Melibatkan Isu Subaltern

Murid Tonirio (Pengajar Fak. Ushuluddin IAIN Ternate)

Catatan untuk Kalamata Institut

RENCANA Herman Oesman, mengonsolidasikan program Kalamata Institut – lembaga swadaya masyarakat besutan Rahmi (Juned) Husen dan sejumlah teman, memaksa saya memikirkan ulang tujuan dasar organisasi partikuler. Seperti organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, semangat dasar NGO adalah “keberpihakan” kepada kebenaran dan kelompok sosial tertentu.” Tentu saja, istilah keberpihakan bisa sangat debatable.
Dengan itu, saya membayangkan LSM mesti ditata di atas prinsip-prinsip paradigmatik gerakan; kerangka konsep apa yang hendak digunakan. Apakah Institut Kalamata mengambil paradigma libertarian atau utilitarian? Atau menggabungkan keduanya?
Libertarian dan utilitarian memiliki perbedaan (distiction) secara teoritik. Namun, keduanya bisa menjadi acuan yang bagus merumuskan ‘program aksi.” Jika Kalamata Institut mengambil sikap mengasimilasikan libertarian dan utilitarisme, selanjutnya saya bisa membayangkan bahwa teman-teman di Kalamata Institut mesti mampu mengambil posisi laiaknya seorang antropolog. Posisi ini meniscayakan proponent Kalamata Institut mesti senantiasa berusaha dinamis memahami dinamika sosial.
Dalam usaha itu, teman-teman harus berani bertanya: Apakah masyarakat terhubung dengan struktur negara dan global? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan sangat menentukan langkah selanjutnya: bagaimana cara menautkan (engagement) massa kepada struktur negara dan global. Jika teman-teman menyimpulkan bahwa massa rakyat tidak terhubuhubung dengan, katakanlah, sumber daya ekonomi, rakyat mengalami economical disconnecting negara dan global, langkah apa yang mesti dilakukan, sehingga raykat, petani dapat memperoleh manfaat menjadi warga negara dan warga dunia?
Berangkat dari sini, dalam merumuskan peta jalan program aksi, saya menyarankan teman-teman pertama-tama memahami konsep “subaltern” yang subaltern pertama kali diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, yang maknanya merujuk pada populasi secara sosial, politik dan geografis ditundukkan oleh suatu kelompok yang menguasai mereka. Dari sini kita memahami bahwa selalu ada praktik hegemonik, dimana suara kelompok subaltern dimanipulasi secara etis sebagai bagian dari praktik politik suatu kelompok untuk mendominasi.
Kelompok subbalter bisa diidentifikasikan terdiri dari penduduk pinggiran kota dan penduduk desa, dan daerah, yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik negara, tetapi mereka secara imajiner dianggap medapat manfaat (utiliti). Misalnya, publikasi statistik pertumbuhan ekonomi makro secara sewenang-wenang mengasumsikan tingkat ekonomi petani meningkat seiring peningkatan (akregatif) pendapatan kotor (PDRB) regional-nasional. Dengan itu, petani dan penduduk pinggiran kota dan daerah oleh partai politik dijadikan semacam objekan, dengan cara memanipulasinya menjadi bantal duduk politisi mereka sendiri.
Jadi, apa yang mesti dilakukan proponent Kalamata Institut? Pertama, Kalamata Institut mesti menjadi bagian tidak terpisahkan dari isu-isu subaltern, baik dalam pengertian populasi dari pinggiran yang tidak terjalin dengan sumber daya politik dan ekonomi negara-global, maupun dalam arti daerah sebagai pinggiran yang dibutuhkan negara-global untuk menerapkan pendisiplinan. Dengan itu, perhatian utama Kalamata Institut mesti ditujukan untuk mengritisi tata kelola negara, sehingga sistem negara dalam satu tarikan nafas dengan dinamika politik lokal-regional-nasional-gobal, dan dampak negatifnya terhadap kehidupan sosial-budaya-politik-ekonomi warga pinggiran.
Artinya, marjinalisasi daerah di pinggiran negara-global, tempat sejumlah aturan yang tidak jelas diterapkan, bukan saja mendisiplinkan daerah di daerah melalui penggunaan instrumen politik kekerasan, melainkan juga untuk menguras wilayah hidup warga yang kaya sumber daya ekonomi, tidak bisa tidak mesti menjadi batu tumpu Kalamata Institut meracik program aksinya. Dalam konteks ini, teman-teman di Kalamata Institut mesti pula bisa merumuskan relasi bentuk negara kesatuan – negara konsentris – dengan otonomi daerah, dan dengan ekonomi rakyat secara riil. Oleh karena itu, otonomi daerah harus menjadi inti yang keras, mendasari semangat teman-teman.
Hal ini menjadi penting karena: Pertama, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejauh yang saya amati tentu saja hasil pengamatan ini bisa diperdebatkan, menjadi salah satu sumber kesenjangan antarwilayah dan antardaerah dalam satu wilayah. Oleh karena itu kemiskinan yang dialami rakyat di daerah dan penduduk pinggiran kota muncul, lebih merupakan akibat konsetrisme pengelolaan pemerintahan yang diniscayakan oleh bentuk negara unitarian. Kondisi ini makin parah karena bentuk negara kesatuan juga telah menjadi penghalang penerapan otonomi daerah. Konsep negara kesatuan telah membuat otonomi daerah adalah omong kosong belaka di zaman otonomi daerah.
Kedua, hal di atas memiliki korelasi langsung dengan eksistensi pemerintah dan partai politik di daerah, yang kian kemari makin tidak berdaya. Sekali lagi, konsep negara kesatuan yang meniscayakan konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat, dan demi alasan integrasi nasional pemeritah daerah dipaksa mengekor kebijakan pembangunan pemerintah pusat. Demikian pula manajemen partai politik yang dikelola layaknya perusahaan swasta, dimana pendiri partai sebagai pemegang saham mayoritas memiliki kuasa nyaris mutlak, membuat birokrat dan politisi daerah sulit diharapkan menjadi mediator menjalinkan rakyat kepada sumber daya ekonomi-politik negara.
Ketiga, dengan itu, proponent Kalamata Institut juga harus memiliki kewaspadaan tanpa henti terhadap globalisasi. Indonesia yang kemerdekaannya lahir dari rahim kolonialisme abad-20, sedari awal telah terjebak pada globalisasi. Kondisi ini masih terjadi hingga kini. Sedemikian pada batas-batas tertentu, Indonesia sekadar menjadi pelayan kepentingan korporasi multinasional yang diangkut ke daerah atas nama glonalisasi. Dalam arti itu, pendukung Kalamata Institut pertama-tama harus melihat bahwa daerah (Maluku Utara) adalah sebuah friksi, yakni garis depan, “ruang tanpa makna,” tempat dimana rakyat, karenanya daerah dan negara berebebut sesuatu yang kosong.
Jadi, tugas utama pendukung Kalamata Institut adalah mengubah ruang hampa menjadi ruang penuh makna tentang nilai, karena dari situ rakyat yang telah memiliki sejarah sosial-budaya, mengikatkan diri. Kalamata Institut harus mengisi ruang hampa yang ditinggal dunia kampus, apalagi partai politik menjadi wilayah bagi rakyat memastikan kehidupan sosial-budaya-politik-ekonomi yang terjamin.
Begitu kawan!

Komentar

Loading...