Kawasan Kuliner Tugulafa : Modernitas Kota versus Mentalitas ‘Kumuh’.

Oleh Anwar Husen,S.Pd,M.Si

Pemerhati Masalah Kota/Mantan Kadis Pariwisata Provinsi Maluku Utara

Dalam kesempatan diskusi lepas dengan beberapa teman dua pekan lalu tentang prospek dan trend kondisi kawasan kuliner tugulufa tidore yang baru di tempati,saya spontan melempar tesis : tunggu 6 bulan lagi kawasan ini akan jadi kumuh lagi seperti tempat awalnya yang sudah di bongkar.

Melihat pemberitaan media tentang banyak sampah di tugulufa, maksudnya tentu di kawasan kuliner yang baru di tempati itu.

Apa sesungguhnya masalah dan alasannya sehingga kawasan ini di pandang begitu penting untuk di urus secara serius, tepat dan bervisi integratif???

Pertama : kawasan ini menjadi icon yang representatif untuk ukuran kota ini bagi alternatif wisata kuliner tidak saja bagi warga kota tetapi,terlebih pengunjung/pelancong dari luar kota.
Kedua : kota ini terlanjur terimage sebagai kota bersih dengan torehan piala adipura sejak lama.
Ketiga : budaya masyarakatnya yang kental dengan kultur islam,memang terbiasa menjaga kebersihan khususnya lingkungan sejak lama.
Keempat : yang tak kalah pentingnya,kota ini akan menyongsong ivent berskala global, napak tilas ekspedisi magellan dan sail tidore di tahun depan, serta banyak alasan lainnya.

Sering Terlambat.
Mengutip seorang sosiolog italia, rektor ikip manado kala itu prof.Dr.A.E.Sinolungan mengatakan bahwa masyarakat itu seperti " mesin aneh. mereka bisa bergerak dengan di atur [pemerintah/pengambil kebijakan]. Kadang juga bergerak sendiri menurut "insting"nya dan tepat menurut kepentingannya.

Hingga saat ini saya mengamati seidaknya ada "2 terlambat" di tugulufa, membaca arah pergerakan, trend bahkan " feeling bisnis" pelaku usaha kuliner di tempat ini :
Pertama : ketika menjadi kadis parwisata provinsi maluku utara,saya memutuskan menggelar ivent solar eklipse di tempat ini samping benteng oranye di ternate saat gerhana matahati total 9 maret 2016.saat itu kawasan ini relatif kosong dan rengang.di tumbuhi pepohonan yang di tanam dan rumput liar.hanya ada satu dua kedai makan kecil.pasca GMT kawasan ini tumbuh cepat " penghuni"nya.mulai berdiri jejeran kedai makan minum yang terkesan di buat seadanya.dalam waktu relatif singkat sebagian kawasan ini full dengan kedai dan jadi ramai,nyaris tanpa skema dan rencana.apa yang menarik di sini???kita terlambat dengan skema intervensi kebijakan sehingga berkembangnya terkesan tanpa pengendalian,termasuk memunculkan kesan kumuh.kalaupun ada sedikit intervensi,toh tidak mampu mengejar laju naluri pelaku usaha kuliner.maklum,fase pemerintahan saat itu baru saja di syahkan dan relatif belum bisa action cepat.andai ada rencana utuh sebelumnya,mungkin saja kawasan ini di solek lebih baik,fungsional dan terintegrasi sebagai icon kuliner sebuah kota yang representatif.masalah pokoknya itu tadi,interaksi cepat di kawasan ini terjadi tanpa skema intervensi : pelaku usaha berkembang tanpa pengetahuan lebih dari hanya penjaja makan- minum kelas " dibo- dibo" tanpa pengetahuan hospitality untuk mendukung sektor pariwisata,wawasan pengembangan usaha yang pas-pasan.belum lagi soal estetika,bahkan etika.bisa di sebut ini" terlambat l".

