Covid-19: Mengubah Ritual Tarawih(?)

Murid Tonirio (Pengajar Fak. Ushuluddin IAIN Ternate)

Oleh: Murid Tonirio
(Pengajar Fak. Ushuluddin IAIN Ternate)

ADAT atau tradisi, menurut Shils (1981:31) “adalah pola panduan yang ditetapkan secara berulang-ulang”. Adat adalah hasil musyawarah. Jadi, pada dirinya sendiri adat bersifat tidak tetap atau selalu berubah menurut perkembangan. Walau begitu, adat yang bersifat tidak tetap oleh pemangkunya diklaim tradisi sebagai hal yang bersifat tetap itu. Karena adat mereka terima “menjadi kebiasaan, nilai dan sistem hukum yang mengatur sistem kehidupan dan menjadi sumber harapan” (Taufiq Abdullah, 1961:1).
Mengapa adat yang berisifat tidak tetap kemudian menjadi – setidaknya dianggap – bersifat tetap? Hal ini berhubungan dengan asal-muasal adat, sebagai warisan leluhur. Di sisi lain, dalam masyarakat tradisi dari cara berpikir tradisional ke modern seperti orang Indonesia umumnya, yang menganjurkan setiap orang menghargai leluhur, salah satunya dilakukan melalui pelestarian adat sebagai ekspresi rasa hormat pada leluhur.
Jadi, walaupun memang tradisi adalah sesuatu yang ditemukan dan dengan itu sesuatu yang baru diciptakan (bandingkan, Hobsbown, 2001). Tetapi karena adat seperti itu dikaitkan dengan tradisi panjang menghormati leluhur, adat kemudian menjadi – atau setidaknya dianggap – sesuatu yang bersifat abadi.
Itulah sebabnya adat selalu memiliki ritual yang diklaim merupakan bentuk peniruan kelakuan yang dipraktikkan leluhur. Pada batas-batas tertentu, ritual dikaitkan juga dengan peniruan “arketipe” – proses kejadian di masa paling awal. Tetapi karena peniruan leluhur, apalagi pengulangan arketipe berhubungan dengan detil, sementara peniruan detil selalu terhalang oleh waktu. Karenanya, detil tidak bisa (di)ingat-tiru secara persis, ritual dalam semua tradisi kemudian mengenal apa yang disebut dengan alih-ubah (transformation) bentuk.
Dalam pengertian alih-ubah itu, ritual secara lebih tegas didefinisikan dengan “pengulangan kebiasaan tanpa perubahan. Misalnya, kebiasaan minum kopi sambil mendengarkan musik jazz sebelum ke kantor – tanpa melakukan kegiatan lain. Terutama minum kopi, di sini, menjadi semacam “hak tubuh”. Minum kopi dimaksudkan untuk menghalau (perasaan) pegal yang dialami tubuh. Karena ia adalah hak dalam kondisi tertentu, tubuh bisa tidak menggunakan haknya diasupi kopi – dan si tubuh tidak merasa pegal.
Berangkat dari ritual minum kopi pagi ini, kita bisa maju mendiskusikan betapa Covid-19 telah mengubah keagamaan orang Islam di Ternate yang saya tahu. Perubahan keagamaan itu makin terasa ketika bulan Ramadhan kian dekat. Beberapa kali saya mendengarkan jama’ah di beberapa masjid mengobrolkan: Apakah Ramadhan kali ini shalat tarwih dilaksanakan atau dihilangkan saja? Atau tarwih dilaksanakan namun cukup sebelas rakaat sehingga orang tidak berlama-lama dalam kebersamaan di masjid?
Terlepaskan dari ancaman maut yang diusung Corona, dan (mungkin kepura-putraan) menaati imbauan pemerintah agar warga negara melakukan jarak antartubuh, antara satu dengan lainnya di tempat-tempat umum. Bincang-bincang jam’ah di beberapa masjid yang sempat saya singgahi salat sebulan terakhir, membenarkan bahwa adat atau tradisi adalah sesuatu yang dibuat, alias disepakati bersama.
Akan halnya jumlah raka’at dalam shalat tarwih, sebelas atau dua puluh satu raka’at, adalah sebuah tradisi yang kemudian menjadi ritual. Memang semua shalat – yang wajib dan yang sunnah memiliki arketipe yang ditetapkan Allah. Shalat di rumah Rasulullah saat berada di sidratulmuntaha. Rasullah pertama kali melakukan shalat bersama Nabi-Nabi yang telah ada sebelumnya.
Demikian halnya dengan shalat tarwih, memiliki dua arketipe. Rasulullah mencontohkan tarwih delapan rakaat, empat salam, dan witir tiga raka’at satu salam. Walaupun hanya delapan sebelas raka’at, tetapi karena Rasulullah membaca ayat-ayat panjang. Kadang surat al-Baqarah dibaca bersambungan dengan surat An-Nisa – sedemikian sebagian sahabat, yang sudah barang tentu menghafal al-Qur’an menganggap Rasulullah akan ruku setelah menyelesaikan bacaan satu surah dalam satu rakaat, ternyata tidak. Maka untuk menyelasikan sebelas raka’at bisa hingga waktu imsyaq tiba.
Berangkat dari pengalaman itu, kelak di kemudian hari, Umar ibn Hattab, menciptakan tradisi baru dalam shalat tarwih. Ia memotong-motong durasi waktu shalat per salam dengan menambah jumlah rakaaat; dari delapan menjadi delapan belas raka’at. Dengan cara itu, ayat yang dibacapun lebih pendek. Namun, durasi waktu yang dibutuhkan menyelesaikan shalat tarwih dan witir sama dengan waktu yang dipraktikkan Rasulullah.
Waktu berjalan, Islam pun berkembang menjadi mazhab-mazhab. Seiring itu, shalat tarwih kemudian menjadi semacam ritual; kebiasaan yang diulang-ulang – sebelas atau dua puluh satu raka’at. Pastinya, dua aliran tarwih ini sama-sama telah kehilangan arketipe, yakni penganut aliran delapan raka’at dan sebelas raka’at sama-sama: Pertama, membaca surat-surat pendek. Kedua, membutuhkan waktu yang sama pendek juga – kira-kira setengah jam. Ketiga, yang membedakan mereka kecepatan membaca ayat, dan panjang-pengedek nafas memcaba beberapa ayat dalam satu surat pendek dalam beberapa atau satu tarikan nafas saja.
Jadi, apakah percakapan jama’ah masjid yang saya kutip di atas menandakan bahwa Covid-19 telah mengubah ritual tarwih? Jika tarwih dianggap tradisi maka shalat tarwih dua puluh satu adalah soal kesepakatan umat Islam di zaman pemerintahan Umar ibnu Khattab. Karena inisiatif Umar telah diterima sebagai keniscayaan sejarah agama, kapanpun orang Islam bisa bersepakat lagi berapa raka’at shalat tarwih yang mereka lakukan.
Akan tetapi, jika tarwih dua puluh satu diyakini merupakan ibadah yang memiliki arketipe, yakni Umar ibn Hattab, di mana Umar kemudian dikaitkan dengan Rasulullah, dan sidratulmuntaha, mengurangi jumlah raka’at tarwih akan menimbulkan masalah tertentu. Bagaimana mungkin melakukan sebuah ritual tanpa contoh dari masa lalu yang dikaitkan dengan alam gaib? Artinya, mereka yang bisanya tarwih dua puluh satu raka’at kemudian tiba-tiba harus melakukannya sebelas rakaat akan kehilangan titik pijak.**

Komentar

Loading...