Helmi Umar Muchsin: Kesaksian dan Asal Usul Politik ‘Legacy’ Memanusiakan Manusia

Oleh: Rustam Muhdar Warga Halsel, Berdomisili di Desa Marituso, Kasiruta.

"Kehidupan adalah wanita."
__F. Nietzsche

Saya tak menulis biografi seorang Helmi Umar Muchsin (HUM). Dalam pengertian yang dimengerti kebanyakan orang. Toh, selain tak terlalu penting (barangkali), juga tak ada dalil rasional yang mengharus(kan) tulisan serupa itu dibikin. Jatuhnya, bila itu ditampik dan dipaksakan, rasanya, sebagai konsekuensi ikutan, saya diikat ke dalam logika penokohan. Lebih-lebih lagi, pengkultusan. Maka tulisan ini akan membelanya secara emosional. Habis-habisan. Saya akan menahan diri. Agar tak jatuh dalam narasi batede/batide. Yang memperlakukannya serupa —meminjam frase balada sang musisi maestro, Iwan Fals— "Manusia Setengah Dewa."

Apa yang hendak dikerjakan tulisan ringkas dan ringan ini tak lebih dari memperkenalkan HUM sebagaimana apa adanya dia, berdasarkan kesaksian orang-orang yang diyakini mengenalinya secaradekat. Kepada siapa? Anak-anak Pulau semua suku di negeri selatan Halmahera. Untuk kebutuhan apa? Memberikan dalil argumentasi pada sikap memilih pemilih di momentum Pilbup Halsel 2020.

Leluhur

Pada 52 tahun silam, di Ternate, HUM lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Tepatnya, tanggal 31 Januari 1968. Dari pasangan Umar Muchsin dan Nurhayati Usman Syah.

Ayahnya, Umar Muchsin, memiliki garis keturunan, jika dirunut jauh ke belakang, sampai pada Syekh Hafel Basra, seorang ulama besar asal Basra yang menyebarkan Islam di Halmahera. Umar lahir dari seorang ayah berpengaruh di komunitas Bajo Laluin di Kayoa bernama Domu. Dan dari ibu yang memiliki asal usul Tafsoho, Makian, dari garis keturunan Kapitan Lakoda asal Galela, salah satu front-liner dalam pasukan perang Kesultanan Ternate. Hanya saja, sejak balita, Umar diadopsi dan tumbuh besar bersama kakak dari ayahnya, Muchsin —seorang ulama besar yang menetap di Kayoa. Tak pelak, dari Papatua (pakdhe) Muchsin inilah pembentukan awal intelektual seorang Umar. Pengaruhnya begitu kuat, menjadi akar pembentukan karakternya, kelak.

Dan ibunya, seorang trah berdarah biru, Nurhayati Usman Syah. Ayah dari ibunya adalah Dede AliUsman Syah, putra dari pasangan Sultan Bacan, Mohammad Usman Syah (1899-1938) dan Boki (Ratu) Fatimah, putri Raja Manganitu di Kepulauan Sangir. Dede Ali Usman Syah adalah seorang pamong. Saat wafat pada 1955, seluruh wilayah Maluku Utara berkabung dengan mengibarkan bendera merah putih setengah tiang atas perintah pemerintah daerah Maluku Utara. Ia dimakamkan di Pemakaman Belakang Masjid Kesultanan Bacan.

Sementara itu, dari garis neneknya, Boki Fatimah, silsilah garis keturunannya sampai ke Belanda. Sebagian dari kerabatnya beragama Nasrani dan kebanyakan menetap di Kampung Sarani, Ternate. Salah satu di antaranya adalah Juryen Soenpiet. Termasuk dalam garis kekerabatan ini (juga) adalah mantan pebulutangkis nasional kenamaan, Rexi Mainaki.

Keluarga Cinta Ilmu Pengetahuan

Pendidikan anak-anak adalah hal paling penting; menjadi visi besar dalam keluarga kecil pasangan Umar Muchsin dan Nurhayati Usman Syah. Selain putra terakhir, Azis Muchsin, yang wafat di Jakarta pada 2004, kelima anak mereka menunjukkan pencapaian yang membanggakan.

