JEJAK KALIBER PRINS REBEL (Mengenang 214 Tahun Wafatnya Nuku)

Rusly Saraha

Oleh : Rusly Saraha

Istana bergetar. Protes itu menggelegar. Pangeran
Muhammad Amiruddin alias Nuku bersama saudaranya Badiuzaman Garomohongi tampil
didepan. Keduanya menenteng nyali, menuntun jalan perlawanan. Sebabnya adalah
penetapan traktat sepihak yang dilakukan oleh Pemerintah VOC Ternate dibawah
komando Gubernur Hermanus Munnik. Sultan Jamaluddin dibikin terpojok, ia
dipaksa membayar utang kepada VOC akibat serangan penjarahan yang dituduhkan
kepada bala kesultanan Tidore.

Jamaluddin tak terima, lalu pada 12 Juni 1768, Gubernur
Munnik benar-benar mempertontonkan watak asli kolonialisme yang ekspansionis
eksploitatif. Ia dengan kekejiannya meminta hak Seram Timur yang menjadi
wilayah kedaulatan Tidore untuk diserahkan kepada VOC. Kali ini Nuku yang
bernyali makin tak berhenti melawan. Perdebatan itu terus mengalir, perseteruan
menjadi tak terkendali. Hingga di era Gubernur Jacob R. Thomaszen, petaka itu
menimpa. Jamaluddin diseret keluar istana, mahkotanya jatuh di pinggir tahta.
Sultan yang merupakan ayah dari Nuku itu dibuang ke Batavia bersama dua saudara
Nuku yaitu Kaicil Garomahongi dan Kaicil Zainal Abidin. Didalam rombongan
orang-orang terbuang itu juga terdapat Sultan Bacan. Mereka dituduh berkonspirasi
dalam upaya makar memerangi Ternate dan mengusir VOC di tanah Maluku.

Petaka diatas membuat rakyat tak tinggal diam. Mereka
makin geram. Nuku berdiri mengatur langkah. Ia menghitung cara  melawan kebiadaban itu.Tapi kompeni yang
penuh tipu-tipu menghasut  Patra Alam
dengan iming-iming kekuasaan. Mereka menyiapkan armada besar untuk bersiaga
menyerang. Pada 14 Juli 1780, Markas pemberontak di Toloa dibumihanguskan oleh
pasukan gabungan Eropa dan milisi pribumi Alifuru. Gubernur Cornabe akhirnya
tersenyum renyah setelah Kaicil Kamaluddin, Prins Mossel dan Pangeran Van Der
Parra ditangkap. Ia menduga bahwa api pemberontakan itu telah dapat dengan
mudah dipadamkan. Tetapi Cornabe benar-benar keliru.

Sosok yang menjadi aktor utama itu lolos dari upaya jahat
penyerangan Toloa. Nuku selamat, ia dengan segala kelihaian keluar dari situasi
penyerbuan aliansi yang membabi buta. Nuku bergegas bersama beberapa kompatriot
menyelamatkan diri, dari Toloa menuju Payahe, lalu ke wilayah Gamrange hingga
akhirnya perahu kora-kora yang ditumpanginya lego jangkar di Seram Timur.
Disana orang-orang Papua dan Seram Timur berdiri berjejer melupakan jarak.
Mereka dengan segala kesadaran mendaulat Nuku sebagai Raja Seram dan Papua.

Sejenak ada tanya tertumpah. Bagaimana bisa seseorang
yang baru datang dari pelarian di Tidore begitu cepatnya diterima, bahkan
didaulat menjadi Raja di negeri jauh, yakni Raja Seram dan Papua. Tetapi
sejarah telah menulis bahwa Nuku memperoleh amanat itu. Bisa kita bayangkan apa
yang dilakukan oleh Nuku semenjak kakinya yang tak lagi mulus itu menancapkan
kaki di pasir halus Pantai Waru di wilayah Timur Seram. Saya menduga daulat
paduka Raja Seram dan Papua itu karena sosok Nuku yang terlekat didalamnya
karakter seorang intelektual bernyali dan punya integritas mumpuni.

Nuku mewarisi karakter yang tak hanya disukai di zaman
itu, tapi sangat dibutuhkan. Betapa setelah ia didaulat menjadi Raja, hidupnya
jarang di istana, apalagi menikmati segala kemewahan atas jabatan yang
diembannya. Ia memimpin langsung jejak perlawanan, bertempur dimana-mana demi
menumpas kolonialisme yang bercokol di jazirah Maluku dan Papua. Nuku
benar-benar menyadari bahwa lawan yang dia hadapi tak sedikit, ia tahu bahwa
Pemerintah VOC di Ternate, Ambon dan Banda yang bersekongkol dengan Kesultanan
Tidore dan Ternate saat itu sedang memburunya.