Kedua : ketika kawasan ini mulai berkembang dengan segala beban dan efek plus minusnya termasuk cenderung menjadi kumuh,mulai di pikirkan alternatif pengembangannya : membangun tempat baru agak ke timur yang lebih representatif.sudah tentu kita mau belajar.paling tidak,tidak lagi mengulangi "terlambat l" di tempat lama itu.tetapi apa iya,ini tidak akan terjadi lagi???tesis saya di diskusi lepas dan berita koran di atas boleh jadi sedang mengirim sinyal pembuka menuju " terlambat ll"
setidaknya hingga saat ini.begini alasannya :
pertama : desain bangunan yang tidak terintegrasi secara utuh.setidaknya sebagai bangunan/kawasan pariwisata,aspek pokok yang harus di pikirkan integrasi desainnya secara matang adalah aspek penanganan kebersihan/sanitasi,kenyamanan dan aspek estetika kawasan.apalagi kawasan ini memiliki dua sisi pandang [view] yang sama- sama penting,sisi timur dan sisi barat [menghadap ke laut dan ke gunung].jadi tidak ada istilah sisi depan dan sisi belakang.sama-sama sisi depan.artinya,sama-sama penting di urus.
kedua : peruntukannya tidak di maksudkan sebagai tempat menjaja kuliner yang sudah di olah yang siap santap tetapi sekaligus dapur mengolahnya.ini menjadi rentan masalah ikutan yang harus di tangani integral.

Ketiga : perencanaan penanganan sampah yang belum terintegrasi memunculkan lagi kesan kumuh,setidaknya hingga saat ini.
keempat : [maaf],mentalitas "kumuh" sebagian pelaku usaha yang belum bergeser/berubah sehinggga sedikit banyak mengganggu kenyamanan dan estetika.

Menahan laju "terlambat ll".
Hemat saya, sensitifitas dan peduli adalah modal paling dasar dari dua sisi mata uang pemberi layanan publik. Jika di soal corona, semua orang butuh berpikir dan bertindak cepat merelokasi penyebaran cofid19 maka di soal ini kita hanya butuh sedikit cepat tanggap dan melihat lokasi, bukan merelokasi lagi, mungkin saja ini yang bisa di lakukan :

Pertama : rencanakan sedikit " tirai" di sisi barat untuk /mengaburkan" pemandangan proses mengolah penganan jika tidak ada pilihan lain.buat sedikit kreatif agar estetik dan multi fungsi.

kedua : penataan ruang ruang terbuka di sisi barat untuk mendukung mobilitas pengunjung sebagai alternatif bersantai di saat terik.

ketiga : rencanakan pelatihan hospitalty bagi pelaku usaha kuliner dan motoris taksi air di pelabuhan sebelahnya bahkan sampel pengunjung untuk mendukung modernitas pengembangan kawasan ini.pelaku usaha dan pihak terkait perlu di beri wawasan bahwa tempat ini tidak sekedar menjaja penganan.kalau hanya sekedar menu,orang bisa mengolahnya sendiri.di rumah dengan kualitas yang terjamin,higienis dan cita rasa yang beragam.jauh lebih penting dari itu : menjual view,menjual kenyamanan,menjual keramahan,menjual kebersihan,menjual estetika dan menjual etika.dan bahkan menjual gengsi.semua ini lebih "mahal" jauh lebih mahal harganya dari sekedar penganan.

keempat : rencanakan lokasi parkir kendaraan yang tidak mengganggu sirkulasi dan aktifitas di jalan raya.
kelima : rencanakan integrasinya dengan akifitas masjid di sisi barat untuk melengkapi aktifitas wisata di kawasan ini.misalnya,area penghubung pejalan kaki.
kelima : rencanakan integrasinya dengan dermaga taksi air di sisi timur sebagai pintu masuk guna mendukung aktifitas kawasan ini.

kelima : merencankan rencana.segera ubah mindset.biasakan melibatkan publik dalam merencanakan public area karena mereka penikmatnya.mereka lebih paham secara fungsional.perlakukan mereka sebagai "konsultan perencana sekaligus pegawasan" yang sesungguhnya agar lahir tanggngjawab dan rasa memiliki fasilitas publik yang kuat.bentuknya bisa FGD atau bahkan sayembara.agar kelak kita tidak di klaim merencanakan kegagalan.

catatan terakhir : selera itu milik banyak orang dan banyak segmen,hak banyak orang dan banyak segmen dan mereka yang lebih mampu membayar mahal sekedar " membeli"nya.karena itu, kita tidak bisa memaksakan selera kita di beli mereka kalau kita tidak tahu seleranya.

tomagoba,15/03/2020.

Komentar

Loading...