Anak tertua, Gama Muchsin adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sementara bekerja di lingkungan Propinsi Maluku Utara. Fadhila Muchsin adalah anak ketiga sesudah HUM, sekaligus anak perempuan tertua dalam keluarga; seorang peneliti di Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), juga kandidat doktor fisika di Universitas Indonesia, Jakarta. Sita Muchsin bekerja di Jakarta Convention Center (JCC) dan pemerhati industri Meeting, Incentive, Converences and Exhibition (MICE). Sedangkan Mona Muchsin, yang sempat bekerja di RS-MCC dengan jabatan terakhir sebagai Middle Management, kini menetap di desa Sawadai, Bacan Selatan, setelah memutuskan resign dari pekerjaannya.

HUM sendiri adalah seorang sarjana hukum Islam di Institut Agama Islam Al-Aqidah, Jakarta, pada 2006-2010. Politisi yang suka memakai kaos oblong ini menyelesaikan pendidikan di SD Islamiyah 4 Ternate (1976-1980), SMP Negeri 2 Ternate (1981-83), dan SMA Islam Ternate (1984-86). Meskipun tak secepat saudara/inya yang lain (karena jiwanya yang lebih praktis), HUM tetap menyelesaikan pendidikan sarjananya; sesuatu yang paling ditekankan oleh alm. Ayahnya, dan ibunya.

Ayahnya yang seorang ulama, memandang pendidikan anak-anaknya sangat penting. Bagi ust. Umar Muchsin, pendidikan tinggi adalah salah satu jalan pengetahuan fondasional untuk kerja-kerja keumatan-kerakyatan. Dalam kesempatan wawancara ringan via Messenger dengan salah seorang putrinya, Sita Muchsin, diakuinya bahwa: Almarhum Ayah hanya menekankan pentingnya pendidikan tinggi dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat. Namun yang paling penting adalah menjaga integritas, akhlak, dan perilaku. Almarhum tidak pernah memaksa anak-anaknya supaya harus menjadi ini atau itu sesuai keinginan beliau. Spesifikasinya lebih pada pendidikan agama sebagai bagian dari pembentukan karakter yang harus ditanamkan sejak dini.

Tak pelak, jika jejak pendidikan HUM diperiksa seperti di depan, dapat disebutkan bahwa ia adalah salah satu contoh dari anak yang taat pada orang tuanya. Selain bahwa di luar jenjang pendidikan SMP, tiga jenjang lainnya ditempuh di lembaga pendidikan Islam. Dan bahwa pendidikan sarjananya yang dimulai pada 2006 di Jakarta, (juga) seolah menjadi bukti ikhtiar seorang anak untuk melunasi hutang pada ayahnya yang wafat pada Oktober 2000, di Ternate.

Seperti alm. Ayahnya, ibunya pun sama. Pendidikan anak-anak adalah jalan keutamaan bagi tiap-tiap orang tua. Adalah penting bagi setiap anak-anaknya untuk dididiknya agar memiliki disiplin, juga orientasi hidup yang jelas sejak kecil. Sita Muchsin menuturkan: Beliau selalu menekankan pentingnya mengambil hikmah dari setiap kejadian. Harus kuat dan tegar. Kalau kami menampakkan
tanda-tanda putus asa, beliau hanya bilang: 'Seperti orang yang tidak punya iman saja.' Beliau juga menekankan disiplin. Hidup harus teratur dan terarah.

Ibunya yang cerdas dan berjiwa moderat itu mengawal isi kepala dan hati anak-anaknya hingga menjelang tidur dengan membacakan cerita-cerita berkelas bahwa tak ada pengalaman hidup yang tak menawarkan hikmah; yang hanya dapat dimengerti dengan mengaktifkan akal sehat, (juga) dengan kesadaran keimanan. Diperkenalkannya juga bahwa Bacan adalah sebuah negeri yang sangat indah kepada anak-anaknya.

Sita menuturkan tentang ibunya: Ajus (Ibu) itu orangnya fashionable, cerdas, lugas, dan tegas. Dulu, waktu masih kecil, 'dongeng sebelum tidur' dari beliau itu bacaan-bacaan yang berat (agama, science, politik, home decor) yang dibacakan ke kami. Selain itu, 'bed story' beliau adalah tentang pulau Bacan dan cerita masa kecil beliau waktu di Bacan. Beliau mendeskripsikan pulau Bacan itu
sebagai negeri yang indah. Di atas didikan ibunya, juga alm. Ayahnya, HUM bersama saudaranya yang lain tumbuh besar dengan karakter yang kuat.

