Oleh: M. Kubais M. Zeen
Penulis Literasi. Bermukim di Makassar.
“Bersikap soliter, bertindak solider!
(Najwah Shihab)
Terinspirasi kisah para Nabi dan Rasul, Antony, seorang Mesir yang terlahir dari keluarga Kristen kaya-raya pada masa pemerintahan Konstantin, 227-337 Masehi, menjual dan membagi-bagikan semua harta warisan kedua orangtuanya. Saat dia berusia 20 tahun dan seorang adik perempuan, ditinggal pergi ayah ibu, menghadap Sang Pencipta. Antony mengabdikan diri pada kehidupan soliter: bermukim di gunung-gunung, kuburan, dan padang gurun. Pilihan menjadi orang soliter ia jalani untuk membayangi Tuhan.
Sutradara teater Shinta Febriany menukil kisah itu dalam esainya di kolom Literasi Koran Tempo Makassar, 25 April 2013. Kisah lain, saya jumpai pada buku Robin Sharma, The Monk Who Sold His Ferrari, yang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa di dunia termasuk Indonesia oleh Penerbit Kaifa, Bandung. Julian Mantle, pengacara kondang hartawan yang punya mobil Ferrari. Suatu hari di tengah persidangan, serangan jantung hampir mengakhiri hidupnya. Orang-orang berkerumun, menolong. Selama jeda, ia merasa Tuhan memberinya kesempatan hidup yang kedua kalinya. Juga sadar, popularitas dan kemewahan yang malah membuatnya tak bahagia selama ini, lantaran menjalani impian dan penilaian orang lain. Kering spiritual.
Julian memutuskan menanggalkan profesi yang riuh membesarkan diri dan kehidupannya, memperlakukan semua hartanya seperti Antony di era Konstantin. Ia menjalani hidup baru: berguru spiritual pada banyak guru dan orang bijak yang ia temui, termasuk di Desa Sivana. Di sini, ia rengkuh kedamaian, juga energi luar biasa yang membuatnya jauh lebih mudah tiga puluh tahun dari usianya, lima puluhan.
Ternyata, tak hanya di antara manusia yang soliter. Organisasi nirlaba World Wide Fund for Nature (WWF) menyuguhkan catatan perihal delapan hewan soliter yang mengarungi habitatnya. Antara lain Penyu, Paus biru, Macan tutul salju, Beruang kutub, Jaguar, Orangutan, Giant Panda atau Panda raksasa, dan Platipus asli Australia (nationalgeographic.co.id., 17/4). Masing-masing punya cara dan kekuatan dalam kesoliterannya.
Soliter ialah orang yang selalu menyendiri atau berduaan di tempat yang berjarak dengan keramaian (lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam soliter, seseorang dapat membaca diri, membedah diri, melepaskan semua hasrat memiliki, seperti larik lagu Emha Ainun Nadjib,akhirnya ku tempuh jalan sunyi. Mendendangkan lagu bisu. Sendiri di lubuk hati. Tercemin juga dalam pusisi Sapardi Djokodamono, karena tak dapat ku temukan kata yang paling sepi, ku telantarkan hati sendiri, sastrawan Khrisna Pabhicara, dalam sepi-sepi, kutemukan dirimu lebih lama dari biasanya.
Kini, di tengah pandemi global Covid-19, adakah orang-orang soliter? Jika ada yang ingin mengukir kisah seperti Antony dan Julian yang menghempaskan segala perhiasan dunia, tak akan direstui istri, anak, maupun sanak family. Sejak pandemi itu menyebar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia, potret soliter dijumpai pada orang-orang yang ditegaskan Najwah Shihab di atas.
Wujud soliter yaitu menaati social distancing, dan physical distancing yang diserukan pemerintah, sembari mengulurkan tangan (tindakan solider) untuk kesembuhan pasien, meringankan beban pemerintah, tim medis, dan tim gugus tugas, yang mengarahkan segala sumber daya menghadapi Covid-19.
