam yang sama universalnya. Di Jepang terkenal bersalaman dengan membungkuk. Semakin orang tersebut dihormati, orang lain akan semakin membungkuk sampai sembilan puluh derajat. Jika salam dilakukan pada orang dekat atau teman, biasanya hanya berupa anggukan kecil kepala. Di Tibet, menjulurkan lidah adalah simbol memberi salam satu sama lain. Lain lagi dengan di Arab, menggesek hidung dan jabat tangan adalah sebuah tradisi turun temurun yang menunjukan penghormatan, symbol solidaritas dan kekerabatan.
Merujuk pada catatan Sofyan Daud, Tafsir Kebudayaan Tidore,2012, Kesultanan Tidore memiliki Peraturan Kie se Kolano 1868 Miladiyah, suatu konstitusi negara modern yang lebih tua 13 tahun dari konstitusi Turki Utsmani. Sumber sejarah kebudayaan Tidore juga dapat ditelisik melalui Folklore. Terdapat Folklore lisan, meliputi: Folk Speech (logat/dialek, julukan, gelar, bahasa rahasia, isyarat, dst); ungkapan tradisional (Dolabololo, pepatah dan sejenisnya); pertanyaan tradisional (Ciguri-ciguri, Sum-Sum dan sejenisnya); Puisi-puisi rakyat (Syair, Pameo, Bidal, dan sejenisnya); Folk Proses Narrative (Mite, Legenda dan Dongeng); dan nyanyian rakyat. Ada pula Folklore sebagian lisan, meliputi: kepercayaan dan tahayul, teater rakyat, tarian rakyat, permainan dan hiburan, upacara-upacara adat, upacara-upacara keagamaan; Folklore bukan lisan (yang materil dan bukan materil). Yang materil meliputi: arsitektur rakyat; hasil kerajinan tangan; obat-obatan tradisional; pakain adat serta perhiasan-perhiasan lainnya; makan-makanan adat/khas; peralatan dan senjata. Sementara yang bukan materil meliputi: gesture atau bahasa isyarat, dan musik.
Salam Suba Jou menjadi salah satu gesture komunikasi isyarat Folklore non material yang melegenda, karena menonjolkan nilai, etika dan estetika tata karma pergaulan masyarakat. Suatu bentuk tradisi dalam melakukan salam penghormatan dengan menggunakan kedua telapak tangan sambil menundukkan kepala kepada tamu terhormat (sultan) atau orang yang dituakan dan/atau yang lebih tua .
Praktek salam Sub jou sendiri dalam kehidupan masyarakat Tidore – secara umum di Moloku Kie Raha - biasanya lebih banyak dilakukan pada acara-acara adat kesultanan. Kebiasaan berkomunikasi dengan jabat tangan lebih dominan dibanding salam Suba jou. Inilah yang menjadi alasan untuk melakukan gerakan kembali kesadaran budaya local secara bersama-sama dalam konteks komunikasi publik dengan menjadikan Salam Suba Jou menjadi tradisi protocol wajib di era milinial ini sebagai pengganti dari kebiasaan jabat tangan pada masa pandemic maupun pasca pandemic.

Bersinergi Merawat Tradisi
Saat ini warga milinial mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Sebaliknya, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan adat, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan di dalam masyarakat.
Meminjam narasi Sofyan Daud “Kita membutuhkan gerakan kebudayaan simultan dengan agenda-agenda yang fokus dan terarah, dan gerakan dimaksud sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatan struktural, karena pendekatan struktural sejauh ini kurang efektif. Oleh karenanya gerakan kebudayaan berbasis pertisipasi masyarakat perlu digalakkan dan pemerintah daerah cukup memposisikan diri sebagai regulator, promotor dan fasilitatornya”. 

Pemkot sendiri selama ini terus mentransformasikan simbol dan nilai budaya local (local wisdom) ke dalam jiwa, semangat dan etos kerja tata kelola pemerintahan dan pemkot menyadari bahwa nilai kearifan local memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi persoalan berdimensi pluralistic. “Loa se banari”menjadi falsafah kerja , Syukur dofu-dofu, Tidore jang Foloi yang diperkenalkan Walikota Capt.Ali Ibrahim pada momentum ajang Intenasional GMNC ke-10 yang menjadi narasi simbolistik wajib pemkot, Fesvital Tidore dan masih banyak ritual budaya yang dilegalisasi .
Kita bisa bila kita membumikan nilai kearifan local secara simultan, melalui sinergi merawat tradisi… Salam Budaya….

Komentar

Loading...