Keluarga Kecil Pewaris Kesadaran Besar

Mardiana Bopeng, anak keenam dari sepuluh bersaudara pasangan Salim Bopeng dan Fatmah Tjun, dilahirkan pada 15 April 1969, di kota kelahiran HUM, Ternate. Ayahnya yang pensiunan Aparatur Sipil Negara adalah seorang imam Masjid An-Nur di Kelurahan Makassar Timur, Ternate.

Dan, di kota yang sama juga, HUM menikahinya. Tepat pada tanggal 30 Agustus 1997. Keduanya dikaruniai dua putri cantik dan smart. Raudyah Izzani Salsabila, yang dalam kesehariannya biasa disapa Bella, adalah sulung yang sementara tercatat sebagai mahasiswi psikologi tingkat akhir di Universitas Gunadarma. Sedangkan putri kedua, Adhel— sapaan akrab Ghaliza Zawjah Adhalya— adalah mahasiswi semester 3 jurusan Okupasi di Fakultas Vokasi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sebagai seorang ibu, Mardiana menuturkan: Saya selalu mengatakan kepada anak-anak, jika punya pendidikan tinggi, tidak saja bermanfaat buat diri sendiri. Tapi bermanfaat juga untuk orang lain. Penekanannya agar anak-anaknya bermanfaat untuk orang lain ini tak lepas dari didikan ayahnya yang seorang imam, agar nilai-nilai dalam ajaran Islam terwariskan dalam anak keturunannya. Sebab, dalam Islam, Sebaik-baik tiap-tiap anak manusia adalah yang paling bermanfaat. Ke arah sanalah kedua putrinya dididik dan dibesarkan.

Dengan orientasi serupa itulah, alumni SMA Negeri 1 Ternate (1988) ini menikmati kehidupan keluarga yang sederhana bersama HUM di sebuah ruang, di lantai dua seukuran ruang guru Sekolah Dasar di kebanyakan desa, di Kelurahan Makassar Timur, Ternate Tengah. Bagi keluarga ini, menjalani hidup sederhana adalah kemewahan yang sebenarnya.

Politik Rahmatan Lil'alamin Sang Ayah

Maluku Utara, sebagai salah satu negeri Islam tertua di Nusantara, sebagaimana daerah lain, memiliki banyak ulama-cendekia besar. Beberapa di antaranya adalah Ust. Abdul Chalil, M. Sulaiman, Hi. Annafi Sakawerus, M. Syahfiin, Habib Husen Alhadar, Yusuf Abdurahman, Rusdi Hanafi, Ust. Abdul Gani Kasuba, dan sebagainya. Selain para Sultan yang beberapa di antaranya begitu mahsyur,
tentunya.

Dan, mendiang Ayahanda HUM, ust. Umar Muchsin, adalah satu nama penting dalam deretan para ulama-cendekia yang dikenal khalayak sebagai singa podium. Baik ketika berceramah. Atau, saat menyampaikan pikiran-pikiran politik Rahmatan Lil'alamin dalam pidato-pidato politiknya. Sebagai ulama yang merambahi dunia politik, Ust. Umar Muchsin meletakkan politik sebatas alat dakwah untuk membela kepentingan rakyat. Bukan keluarga dan golongan. Gama Muchsin, dalam wawancara via Messenger, menuturkan: Bagi alm. Ayah, politik harus mengedepankan amanah rakyat. Bukan kepentingan keluarga atau golongan. Sebab, politik hanyalah jalan dakwah untuk agama. Politik adalah bagian dari agama. Sayangnya, di zaman sekarang, politik dibuat kotor oleh perilaku pragmatisme. Dan adik saya (Helmi) ingin mengembalikan politik ke tempatnya sebagaimana yang diyakini alm. Ayah.