Penggalangan dana, pembagian makanan, kebutuhan hidup, dan masker gratis, gencar dilakukan musisi, jurnalis, orang tertentu, pengusaha, komunitas, organisasi keagamaan, dan seterusnya. Yang tak kalah mengangumkan ditunjukkan orang-orang tajir, di antaranya yang saya ingat, Cristian Ronaldo dan Surya Paloh: merelakan hotelnya untuk penanganan pasien Covid-19. Pemilik Wardah Cosmetic, mengucurkan dana empat puluh miliar, sembilan wakil rakyat daerah Provinsi Malut merogoh kocek sendiri, dan Wali Kota Tidore Kepulauan Ali Ibrahim menyumbangkan gajinya tiga bulan, dan akan ia sumbangkan lagi jika corona belum berakhir.
Ilmuan yang sejak dulu diidentikkan dengan kesunyian, menghabiskan banyak waktu di laboratorium untuk menemukan vaksin penyakit Covid-19, agar dapat menyelamatakan nyawa manusia. Ilmuan Universitas Harvard, Amerika Serikat, 15 April lalu mengumumkan hasil studinya melalui simulasi komputer menyebutkan, lockdowan dan distancing social, kemungkikan masih diperlukan hingga tahun depan (liputan6.com.,15/4). Di kampus tersohor sejagat ini pula, ilmuan termasuk di Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam studinya menemukan tingginya tingkat kematian pasien Covid-19 berhubungan dengan buruknya kualitas udara akibat polusi udara. Sebanyak 3.080 kota di negara itu yang dianalisis (Tirto.id., 15/4).
Solidaritas dalam soliter tak harus berwujud materi. Jika belum mampu mengulurkan tangan, sudahilah hasarat menghororkan dan menyebar informasi hoax Covid-19. Bekap mulut dan ikat lidah tak bertulang yang gampang mendiskriminasi pasien meninggal, dan dalam perawatan maupun sudah dinyatakan sembuh oleh tim medis. Keluar rumah untuk hal penting kenakan masker. Banyak kalangan sudah menyerukan ini, dengan harapan, tak ada lagi yang mengaduk air yang sudah keruh di tengah masyarakat dan bangsa. Bahkan di Kota Ternate, kedapatan keluyuran di atas pukul 21.00, berurusan dengan Polisi.
Semakin banyak waktu menyenpi di rumah bersama keluarga, dapat memupuk solidaritas, kasih sayang, keteladanan, dan nilai-nilai religus lainnya yang sebelum Covid-19 mungkin tergadaikan oleh pelbagai aktivitas di luar rumah. Bahkan, ada yang bertahun tak bersua keluarga karena pekerjaan, seperti lagu tentang Bang Thoyb. “Baity jannati,” rumah ku surga ku, yang dengan indah dilantunkan Bunga Citra Lestari, Keluarga Cemara.”
Pasien-pasien bermacam kategori yang dikarantina atau mengkarantinakan diri sendiri (sebut saja disoliterkan pihak berwenang), bertindak solider dengan memberikan informasi yang benar kepada tim midis, juga patuhi aturan. Tak perlu menyusahkan banyak orang dengan melarikan diri, sebab jauh hari, berabad-abad lalu, Nabi Muhammad Saw., sudah mengingatkan, jangan bertandang di daerah terpapar wabah.
Dengan bersikap soliter bertindak solider, jiwa makin peka dengan penderitaan sesama manusia tanpa menengok status sosial, agama, etnis atau suku, dan bangsa. Meminjam ungkapan esais Sulhan Yusuf kita memberikan saripati diri, penyair Muhary Wahyu Nurba menyebut berbagilah, berbahagialah,” dan M. Ghuran H. Kordi K, momen berbuat baik atau ladang beramal yang dianjurkan Tuhan.
Soliter solider teramat penting dijalani karena dampak penyakit Covid-19 cukup luas dan kompleks, sebagaimana dianalisa, diteliti pakar, dan kita baca atau tonton berita di berbagai media. Jika berlangsung lama, roda ekonomi negara kian surut, kehidupan rakyat terutama di kota metropolitan bertambah sulit, resikonya akan jauh lebih besar. Manusia yang punya otak dengan trilunan sel dan hati, dapat melampaui kekuatan besar hewan-hewan soliter, andai semua kukuh bersoliter, solider. (*)
Tinggalkan Balasan