Pada Oktober dan Desember 1780, VOC Ternate dan Ambon
telah melakukan upaya bombardir terhadap daerah-daerah yang menjadi basis
perlawanan Nuku, yakni Gamrange dan Seram Timur. Armada ini datang dari
berbagai latar koalisi, kora-kora Tidore dan Ternate, kapal Bali dan Makassar,
ditambah pasukan Alifuru dari Tobelo dan Gorahe ikut terlibat dalam ekspedisi
yang dikomandoi Kapten Heinrich dan Letnan Maffa Mira. Gubernur VOC Ambon, Van
Pleuren menyusupkan api kedalam kepala para pemburu, ia menjanjikan memberi
hadiah 1000 rix-dollar bagi yang berhasil menangkap Nuku. Di tahun 1782,
Gubernur Ternate, Cornabe melalukan upaya yang seirama. Ia memberi iming-iming
100 ducaton dari dana pribadinya
ditambah tongkat berkepala emas maupun perak.

Disaat yang sama Nuku tak berhenti menggalang kekuatan,
ia bergerak dari berbagai penjuru untuk menambal semangat perlawanan pada
daerah-daerah di wilayah kuasanya. Saban hari ia terus melakukan gerilya laut,
menerobos satu pulau ke pulau lainnya. Nuku teguh menantang badai,
bergulung-gulung gelombang ia lewati. Ia meracik taktik dan strategi, menyusun
rencana psywar ke markas lawan bahkan
berdiri di garda paling muka dalam memimpin perjuangan.

Setelah Kamaluddin naik tahta pada tahun 1784, posisi Kesultanan
Tidore sebagai vassal VOC Belanda
tetap tak berubah. Kamaluddin menerima nasib ketidakberdayaan kuasa dari
pendahulunya Sultan Patra Alam. Pria yang dahulunya menjadi kekuatan inti
pemberontakan bersama Nuku pada 1780 ini terpaksa menjadi budak kompeni.
Kamaluddin tak punya pilihan lain selain menunjukkan kesetiaannya pada VOC.
Beberapa kali ia menyusun rencana pertempuran melawan Nuku bersama VOC.
Beberapa penyerangan semenjak Kamaluddin bertahta telah terjadi, Pada 1789,
armada Tidore dan Gamrange menghantam markas Nuku di Salawati, beberapa bulan
kemudian diikuti oleh penyerangan Ambon terhadap Seram Timur. Dua penyerangan
itu tak berhasil menangkap Nuku sebab Prins Rebel itu sedang berada di Misool.

Dalam buku Pemberontakan Nuku, Muridan Widjojo mengulas
tahun 1790 – 1791 sebagai masa-masa kritis dan sulit bagi pasukan Nuku. Di masa
ini, armada gabungan empat kekuatan (Tidore, Ternate, Ambon dan Banda) terus
menggempur dengan serangan-serangan sistematis ke markas utama Nuku di
Gamrange, Seram Timur dan Raja Ampat. Komandan-komandan utama yang menjadi
pilar kekuatan Nuku bahkan terbunuh dan ditangkap, sebagiannya memilih tunduk
pada VOC. Disaat yang sama Nuku juga kehilangan dua saudaranya yang setia pada
garis perjuangan yakni Kaicil Malikuddin yang “terpaksa menyerah” dan Kaicil
Manoffa yang wafat pada pertempuran Aru. Kekuatan Nuku tiap saat makin
menyusut, ia hampir saja terkapar dalam kekalahan.

Meski begitu jalan juang Nuku belum usai. Ia berhasil
keluar dari situasi tersulit yang menimpanya. Pada 1791, Nuku berhasil
meyakinkan ksatria-ksatria Canga untuk bergabung dalam pasukan pemberontak.
Sekitar 400 orang Galela, Tobelo dan Tobaru yang sebenarnya menjadi subjek
Kesultanan Ternate memutar haluan. Mereka yang sepuluh tahun lalu terlibat dalam
penyerangan terhadap Nuku berbalik mendukung putra kedua dari Sultan Jamaluddin
itu. Inilah yang menjadi salah satu bukti yang menunjukkan sosok Nuku sebagai
seorang negosiator yang ulung. Ia berhasil meyakinkan lawan yang dahulunya
memusuhinya untuk menjadi kawan seperjuangan. Itu pula yang dilakukan Nuku
terhadap Perdana Menteri Kesultanan Tidore Muhammad Arif Billa. Jojau yang
menjadi anak buah Kamaluddin ini memilih “membantu” Nuku melawan kolonialisme
dari beberapa surat yang dilayangkan oleh keduanya. Dan bisa dimungkinkan, Arif
Billa merupakan sosok yang membocorkan rencana rahasia Tidore dan VOC  termasuk serangan-serangan terhadap Nuku yang
selalu tak berhasil menangkap jejak sang pemberontak.