Politik menjadi terlihat "kotor" karena tercerabut dari basis nilai agama pelakunya. Sebagai seorang muslim, praksis politik harusnya diletakkan pada asal usulnya. Menjadi ikhtiar Rahmatan Lil'alamin. Pada kenyataannya, di Maluku Utara, misalnya, nilai-nilai penting itu digerus oleh perilaku pragmatisme. Politik menjadi jalan kemewahan, sebagai alat kekayaan dan pamer kebesaran diri sebagai elite. Inilah fakta kengerian paling menakutkan dalam politik sebagaimana diungkapkan seorang Jose Munica, Presiden Uruguay. Presiden yang dihormati masyarakat internasional ini karena kesederhanaannya, seperti ditulis dalam media online AKURAT.co, dilansir dari Independent, menegaskan betapa mengerikannya kultur politik elite serupa itu: Begitu para politisi menaiki tangga, mereka tiba-tiba menjadi raja. Saya tidak tahu bagaimana cara bekerjanya, tetapi yang saya tahu adalah bahwa Republik datang ke dunia untuk memastikan bahwa tidak ada yang lebih dari siapa pun. Anda membutuhkan istana, karpet merah, banyak orang di belakang Anda yang mengatakan: "Ya Tuan." Saya pikir semua itu mengerikan.

Dalam tradisi politik yang mengerikan seperti disebutkan Jose Munica di depan, di Maluku Utara, khususnya di Halsel, kita menemukan buktinya yang telanjang, yang memberikan kerusakan parah pada agenda demokratisasi politik lokal. Kesukaan elite di-tede telah menciptakan bahasa kepurapuraan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat mengetahui karakter para elite yang gila pujian sehingga mengerti bagaimana mengungkapkan bahasa yang menyenangkan elite yang berisi batede (memuji). Tak hanya itu, jika logika bahasanya diperiksa, ada ketakutan yang terselip di dasar komunikasi batede. Masyarakat menghindari komunikasi yang menghasilkan ketidak-sukaan para elite. Di ujung logika bahasa kepura-puraan ini, ada ketidak-jujuran bertutur yang telah tumbuh secara kuat sebagai kultur dalam percakapan politik hari-hari. Dari sinilah, praksis politik lokal di Halsel
menciptakan kosa katanya sendiri, Sikofi/Kase-Kofi (membohongi).

Silaturahim politik yang sarat bakukase kofi (saling membohongi) seperti ini tak dapat diandalkan. Sebab, akan merawat kesalahpahaman yang mendendam. Silaturahim politik semestinya mengungkapkan rasa kemanusiaan sebagai sesama anak bangsa. Gus Dur, misalnya, mengungkapkan bahwa dalam politik, hal yang utama adalah kemanusiaan. Atau, Mahatma Gandhi, seorang pemimpin agung India, melakukan deklarasi politik gagasan yang terkenal dan karenanya imortal: nasionalisme saya adalah kemanusiaan. Dan, sebagai politisi muslim, praksis politik alm. Ayahnya berusaha mendekati nilai-nilai kemanusiaan melampaui batas-batas suku dan agama. Sita Muchsin mengisahkan: Dalam hal muamalat, Alm. Ayah kami sangat menekankan untuk menjaga hubungan baik dengan siapa pun juga, muslim atau pun non-muslim. Namun dalam hal ketauhidan, beliau paling tegas dalam bersikap.

Silaturahim sebagai ungkapan kemanusiaan itu memiliki jangkar yang kukuh dalam tali agama. Islam adalah agama Rahmatan Lil'alamin maka politisi muslim sudah seharusnya mendefinisikan isi pikiran dan aktivitas politiknya dari daging ritual keagamaannya agar menjadi rahmat bagi seluruh kehidupan. Dalam keterangannya yang lain, Sita Muchsin menjelaskan: Satu hal yang masih kami ingat dari pelajaran yang beliau teladankan (karena jarang sekali beliau memberikan doktrin kecuali ketegasan sholat lima waktu) adalah toleransi terhadap non-muslim, meskipun beliau seorang Ustad. Jadi beliau mempunyai waktu-waktu rutin mengunjungi/silaturahim ke kolega atau saudaranya Mama yang non-muslim (dari garis Oma kami dari pihak Mama, keturunan Belanda. Hampir semua warga yang tinggal di kampung Sarani itu adalah kerabat kami dari garis Oma).

