GPM Malut Tolak RUU Omnibus law

TERNATE-PM.com, Pemerintah telah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR RI. meyikapi persoalan itu, Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Provinsi Maluku Utara menyatakan 5 alasan untuk menolak draft tersebut.
Yuslan Gani Sekretaris GPM Malut saat ditemui belum lama ini mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis harus pula mengandung unsur perlindungan.
"Draf ini kebalikannya, bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan, bukan perlindungan," katanya.
Yuslan menuturkan, dalam kajian GPM Malut, ada beberapa point yang menjadi sorotan. Pertama disoroti adalah hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. Berdasarkan RUU Cilaka/Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja) yang diterima pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP).
Sedangkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota.
"Di dalam omnibus law memang masih ada upah minimum melalui UMP, tentunya akan merugikan masyarakat kecil seperti buruh" ujarnya.
Kedua yaitu masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif. Sebelumnya aturan mengenai pesangon ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketiga, akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Sebelumnya, dalam aturan UU tentang Ketenagakerjaan penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core business).
Keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.
Kelima, aturan mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif. Pada pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja point 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.
Omnibus law cipta lapangan kerja dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Kemudian, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas, PHK, serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan lainnya.
"Untuk itu, GPM Malut mendesak DPRD Provinsi Maluku Utara segera keluarkan surat penolak RUU Omnibus law," pungkasnya. (red)
Komentar