Tentu harus diakui bahwa kesuksesan sebuah kerja negosiasi
sangat tergantung pada siapa negosiatornya. Dalam urusan ini Nuku adalah orang
yang memiliki kepiawaian itu. Sekali lagi saya menduga keberhasilan itu terjadi
karena Nuku menunjukkan karakternya yang santun dalam berkomunikasi, mampu
menyentuh hati mereka-mereka yang diajak berkomunikasi dan benar-benar menjadi
sosok yang dapat dipercaya karena integritasnya yang mumpuni. Nuku tak hanya
berbicara, tetapi ia telah melakukan apa yang ia bicarakan. Ia benar-benar
menempatkan dirinya sebagaimana ungkapan Da’i Zainuddin MZ sebagai sosok yang “tidak hanya memberi teladan, tetapi telah
menjelma menjadi teladan”.

Karena itu pembelotan yang dilakukan oleh subjek-subjek
Nuku tak berlangsung lama. Orang-orang Gamrange, Raja Ampat dan Seram Timur
perlahan memilih jalan kembali ke pangkuan Nuku. Mereka seolah meyakini bahwa
Nuku mampu membawa jejak kemaslahatan yang lebih luas bagi negeri mereka. Dalam
urusan negosiasi ini, Nuku memang jagonya. Ia bahkan bisa membaca dinamika
perseteruan global. The Lord of Fortune ini
memilih beraliansi dengan Inggris untuk melawan Belanda dalam beberapa
surat-surat yang dilayangkannya. Nuku dengan hebatnya mampu membawa Inggris
kedalam jalan juang yang ia kehendaki. Pada September 1794, dua kapal Inggris (Resource dan Duke of Clarence) terlihat mengawal Nuku dalam perjalanan ke
Waigama yang didampingi Pangeran Ternate yang berpengaruh Ibrahim Al
Mukarram. 

Semenjak aliansi itu dan keberhasilan membangun kembali
kekuatan-kekuatan yang hampir rapuh membuat kepercayaan Nuku dan pasukannya
makin tinggi. Ia bahkan beberapa kali menerima tawaran amnesti dari VOC. Pada
Februari 1795 Gubernur Jenderal dan Dewan VOC menawarinya tahta untuk memimpin
Papua atau Seram Utara sesuai pilihannya. Nuku menolak bujuk rayu itu,
matahatinya tak pernah silau. Pada Agustus 1795, Nuku dengan segala prinsip
yang ia pegang bahkan menyurat kepada Sultan Kamaluddin agar kelak nanti
bersama-sama Nuku memimpin Tidore dalam sinergi damai. Kompeni terus-menerus
mencoba mencari cara, tetapi mereka tidak cukup piawai untuk meruntuhkan harga
diri seorang Nuku. Hingga Pemerintahan tertinggi VOC di Batavia mengeluarkan
instruksi melarang pemerintahan VOC Ternate, Ambon dan Banda untuk berunding
dengan Nuku sebab ia benar-benar merupakan onverzoenlijke
vijand
(musuh yang tidak bisa diajak berdamai).

Dua tahun kemudian tepat pada tanggal 12 April 1797,
jalan revolusi bermartabat itu terjadi. Nuku kembali ke Tidore dengan 70 kora-kora yang mengiringinya. Saat tiba,
Sultan Kamaluddin telah melarikan diri ke Ternate. Kehadirannya Nuku dielu-elukan
oleh para bobato dan bala yang berada di Tidore. Tak ada pertumpahan darah
disana, apalagi tragedi pembakaran istana. Semuanya berlangsung begitu damai,
hingga akhirnya Kamaluddin dengan sendirinya menyadari ketidakberdayaannya dan
memaklumi Nuku sebagai Sultan Tidore pengganti dirinya.

Nuku akhirnya memimpin Kesultanan Tidore dan mewujudkan misinya menghidupkan kembali kejayaan Kie Raha sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh pendahulunya Jou Kota Sultan Saifuddin maupun Kolano Ternate Sida Arif Malamo kala menyusun kerjasama Moti Verbond. Nuku lalu berinsiatif membangkitkan Kesultanan Jailolo yang telah lama terkapar. Ia menunjuk Muhammad Arif Billa, Sangaji Tahane yang pernah menjadi Jojau Tidore sebagai Kolano Jailolo. Lelaki yang selalu dan hanya setia pada seorang istri bernama Boki Geboca ini terus-menerus menjaga kedaulatan dan martabat negeri dari pengaruh kolonialisme. Ia terus menggaungkan semangat kemerdekaan dari campur tangan asing, terus-menerus bekerja siang dan malam untuk melayani rakyatnya, memperlakukan setiap orang secara adil tanpa melihat latar orang yang kaya dan miskin hingga takdir menuntunnya pada jalan pulang sebagai pemenang di 14 November 1805.[]

Komentar

Loading...