Jejak politik Alm. Ayahnya yang mengusahakan risalah Islam sebagai Rahmatan Lil'alamin, tak pelak membentuk kehidupan dalam keluarga besarnya yang mengutamakan nasib sesama ummat. Gama Muchsin, misalnya, menerangkan bahwa Meskipun seorang politisi yang tergolong sukses, Alm. Ayah kami tak mendapatkan apa-apa. Gaji yang diterima di kantor, lebih sering tak lagi utuh saat sampai di rumah. Gajinya, sebagian sudah diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya.

Kebutuhan politik untuk Rahmatan Lil'alamin dari ayahnya yang adalah politisi PPP, sudah barang tentu mempengaruhi karakter politik seorang HUM yang memulai karir politiknya di Partai Amanat Nasional, sebelum menjadi penggerak Gerakan Perubahan dalam politik Restorasi Partai NasDem (Nasional Demokratik).

Jejak Loa-loa

Sudah barang tentu jiwa kepemimpinan (dalam) politik seorang HUM tak lepas dari pengaruh Ayahnya. Politik praksis bukan barang baru sebab jejak hidupnya cukup meyakinkan sebagai politisi murni.

Karirnya dimulai melalui Partai Amanat Nasional (PAN) sejak tahun 2000-2013. Sebelum akhirnya beralih ke Partai Nasional Demokratik (NasDem) pada 2013 hingga sekarang. Semasa bersama PAN, HUM sekali terpilih sebagai anggota DPRD Propinsi Maluku Utara (Malut) dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) Periode 2009-2014. Meskipun, disebabkan faksi politik di internal partai, HUM tak menyelesaikan periodisasinya karena memutuskan keluar meninggalkan PAN, dan sudah tentu melepaskan keanggotaannya di DPRD Propinsi.

Di NasDem, HUM terpilih kembali untuk jabatan politik yang sama berdasarkan hasil Pileg 2014 dan 2019. Jabatan struktural kepengurusan di DPW Partai NasDem Propinsi Malut yang pernah didudukinya adalah: (1) Ketua Bappilu DPW, 2013-2014; (2) Dan Sekretaris DPW, 2016-2020. Selain bahwa HUM pun dipercayakan menjadi Koordanator Daerah (Korda) DPD Partai NasDem Kabupaten Halmahera Selatan, hingga sekarang.

Di DPRD Propinsi Malut hasil Pileg 2009, 2014 dan 2019, beberapa posisi penting pernah ditempatinya adalah: (1) anggota Fraksi PAN (2) Ketua Fraksi NasDem (3) Sekretaris Komisi II (4) Wakil Ketua Badan Kehormatan (5) Anggota Badan Anggaran, (6) Ketua Fraksi NasDem, (7) Ketua Bamperperda, (8) Sekretaris Komisi IV, dan kembali yang kedua kalinya sebagai (9) Anggota Badan Anggaran.

Dengan rekam jejak politik sementereng itu, sebagaimana Ayahnya, kehidupan HUM tetap sederhana; bukan tanpa rumah mewah. Tepatnya adalah tak memiliki rumah. Saat bersama penulis di Jakarta, di awal tahun 2020, HUM pernah kelepasan kepada penulis: Adik, Kaka ini bisa biking rumah ka trada e? Kalimat interogatif ini cukup untuk menerangkan kehidupannya yang sederhana, dan prinsip hidupnya yang kokoh untuk mengelola aktivitas politiknya. Gama Muchsin, kakaknya yang tertua, dalam kesempatan obrolan dengan penulis via telepon saat penulis memintanya menuliskan sesuatu yang penting tentang adiknya untuk kebutuhan data tulisan ini, bertutur: Adik saya adalah manusia sederhana. Seharusnya dia sudah dapat membeli banyak hal. Namun seperti yang bisa kita lihat selama ini, dia punya apa? Alm. Ayah kami lebih sederhana lagi… Saya tidak bisa menulis tentang adik saya. Terlalu sulit. Jatuhnya saya bisa-bisa menangis karena menuliskannya.

Kesederhanaannya, dan sisi kebersahajaannya, tak hanya diakui dalam keluarga besarnya. Di luar keluarga pun diakui luas. Abdullah Totona, di harian Malut-Post (3/8/2020) pernah menerbitkan tulisannya, Meletakkan HuManiS, Membangun Halsel Harmonis. Disebutkan bahwa Selama bersentuhan dengan beberapa anggota DPR Maluku Utara, saya baru pertamakali menemukan sosok anggota DPR Propinsi seperti Helmy dengan penampilan sederhana —kaos oblong dan celana pendek ketika berada di ruang publik (Jarod Cafe). Helmy rupanya mengenal secara mendalam bahwa sebagai wakil rakyat tak selayaknya berpenampilan yang menunjukkan status sosial di tengah situasi masyarakat "pelosok pulau' yang masih berkekurangan. Helmy menerobos batas sosial
dengan gayanya yang sederhana, tenang, cerdas, dan murah senyum.

Bila diperiksa secara lebih teliti —agar tak melahirkan kesalahpahaman— bahwa penampilan serba sederhana hanyalah kebutuhan pencitraan politik, maka keterangan keluarganya memberikan gambaran, yang demikian itu adalah apa adanya (loa-loa) seorang HUM. Sita Muchsin menggambarkan Pua-nya (HUM) sebagai sosok yang mengayomi, helpful, baik hati dan tidak sombong. Pua itu role model dalam keluarga juga.

Karakter HUM yang apa adanya ini memiliki jangkar yang kuat pada ayahnya; yang membuatnya tak tergiur dengan segala kemewahan yang ditawarkan pencapaian karir politiknya. Sita Muchsin memberikan keterangan lanjutan: Prinsipnya, genggamlah dunia di tangan, dan jangan di hati (sebagaimana dinasehatkan Amirul Mukminin Umar Ibn Al-Khattab), dan itu merupakan ajaran dari Ayah kami. Bagi Pua, hal-hal yang bersifat materialisme itu adalah benda mati. Istilah yang sering Pua kemukakan 'barang mati'. Mau disimpan atau dibagi, sama-sama akan hilang juga.

Adalah, dengan keterangan itu, apa adanya HUM bisa dimengerti. Pertanyaannya, bagaimana idealisme politik seorang HUM? Akan diterangkan pada bagian selanjutnya. Bagian ini akan ditutup dengan satu kutipan panjang dari kesaksian Rusdi Abdurrahman via WA, seorang wartawan Malut Post, Biro Propinsi pada 2013-14 dan 2016-19 untuk menunjukkan sedikit dari keluesan ikhtiar politik
kemanusiaannya sebagai anggota DPRD Propinsi. Rusdi menulis:

Helmy semasa menjadi anggota DPRD Propinsi, berada di Komisi IV yang menangani masalah pendidikan, kesehatan, juga keagamaan. Sebagai sekretaris, Helmy berperan aktif mengawal agenda pembangunan. Di bidang pendidikan, misalnya, ia memperjuangkan nasib, merujuk data tahun 2017-18, sekitar 2700-an guru honorer. Sebab, para guru honor hanya digaji Rp. 500-750 ribu per bulan, sebagai akibat dari pengalihan domain SMA/Sederajat pada kewenangan Pemda Propinsi. Karena itu, bersama teman-temannya di Komisi IV, Helmy memperjuangkan gaji guru honorer dalam APBD 2018 sehingga naik menjadi Rp.1.500.000 per bulan.

Harus diakui, Helmy adalah salah satu anggota DPRD yang paling menguasai isu-isu pendidikan. Tak hanya infrastrukturnya. Helmy pun paham betul paradigma pendidikan dan karenanya hal-hal paling tekhnis dalam proses belajar mengajar di sekolah. Tak ayal, Helmy jadi buah bibir di Diknas Pendidikan. Dinas ini, setiap saat diundang rapat. Dikontrol kinerjanya. Dan diingatkan beban kerjanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di Maluku Utara. Dinas ini mendapat interupsi sangat keras bila, misalnya, terlambat mendistribusikan Dana BOS ke sekolah.

Di bidang keagamaan, Helmy paling lantang menyuarakan pembebasan dana embarkasi haji. Sebelumnya, dana embarkasi haji sekitar Rp. 14 juta untuk biaya transportasi PP Ternate-Makassar, biaya bus dan penginapan di asrama Sugeng Makassar. Pada tahun 2014, beban itu dihapuskan dan menjadi beban Pemda Propinsi sebelum akhirnya diputuskan ditanggulangi melalui subsidi silangantara Pemda Propinsi dan Pemda Kabupaten/Kota.

Sementara, di bidang kesehatan pun tak kalah taringnya. Helmy bersama teman-temannya di Komisi IV memperjuangkan RSUD Chasan Boesorie menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Badan ini lebih otonom, tak bergantung pada Pemda dalam pengelolaannya, lebih-lebih dari sisi anggarannya. Nyaris seperti SKPD saja.

Helmy menilai langkah itu sangat penting dilakukan untuk memotong rantai birokrasi anggaran yang panjang dalam urusan penanganan pasien dan kebutuhan mendasar RSUD yang lain yang tak bisa ditunda. Prinsipnya, terobosan ini perlu dengan mempertimbangkan tingkat percepatan dan efektivitas pelayanan. Sebab, kesehatan warga adalah salah satu tanggungjawab penting pemerintah yang tak boleh dipasung oleh apa pun, termasuk rantai birokrasi yang rumit dan panjang. Karena itu penting disederhanakan.

Sebelum RSUD menjadi BLUD, anggarannya bergantung pada persetujuan Dinas Kesehatan dan Bagian Keuangan. Akibatnya, karena birokrasinya sangat rumit dan panjang, RSUD kerap kehabisan dana di tengah tahun berjalan. Belum lagi kondisi keuangan daerah yang mengalami krisis karena hutang pada pihak ketiga yang belum bisa terbayarkan, nasib keuangan RSUD ikut terpengaruh. Ini sama halnya memandang jiwa warga sebagai hal tak penting.

Setelah menjadi BLUD, kewenangan pengelolaan keuangan RSUD dalam domain Direktur. Ia memiliki kewenangan penggunaan langsung anggaran pendapatan RSUD tanpa harus disetorkan terlebih dahulu ke Kasda (Kas Daerah). Yang demikian ini adalah satu langkah maju yang besar dibandingkan mekanisme administrasi birokratif sebelumnya yang membutuhkan banyak langkah panjang yang memutar dan rumit. Sebab, pada mekanisme sebelumnya, anggaran pendapatan RSUD harus disetorkan terlebih dahulu ke Kasda. Anggaran itu hanya dapat dicairkan oleh RSUD berdasarkan permintaan kebutuhan yang diajukan Direktur kepada Dinas Kesehatan untuk disampaikan pada Bagian Keuangan. Prosesnya terlalu panjang dan lama untuk urusan kesehatan warga.

Rusdi pun menjelaskan betapa ia terkesan dengan cara HUM memperlakukan jurnalis:

Dalam melaksanakan perannya sebagai legislator, sosok yang satu ini sangat menghargai pers. Setiap kali ada yang harus dikonfirmasi kepadanya, selalu saja ada waktu untuk wartawan. Tak hanya itu, Helmi pun (bahkan) acap kali membocorkan "kisi-kisi" agenda rapat tertutup yang hangat diperdebatkan dalam ruangan tanpa kehadiran wartawan. Lebih-lebih masalah anggaran. Dengan keterbukaannya itu, meskipun wartawan tak diperbolehkan masuk ke dalam ruang rapat, namun dapat mengetahui peta masalah sehingga memudahkan melakukan konfirmasi untuk kebutuhan pembuatan berita.

Restu Dua Perempuan untuk Sebuah Legacy

Seperti lazimnya, setiap keputusan penting yang diambil seseorang, yang mempengaruhi masa depannya, selalu hampir pasti dimulai dengan sharing pikiran dengan pihak lain yang dipercaya karena kedekatan emosionalnya, atau karena keahliannya. Agar keputusannya tak keliru. Paling tidak, agar tak ada "penyesalan" di kemudian hari karena kecerobohan. Yang demikian itu pun dilakukan seorang HUM, terkait dengan kebutuhan politiknya: menjadi kontestan dalam Pemilihan Bupati di Kabupaten Halsel 2020.

Gama Muchsin menuturkan: Sebelum adik saya maju, dia mendiskusikan rencananya dengan kami, saudara/inya. Benar, masyarakat menginginkannya menjadi orang nomor satu di Halsel. Tapi, saat itu saya sarankan agar dia meminta restu terlebih dahulu pada Mama kami. Jika Mama merestui, Bismillah. Namun, bila Mama tidak merestui, jangan ambil resiko dengan memaksakan diri tetap
maju mencalonkan diri. Sebab, saya sampaikan pada adik saya: 'Berkahmu ada di Mama.' Alhamdulillah, Mama pun merestuinya.

Saran kakaknya diterima. Sebab itu sangat mendasar; sebagai nilai pokok yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil. Pada bulan Ramdhan 2019, HUM menerima restu Ibunya dalam sebuah acara berbuka puasa bersama keluarga. Ibunya, sebagaimana dituturkan kakaknya, Gama Muchsin, meminta HUM agar: Ngana bafikir bae-bae. Ngana sambayang. Ngana minta petunjuk. Kalu Allah SWT kase petunjuk maju, Bismillah maju. Pada intinya Mama restu. Ridho ngana (Kamu berpikir secara baik. Sholatlah. Minta petunjukNya. Jika Allah SWT memberi petunjuk ke arah yang kamu inginkan, maka Bismillah kamu boleh maju. Pada prinsipnya Mama merestui. Meridhoi langkahmu).

Restu Ibunya adalah dasar paling pokok dalam setiap ikhtiar berjuangnya. Serupa Ibunya, restu dan dukungan yang sama diharapkan datang dari istrinya, Mardiana Bopeng, yang setia menemaninya dalam segala situasi. Pada kesempatan wawancara dengan istrinya, via Messenger, kepada penulis, dituturkan bahwa: Bismillah. Saya mendukungnya jika itu yang terbaik untuk masyarakat Halsel. Walaupun, konsekuensinya, waktu kami —saya dan anak-anak— bersamanya sudah (akan) agak terbatas. Tapi, demi kepentingan kebaikan Halsel, kami tetap mendukung. Saya selalu siap sedia mendampinginya di setiap langkah yang diambil, baik sedang di atas maupun di bawah.

Restu dua perempuan ini adalah kemenangannya yang terbesar. Keduanya, sebagaimana Ibu mertuanya, kedua putrinya, dan saudara perempuannya, selain sebagai kebanggaannya, juga sumber kekuatannya. Melalui mereka, HUM pun seolah mendapati inspirasi besar untuk memahami hukum dasar berjuang, jangkar dari mana idealisme politiknya mendefinisikan posisi-perannya serupa
perempuan untuk melahirkan suatu generasi yang kuat di masa depan.

Tepat pada posisi ini, idealisme politiknya mengincar legacy untuk generasi pewaris negeri. Sebuah obsesi pengabdian politik kemanusiaan yang sangat penting bagi HUM sebagaimana diakui adiknya, Sita Muchsin: Satu hal yang substantif yang menyangkut prinsip hidup Pua Helmy yaitu 'Legacy' (peninggalan buat anak cucu kelak). Menurut Pua, hal yang paling utama yang harus kita wariskan kepada anak cucu (generasi penerus) adalah bukan materi/harta benda. Tetapi nama dan budi pekerti. Keteladanan hidup. Meduanya harus menginspirasi orang lain. Menggerakkan masyarakat. Agar kelak bermanfaat. Pua belajar dan mengerti betul nilai penting keduanya dari jejak hidup Alm. Ayah.

Tak ayal, legacy itu menjadi epilog tulisan ini. Rekam jejak dan proyeksi berbuat seorang HUM itu seolah menegaskan kembali suara Voltaire, seorang filsuf Prancis, Saya tahu tidak ada orang-orang hebat kecuali mereka yang memiliki pengabdian besar pada humanitas (kemanusiaan). Di ujung proyeksi ikhtiar politik humanisnya, hanya ada satu kehendak sebagaimana dikatakan sosiolog Basri Amin dalam dialog Masa Depan Tanah dan Air, sebagai rangkaian puncak Satu Dasawarsa Komunitas Jarod: Masyarakat yang memiliki masa depan adalah yang tak (sibuk) mencari-cari pahlawan.

HUM bukanlah seorang pahlawan. Dan tak bermaksud menjadi pahlawan. Ia hanya melakukan keyakinan politik humanisnya, meneruskan dan memperkaya perjuangan Alm. Ayahnya: melahirkan masyarakat baru yang kuat yang punya masa depan di Halmahera Selatan.***

#AnaPulo_SamuaSuku
Purworejo. Oktober, 2020

Komentar

Loading...